Alasan di Balik Kenapa Jokowi Harus Naikkan Iuran BPJS

Muhammad Choirul, CNBC Indonesia
19 May 2020 17:09
[DALAM] BPJS Kesehatan Naik Lagi
Foto: Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Perpres Nomor 64 Tahun 2020 diterbitkan untuk menindaklanjuti Putusan MA atas Uji Materil Nomor 7 P/HUM/2020.

Ketua DJSN Tubagus Achmad Choesni menjelaskan bahwa kebijakan ini dituangkan bukan tanpa alasan.

"Kami sudah mengadakan koordinasi dan rapat beberapa kali pertimbangan di dalam merumuskan tindak lanjut putusan MA. Ini adalah karena kita juga berfungsi sebagai perumus kebijakan dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN sesuai pasal 7 ayat 2 undang-undang SJSN," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (19/5/20).

Putusan MA menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden RI nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.



Dengan demikian, iuran bagi peserta PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) dan Peserta BP (Bukan Pekerja) per orang per bulan sebesar Rp 42.000 untuk kelas III, Rp110.000 untuk kelas II dan Rp160.000 untuk kelas I tidak memiliki kekuatan hukum.

Padahal, setelah penyesuaian iuran pada tahun 2016, Pemerintah baru melakukan penyesuaian kembali pada tahun 2019 untuk kepesertaan PBI dan PPU Pemerintah. Namun, pada tahun 2020 untuk kepesertaan PPU BU dan PBPU melalui Perpres 75 tahun 2019 dibatalkan oleh MA.

Di sisi lain, DJSN berpendapat, perlu menjaga keberlangsungan program JKN. Menurutnya, Perpres No. 64 Tahun 2020 merupakan salah satu upaya mendasar untuk mencapai keberlanjutan penyelenggaraan Program JKN dengan mempertimbangkan prinsip gotong- royong oleh seluruh pemangku kepentingan.

"Kita juga menyadari perbaikan sistemik untuk keberlanjutan implementasi program JKN sangat dipentingkan. Kami berpendapat perbaikan itu tidak dapat dilakukan secara satu-satu tapi harus lebih pendekatan secara sistemik," kata Tubagus.



Di sisi lain, berdasarkan monitoring, evaluasi dan pengawasan yang dilakukan DJSN, selama lima tahun berturut-turut menunjukkan tren pemanfaatan pelayanan kesehatan yang semakin tinggi dengan peningkatan biaya yang semakin melampaui kemampuan pendanaan. Dengan begitu, defisit struktural tidak terhindarkan dan gagal bayar fasilitas kesehatan terus berlanjut dengan jumlah yang semakin naik setiap tahunnya.

DJSN mencatat, jumlah dana yang dihimpun dari iuran Peserta dan subsidi Pemerintah sejauh ini belum mencukupi beban biaya yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan yang mempengaruhi kinerja pelayanan kesehatan oleh Fasilitas Kesehatan.

Data Klaim BPJSK juga menunjukkan bahwa tingkat utilisasi layanan kesehatan oleh Peserta terus mengalami peningkatan. Dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan 30% atas layanan rawat inap.

Selain itu, hemodialisa sebagai prosedur berbiaya tinggi menjadi yang terbanyak dimanfaatkan oleh Peserta JKN. Jumlah Peserta yang memanfaatkan pelayanan hemodialisa naik setiap tahun, bahkan selama lima tahun naik 2 kali lipat.

Peserta juga semakin banyak memanfaatkan hemodialisa setiap tahun. Pada tahun 2014 penderita gangguan ginjal mengonsumsi hemodialisa 41 kali pertahun, dan terus meningkat hingga menjadi 55 kali pertahun pada tahun 2018.

"Keberlanjutan pembiayaan dan perbaikan kualitas penyelenggaraan program JKN yang tidak kalah pentingnya adalah kita juga melihat kemampuan peserta PBB dan BP khususnya kelas 3 dalam pembayaran iuran. Jadi ini di sisi lain kita juga melihat kemampuan fiskal pemerintah," tandasnya.




(dru) Next Article BPJS Kesehatan Hapus Kelas, Segera Terapkan Kelas Standar!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular