
Saking Saktinya, Corona Bisa Ubah Tatanan Dunia
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 May 2020 07:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi yang terjadi akibat merebaknya virus corona (Covid-19) tidak hanya membuat ekonomi global jatuh tersungkur karena berbagai upaya pengendalian virus membuat roda ekonomi berputar lebih lambat, bahkan nyaris berhenti. Lebih dari itu, dampak pandemi diyakini bisa membuat tatanan dunia berubah terutama rantai pasok global.
Sebuah think tank yang masih sister company dengan media kenamaan asal Inggris yakni The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam laporannya menyebut pandemi Covid-19 akan berdampak pada perubahan rantai pasok global yang tak lagi China-sentris.
Ekonomi global memang sangat bergantung pada China. Pangsa China dalam perdagangan global terutama untuk beberapa industri bahkan mencapai lebih dari 50%. Untuk industri perangkat elektronik saja contohnya, Negeri Tirai Bambu berkontribusi sebesar 59% terhadap perdagangan global pada 2018.
Peranan China dalam perdagangan dan rantai pasok global semakin terlihat pasca negeri yang dipimpin oleh Xi Jinping itu masuk ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001. Sejak saat itu pula ekonomi China tumbuh dengan sangat pesat.
Walau sempat mengalami fluktuasi, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China terus berada pada tren naik. Bahkan sempat mencatatkan pertumbuhan ekonomi sampai dobel digit.
Di tahun 2010, China menyalip Jepang dan resmi menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Negeri Paman Sam. Masih di tahun yang sama, China berhasil menyalip Amerika Serikat (AS) dan menguasai lebih dari seperempat output manufaktur global.
Pada 2018, PDB China sudah berkontribusi sebesar 18,2% dari total output perekonomian global dan produk-produk berlabel 'made in China' mulai dari mainan hingga produk berteknologi seperti smartphone tampak membanjiri pasar global.
Ketergantungan terhadap China sangatlah tinggi. Sampai-sampai banyak perusahaan multinasional yang memiliki pabrik di China kalang kabut saat wabah Covid-19 merebak di Negeri Tirai Bambu. Lockdown Provinsi Hubei pada 23 Januari lalu membuat pabrik-pabrik tutup. Produksi berkurang dan rantai pasok global terganggu.
Dengan adanya pandemi Covid-19 ini diperkirakan banyak perusahaan multinasional yang juga beroperasi di China semakin punya alasan bulat untuk angkat kaki dan cari lokasi baru. Apalagi China yang sekarang bukan yang dulu lagi.
Perang dagang dengan mitranya yakni AS membuat banyak produk China kena bea masuk yang tinggi. Walau negosiasi dagang tahap I diteken pada 15 Januari lalu, barang-barang made in China senilai US$ 250 miliar masih kena bea masuk sebesar 25%. Lagipula sisanya yang senilai US$ 120 miliar bea masuknya tidak benar-benar dihapus, hanya dikorting 50% dari 15% jadi 7,5%.
Di sisi lain, kenaikan upah di China juga menjadi faktor lain yang membuat ongkos produksi di China jadi naik. Survei Euromonitor pada 2017 menyebutkan upah untuk pekerja pabrik di China per jamnya dipatok US$ 3,6 atau naik 64% dari 2011. Kenaikan ini membuat upah pekerja di China lebih tinggi lima kali lipat dibanding India dan setara dengan Portugal maupun Afrika Selatan.
"Perang dagang AS-Cina dan kenaikan upah di Cina telah mendorong beberapa perusahaan multinasional untuk memindahkan rantai pasok mereka dari Cina ke negara lain di Asia; sektor tekstil adalah contoh dari awal tren ini. Covid-19 akan mendorong lebih banyak perusahaan di sektor lain untuk merelokasi bagian dari rantai pasok mereka dan akan membentuk jaringan rantai pasok Asia baru yang tak fokus di Cina saja dan lebih beragam," tulis EIU dalam laporannya tersebut.
"Ini adalah awal dari apa yang akan terjadi di kawasan lain karena perusahaan global berupaya membangun ketahanan dalam rantai pasok mereka. Dengan membangun rantai pasok regional yang semi-independen di Amerika dan Eropa, perusahaan global sudah mengambil langkah perlindungan (hedging) terhadap guncangan di masa depan untuk jaringan mereka" tambahnya.
Sebuah think tank yang masih sister company dengan media kenamaan asal Inggris yakni The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam laporannya menyebut pandemi Covid-19 akan berdampak pada perubahan rantai pasok global yang tak lagi China-sentris.
Peranan China dalam perdagangan dan rantai pasok global semakin terlihat pasca negeri yang dipimpin oleh Xi Jinping itu masuk ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2001. Sejak saat itu pula ekonomi China tumbuh dengan sangat pesat.
Walau sempat mengalami fluktuasi, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China terus berada pada tren naik. Bahkan sempat mencatatkan pertumbuhan ekonomi sampai dobel digit.
Di tahun 2010, China menyalip Jepang dan resmi menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Negeri Paman Sam. Masih di tahun yang sama, China berhasil menyalip Amerika Serikat (AS) dan menguasai lebih dari seperempat output manufaktur global.
Pada 2018, PDB China sudah berkontribusi sebesar 18,2% dari total output perekonomian global dan produk-produk berlabel 'made in China' mulai dari mainan hingga produk berteknologi seperti smartphone tampak membanjiri pasar global.
Ketergantungan terhadap China sangatlah tinggi. Sampai-sampai banyak perusahaan multinasional yang memiliki pabrik di China kalang kabut saat wabah Covid-19 merebak di Negeri Tirai Bambu. Lockdown Provinsi Hubei pada 23 Januari lalu membuat pabrik-pabrik tutup. Produksi berkurang dan rantai pasok global terganggu.
Dengan adanya pandemi Covid-19 ini diperkirakan banyak perusahaan multinasional yang juga beroperasi di China semakin punya alasan bulat untuk angkat kaki dan cari lokasi baru. Apalagi China yang sekarang bukan yang dulu lagi.
Perang dagang dengan mitranya yakni AS membuat banyak produk China kena bea masuk yang tinggi. Walau negosiasi dagang tahap I diteken pada 15 Januari lalu, barang-barang made in China senilai US$ 250 miliar masih kena bea masuk sebesar 25%. Lagipula sisanya yang senilai US$ 120 miliar bea masuknya tidak benar-benar dihapus, hanya dikorting 50% dari 15% jadi 7,5%.
Di sisi lain, kenaikan upah di China juga menjadi faktor lain yang membuat ongkos produksi di China jadi naik. Survei Euromonitor pada 2017 menyebutkan upah untuk pekerja pabrik di China per jamnya dipatok US$ 3,6 atau naik 64% dari 2011. Kenaikan ini membuat upah pekerja di China lebih tinggi lima kali lipat dibanding India dan setara dengan Portugal maupun Afrika Selatan.
"Perang dagang AS-Cina dan kenaikan upah di Cina telah mendorong beberapa perusahaan multinasional untuk memindahkan rantai pasok mereka dari Cina ke negara lain di Asia; sektor tekstil adalah contoh dari awal tren ini. Covid-19 akan mendorong lebih banyak perusahaan di sektor lain untuk merelokasi bagian dari rantai pasok mereka dan akan membentuk jaringan rantai pasok Asia baru yang tak fokus di Cina saja dan lebih beragam," tulis EIU dalam laporannya tersebut.
"Ini adalah awal dari apa yang akan terjadi di kawasan lain karena perusahaan global berupaya membangun ketahanan dalam rantai pasok mereka. Dengan membangun rantai pasok regional yang semi-independen di Amerika dan Eropa, perusahaan global sudah mengambil langkah perlindungan (hedging) terhadap guncangan di masa depan untuk jaringan mereka" tambahnya.
Next Page
Rantai Pasok Global akan Berubah
Pages
Most Popular