Newsletter

Bahaya Jilid 2 Pandemi & Perang Dagang, Pasar Bisa Bergejolak

Haryanto, CNBC Indonesia
20 May 2020 05:59
Presiden Donald Trump konferensi pers COVID-19. AP/Alex Brandon
Foto: Presiden Donald Trump konferensi pers COVID-19. AP/Alex Brandon

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali bergairah pada perdagangan hari Selasa kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), pasar obligasi pemerintah dan nilai tukar rupiah kesemuanya menguat signifikan.

Pada perdagangan kemarin, IHSG menguat 0,83% ke level 4.548,65, namun penguatan terpangkas setelah Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 4,5% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Mei 2020. Padahal para pelaku pasar berekspektasi ada penurunan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%.

 

Sebelumnya, di sesi 1 ditutup di zona hijau pada level 4.593,29 atau naik 1,82% karena perusahaan farmasi asal AS Moderna Inc mengatakan vaksin eksperimental Covid-19 mereka memberikan hasil yang menjanjikan di tahap awal, sehingga kenaikan ini untuk sementara menjadi yang tertinggi di bulan Mei.

Walaupun naik investor asing masih melanjutkan aksi jual bersih sebanyak Rp 112 miliar di pasar reguler. Saham yang paling banyak dijual asing hari ini adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang sahamnya dijual bersih asing sebanyak Rp 305 miliar yang menyebabkan saham BBCA terkoreksi sebesar 1,78% ke level harga Rp 23.400/saham.

Di pasar obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) juga terapresiasi karena minat investor terhadap obligasi negara berkembang yang cenderung menawarkan tingkat yield (imbal hasil) lebih tinggi dibandingkan negara maju.

Penguatan obligasi juga terdorong oleh kemungkinan penurunan suku bunga BI di pertemuan kebijakan berikutnya. Dalam Rapat Dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Days RR di 4,5%, namun "ada ruang untuk menurunkan suku bunga guna mendorong pertumbuhan ekonomi," tutur Gubernur BI Perry Warjiyo.

Jika suku bunga acuan turun maka dapat berdampak ke ekspor impor Indonesia. Hal ini karena biaya untuk pinjaman perusahaan ekspor impor ke bank menjadi lebih murah dari biasanya. Dengan hal ini diharapkan investasi ke dalam negeri juga bisa terus meningkat dan mendorong perekonomian, sehingga bisa membuat harga obligasi naik di tengah pembelian investor.

Data Refinitiv menunjukkan penguatan harga surat utang negara (SUN) itu tercermin dari tiga seri acuan (benchmark). Ketiga seri tersebut adalah FR0081 bertenor 5 tahun, FR0082 bertenor 10 tahun dan FR0080 bertenor 15 tahun, sementara FR0083 bertenor 20 tahun tidak mengalami perubahan atau flat.

Seri acuan yang paling menguatkemarin adalah FR0082 yang bertenor 10 tahun dengan penurunan yield 6,40 basis poin (bps) menjadi 7,745%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya.  Yield menjadi acuan keuntungan investor di pasar surat utang dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

 



Yield Obligasi Negara Acuan 19 Mei'20

Seri

Jatuh tempo

Yield 18 Mei'20 (%)

Yield 19 Mei'20 (%)

Selisih (basis poin)

Yield wajar PHEI 19 Mei'20 (%)

FR0081

5 tahun

7.172

7.149

-2.30

6.9381

FR0082

10 tahun

7.809

7.745

-6.40

7.5776

FR0080

15 tahun

8.121

8.087

-3.40

7.9003

FR0083

20 tahun

8.102

8.102

0.00

7.9009

Sumber: Refinitiv

.

Apresiasi di pasar surat utang juga senada dengan penguatan rupiah di pasar valas. Pada hari Selasa kemarin (19/5/2020), Rupiah menguat 0,47% dari penutupan sebelumnya. Kini US$ 1 dibanderol Rp 14.7500/US$ di pasar spot.

Nilai tukar rupiah belakangan menguat tipis-tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS), padahal mata uang utama Asia terus melemah. Mata Uang Garuda seolah melawan "gravitasi" yang seharusnya membuatnya melemah.

