
Relaksasi Kredit OJK Tekan Risiko Kredit Macet Perbankan
Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
15 May 2020 21:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan sejumlah kebijakan di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya adalah restrukturisasi kredit atau pembiayaan.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah mengatakan, dengan aturan relaksasi kredit yang dikeluarkan OJK ini maka perbankan tidak perlu menambah Non performing loan (NPL) untuk menambah cadangan kerugian akibat kredit macet. Artinya kredit yang direstrukturisasi tersebut masih terhitung lancar sehingga likuiditas perbankan juga tetap stabil.
"Dengan kebijakan ini, OJK ikut membantu memperkuat daya tahan dunia usaha, sekaligus sektor keuangan dalam menghadapi wabah Covid-19. Apalagi selama terjadinya wabah Covid-19, dunia usaha dan lembaga keuangan, utamanya perbankan, mengalami tekanan likuiditas," ujarnya, Jumat (15/5/2020).
"Dengan melakukan relaksasi restrukturisasi kredit melalui kebijakan relaksasi ini, dunia usaha terbantu yang pada akhirnya juga memperkuat perbankan," tambahnya.
Ada pun kebijakan OJK itu di antaranya tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 di industri perbankan.
Meski demikian, Piter mengakui restrukturisasi kredit saja tak cukup untuk sebagian pelaku usaha. Untuk itu, diperlukan kebijakan lain dari pemerintah maupun bank sentral yang bisa memperkuat dunia usaha.
"Memang untuk beberapa perusahaan yang kesulitan likuiditasnya begitu besar, restrukturisasi kredit saja tidak cukup, perlu bantuan lainnya. Tapi arah kebijakannya sudah benar," kata dia.
Sejalan dengan Piter, Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana menjelaskan, bahwa kebijakan terkait restrukturisasi kredit bagi nasabah yang terkena dampak Covid-19 sangat membantu perbankan.
"Kebijakan ini membantu terjaganya likuiditas, baik di sektor keuangan maupun para debitur. Sehingga stabilitas sistem keuangan Indonesia secara keseluruhan juga terjaga," kata dia.
Menurutnya, kebijakan yang relatif baru itu sudah memberikan dampak positif pada sektor keuangan. Meskipun persentase debitur yang menggunakan fasilitas itu baru sekitar 5%.
"Meskipun secara persentase atau volume yang mempergunakan fasilitas ini sekitar 5% dari target, namun perlu diingat bahwa umur dari aturan relaksasi ini masih relatif baru. Kalau dilihat dalam waktu singkat sudah dapat 5% saya pikir efektif," jelasnya.
Sementara itu, OJK mencatat, hingga 10 Mei 2020 ada 88 bank yang sudah mengimplementasikan restrukturisasi kredit dengan total sebanyak 3,88 juta debitur dengan nilai restrukturisasi mencapai Rp 336,97 triliun. Dari jumlah itu, terbesar dilakukan nasabah UMKM yakni mencapai 3,42 juta debitur dengan nilai Rp 167,1 triliun.
(gus) Next Article Debitur: Pengajuan Keringanan Kredit Itu Mudah dan Cepat
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah mengatakan, dengan aturan relaksasi kredit yang dikeluarkan OJK ini maka perbankan tidak perlu menambah Non performing loan (NPL) untuk menambah cadangan kerugian akibat kredit macet. Artinya kredit yang direstrukturisasi tersebut masih terhitung lancar sehingga likuiditas perbankan juga tetap stabil.
"Dengan kebijakan ini, OJK ikut membantu memperkuat daya tahan dunia usaha, sekaligus sektor keuangan dalam menghadapi wabah Covid-19. Apalagi selama terjadinya wabah Covid-19, dunia usaha dan lembaga keuangan, utamanya perbankan, mengalami tekanan likuiditas," ujarnya, Jumat (15/5/2020).
Ada pun kebijakan OJK itu di antaranya tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 tahun 2020 tentang Stimulus Perekonomian sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 di industri perbankan.
Meski demikian, Piter mengakui restrukturisasi kredit saja tak cukup untuk sebagian pelaku usaha. Untuk itu, diperlukan kebijakan lain dari pemerintah maupun bank sentral yang bisa memperkuat dunia usaha.
"Memang untuk beberapa perusahaan yang kesulitan likuiditasnya begitu besar, restrukturisasi kredit saja tidak cukup, perlu bantuan lainnya. Tapi arah kebijakannya sudah benar," kata dia.
Sejalan dengan Piter, Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana menjelaskan, bahwa kebijakan terkait restrukturisasi kredit bagi nasabah yang terkena dampak Covid-19 sangat membantu perbankan.
"Kebijakan ini membantu terjaganya likuiditas, baik di sektor keuangan maupun para debitur. Sehingga stabilitas sistem keuangan Indonesia secara keseluruhan juga terjaga," kata dia.
Menurutnya, kebijakan yang relatif baru itu sudah memberikan dampak positif pada sektor keuangan. Meskipun persentase debitur yang menggunakan fasilitas itu baru sekitar 5%.
"Meskipun secara persentase atau volume yang mempergunakan fasilitas ini sekitar 5% dari target, namun perlu diingat bahwa umur dari aturan relaksasi ini masih relatif baru. Kalau dilihat dalam waktu singkat sudah dapat 5% saya pikir efektif," jelasnya.
Sementara itu, OJK mencatat, hingga 10 Mei 2020 ada 88 bank yang sudah mengimplementasikan restrukturisasi kredit dengan total sebanyak 3,88 juta debitur dengan nilai restrukturisasi mencapai Rp 336,97 triliun. Dari jumlah itu, terbesar dilakukan nasabah UMKM yakni mencapai 3,42 juta debitur dengan nilai Rp 167,1 triliun.
(gus) Next Article Debitur: Pengajuan Keringanan Kredit Itu Mudah dan Cepat
Most Popular