Intervensi Bank Indonesia (BI) sepertinya bukan menjadi alasan rupiah melawan "gravitasi" dalam beberapa hari terakhir. BI di bawah komando Gubernur Perry Warjiyo menerapkan kebijakan triple intervention, yakni intervensi di pasar spot, pasar Domestic Non-deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder guna menstabilkan rupiah.

Tetapi intervensi BI belakangan ini sangat minim, di pasar DNDF misalnya, berdasarkan data Refinitiv, kurs DNDF kemarin terakhir update pada pukul 9:01 WIB. Artinya tidak ada tekanan jual rupiah di pasar DNDF sehingga BI tidak banyak melakukan intervensi.

Ternyata tingginya yield (imbal hasil) yang ditawarkan obligasi pemerintah tentunya menggoda pelaku pasar untuk kembali mengalirkan modalnya ke Indonesia yang akhirnya membuat rupiah perkasa.

Selain itu, tidak adanya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia juga mempengaruhi sentimen pelaku pasar. Memang saat ini jumlah kasus masih dalam tren naik, tetapi jika dilihat penambahan per harinya cenderung stabil. Persentase penambahan kasus per harinya sebesar 5% ke bawah sudah sejak 25 April lalu.

Meski demikian, rasa optimistis tetap muncul di pasar apalagi setelah Bank Indonesia menggelontorkan stimulus moneter yang hingga saat ini diklaim sebesar Rp 583 triliun, sementara pemerintah menggelontorkan stimulus fiskal senilai Rp 405,1 triliun. Semua stimulus tersebut dikucurkan guna menanggulangi pandemi Covid-19 dan membangkitkan lagi perekonomian.

[Gambas:Video CNBC]



Beralih ke bursa saham Amerika Serikat (AS) yakni Wall Street, pada penutupan perdagangan Selasa kemarin (Rabu pagi waktu Indonesia) terkoreksi di tengah aksi ambil untung (taking profit) setelah reli di perdagangan hari sebelumnya.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 390,51 poin, atau 1,6% menjadi 24.206,86, S&P 500 anjlok 1,1% pada 2.922,91 sementara Nasdaq Composite ambles 0,5% ke level 9.185,10.

Saham-saham sektor perbankan mengalami penurunan, Wells Fargo turun 5,8% sementara Bank of America dan Citigroup masing-masing turun lebih dari 2,7%, sedangkan JPMorgan turun hampir 2%.

"Kelemahan membeli dan kekuatan penjualan telah terbukti menjadi strategi yang paling menguntungkan untuk memainkan saham sektor perbankan hingga saat ini," kata Frank Cappelleri, direktur eksekutif di Instinet, dalam sebuah catatan. "Itu pasti bisa berubah, tetapi kita tidak akan tahu apakah itu bisa atau akan terjadi sampai upaya pelarian berikutnya terjadi," mengutip dari CNBC Internasional.

Sementara investor beralih fokus ke Washington ketika Menteri Keuangan Steven Mnuchin dan Ketua Federal Reserve Jerome Powell bersaksi di depan Komite Perbankan Senat. Kesaksian mereka adalah bagian dari pembaruan yang diperlukan untuk Kongres tentang respons ekonomi terhadap pandemi virus corona.

Mnuchin mengatakan pemerintah "sepenuhnya siap untuk mengambil kerugian" pada dana talangan bisnis terkait virus corona. Kesaksian itu muncul setelah Powell mengatakan kepada CBS "60 Menit" bahwa bank sentral masih memiliki banyak amunisi untuk mendukung perekonomian.

Terlepas dari semua ini, "masih sangat sulit dari sudut pandang mendasar bagi siapa saja untuk menjadi sangat bullish," kata Yousef Abbasi, direktur ekuitas kelembagaan AS di INTL FCStone. "Jika kita mendapatkan lebih banyak data dan kota-kota mulai dibuka kembali ... maka saya akan mengantisipasi lebih banyak kepercayaan di kalangan investor."

Di sisi ekonomi, Departemen Perdagangan AS merilis laporan yang menunjukkan penurunan tajam dalam konstruksi perumahan baru di AS pada bulan April yang anjlok 30,2% ke 891.000 setelah jatuh 18,6% pada Maret. Ekonom memperkirakan persediaan perumahan akan turun 23,8% ke tingkat 927.000 dari 1,216 juta untuk bulan sebelumnya.

Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati dan mengkaji sejumlah sentimen yang akan mewarnai perdagangan hari ini. Pertama tentu saja perkembangan dari pandemi virus corona tetap menjadi fokus utama investor.

Mengacu data dari worldometers terkini per 19 Mei 2020, jumlah pasien terpapar virus corona di seluruh dunia mencapai lebih dari 4,9 juta orang, sementara jumlah korban jiwa lebih dari 320 ribu orang.

Meningkatnya jumlah kasus terpapar pandemi virus corona, dapat  memberikan tekanan bagi kinerja pasar keuangan Tanah Air, sementara pembukaan kembali aktivitas ekonomi di sejumlah negara bisa berdampak serangan gelombang kedua (outbreak second wave).

Negara-negara Eropa harus bersiap diri menghadapi gelombang kedua infeksi virus corona yang mematikan karena pandemi belum berakhir, kata pejabat tinggi Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) di Eropa.

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan The Telegraph, Dr Hans Kluge, direktur untuk wilayah WHO Eropa, menyampaikan peringatan keras kepada negara-negara yang mulai mengurangi pembatasan karantina wilayah (lockdown) mereka, dengan mengatakan bahwa sekarang adalah "waktu untuk persiapan, bukan perayaan".

Dr Kluge menekankan bahwa, ketika jumlah kasus Covid-19 di negara-negara seperti Inggris, Prancis dan Italia mulai turun, itu tidak berarti pandemi akan segera berakhir.

Sentimen dalam Negeri

Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan sebesar 4,5% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Mei 2020. Padahal pelaku pasar berekspektasi ada penurunan menjadi 4,25%.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 4,5%. Langkah ini ditempuh dengan mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah ketidakpastian pasar keuangan global," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Mei 2020, Selasa (19/5/2020).

Namun, lanjut Perry, bukan berarti BI 'mengunci' peluang penurunan suku bunga acuan. Ruang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih terbuka mengingat rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama pada 2020.

Jika suku bunga acuan turun maka dapat berdampak ke ekspor impor Indonesia. Hal ini karena biaya untuk pinjaman perusahaan ekspor impor ke bank menjadi lebih murah dari biasanya. Dengan hal ini diharapkan investasi ke dalam negeri juga bisa terus meningkat dan mendorong perekonomian, sehingga membuat harga obligasi naik di tengah pembelian investor dan mengangkat performa nilai tukar rupiah.

Selain itu, Perry juga mengungkapkan telah melakukan injeksi likuiditas ke pasar uang dan perbankan hingga mencapai Rp 583,5 triliun.

Injeksi tersebut ditempuh bukan dengan mencetak uang tapi melalui pembelian SBN dari pasar sekunder, penyediaan likuiditas perbankan melalui transaksi term-repo SBN, swap valas, serta penurunan GWM Rupiah.

"Bank Indonesia akan terus memastikan kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan dalam mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional, khususnya dalam rangka restrukturisasi kredit perbankan," terang Perry.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah saat ini masih menggunakan skenario berat dan sangat berat dalam memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di tahun 2020.

"Dengan skenario berat, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 2,3% dan dengan skenario sangat berat bisa menyentuh minus 0,4%," kata Sri Mulyani dalam video conference, Senin (18/5/2020).

Merosotnya pertumbuhan ekonomi di tahun ini, kata Sri Mulyani, tentu akan menambah angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.

Dalam skenario berat, di mana pertumbuhan ekonomi bisa menyentuh 2,3%, maka akan ada penambahan angka kemiskinan sebesar 1,89 juta orang dan pengangguran 2,92 juta orang. Sementara dalam skenario sangat berat, angka kemiskinan akan menambah 4,86 juta orang dan angka pengangguran baru bisa bertambah 5,23 juta orang.

Tingginya angka pengangguran mendorong turunnya daya beli konsumen yang pada akhirnya menekan sektor riil hingga pasar keuangan.

Ekonom senior yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan RI, Chatib Basri mengatakan kebijakan social distancing, work dan stay at home, serta pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membuat orang kehilangan pekerjaan atau dirumahkan membuat esensi dari ekonomi tidak berjalan.

Sentimen Global

Memanasnya tensi perang dagang antara AS-China juga menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global termasuk Indonesia.

Berita terkini menunjukkan bahwa perusahaan jasa keuangan pengelola bursa Nasdaq, Nasdaq Inc, mulai mengatur pembatasan baru bagi perusahaan yang ingin melepas saham perdana lewat mekanisme penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) alias go public. Rencana ini akan menyulitkan beberapa perusahaan China untuk melakukan debut di bursa saham AS.

Kendati Nasdaq tak menyebut langsung dalam aturan barunya, langkah ini sebagian besar didorong atas kurangnya transparansi IPO perusahaan-perusahaan China, menurut sumber yang dikutip dari CNBC Internasional.

Di tengah mulai naiknya tensi perang dagang AS-China, Nasdaq juga mengumumkan beberapa pembatasan pada daftar IPO yang sudah berjalan tahun lalu. Langah Nasdaq ini dinilai berusaha untuk mengekang IPO perusahaan-perusahaan berkapitalisasi pasar (market capitalization/market cap) kecil China.

Selain dengan AS, kali ini perang dagang baru dengan Australia mencuat ke permukaan.

Australia bersiap membawa China ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/ WTO). Negeri Kanguru menempuh jalan ini karena China bakal mengenakan tarif hingga US$ 1 miliar atau naik hingga 80% ke gandum negeri itu.

Hal ini diduga Australia terkait masalah penyelidikan asal mula COVID-19 yang diprakarsai Canberra. Sebelumnya China juga menangguhkan impor sapi dari 4 pemasok Australia senilai US$ 1,1 miliar.

"China menyangkal ada kaitan" kata Menteri Perdagangan Simon Birmingham, dikutip dari The Sydney Morning Herald, Selasa (19/5/2020).  "Satu-satunya hal yang dapat kita lakukan dalam membela petani kita adalah terlibat dalam proses ini, sekonstruktif yang kita bisa."

Sebelumnya, Australia dengan dukungan Amerika Serikat (AS) dan 101 negara lainnya, ingin melakukan penyelidikan independen asal-usul COVID-19. Pemerintah China tidak terima dan mengancam pemboikotan komoditas Australia.

Hubungan Australia dan China memang tegang sejak 2018 lalu. Di 2019, China juga sempat memperingatkan Australia karena kritik pada penanganan etnis Uighur di Xinjiang.

Sentimen berikutnya selain perang dagang, ketegangan militer antara AS dengan China juga menghantui  pasar global termasuk Indonesia.

Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) mengirim setidaknya tujuh kapal selam ke Laut China Selatan. Menurut salah satu tokoh penting dalam angkatan laut, kapal-kapal itu sengaja disiagakan dengan tujuan untuk memastikan kebebasan dan mengimbangi operasi China di kawasan tersebut.

"Operasi kami adalah demonstrasi kesediaan kami untuk membela kepentingan dan kebebasan kami di bawah hukum internasional." kata Laksamana Muda Blake Converse, komandan sub-pasukan Pasifik yang bermarkas di Pearl Harbor, lapor Express, Selasa (19/5/2020).

Selain kapal selam, Angkatan Laut AS juga telah menyiagakan armada kapal perang di Pasifik Barat sebagai unjuk kekuatan di kawasan. Langkah ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dengan China di Laut China Selatan dan di tengah cekcok kedua ekonomi terbesar di dunia itu soal pandemi virus corona (COVID-19).

Aksi ini sebelumnya telah membuat marah China. Negara ini menyebut upaya AS itu sebagai tindakan provokatif dan mengancam ketenangan di kawasan.

"Tindakan-tindakan provokatif oleh pihak AS ini telah secara serius melanggar kedaulatan dan kepentingan keamanan China, sengaja meningkatkan risiko keamanan regional dan dapat dengan mudah memicu insiden yang tidak terduga." kata komando militer China dalam sebuah pernyataan.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  •          Rilis Neraca Pembayaran Indonesia Kuartal I-2020 (10:00 WIB)
  •          RUPS PT Adaro Energy Tbk (ADRO)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Kuartal I-2020 YoY)

2,97%

Inflasi (April 2020 YoY)

2,67%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2020)

4,5%

Defisit anggaran (APBN 2020)

-1,76% PDB

Transaksi berjalan (2019)

-2,72% PDB

Cadangan devisa (April 2020)

US$ 127,88 miliar

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular