Gak Boleh Asal-Asalan! Restrukturisasi Kredit Harus Hati-Hati

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
12 May 2020 15:01
Warga menukarkan sejumlah uang di mobil kas keliling dari sejumlah bank yang terparkir di Lapangan IRTI Monas, Jakarta, Senin (13/5/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Warga menukarkan sejumlah uang di mobil kas keliling dari sejumlah bank yang terparkir di Lapangan IRTI Monas, Jakarta, Senin (13/5/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia- Menghadapi pandemi COVID-19 atau virus corona Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan stimulus di bidang jasa keuangan, baik bank, perusahaan pembiayaan (multifinance), asuransi, dan dana pensiun. Akan tetapi, tidak semua nasabah bisa mendapatkan restrukturisasi kredit ini karena OJK memiliki kriteria tertentu.

Dengan begitu yang mendapatkan keringanan ini tepat sasaran, yakni bagi orang atau perusahaan yang terdampak COVID-19 dan membutuhkan keringanan.

Ekonom Institute for Development on Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan sebuah kebijakan seharusnya dipertimbangkan dan didesain secara komprehensif. Apalagi esensi dari restrukturisasi kredit adalah mitigasi dampak COVID-19, dan ditujukan bagi orang atau usaha yang terkena dampak pandemi ini.

Kebijakan ini harus diterjemahkan secara jelas sehingga tidak boleh ada multi tafsir, terutama di level implementasinya.

"Sebenarnya awal kegaduhan ini ya dari statement Presiden Joko Widodo sendiri. POJK-nya sudah jelas, ruang lingkupnya juga jelas, biarpun memang harus ada yang dipertegas di level turunannya. Sehingga jelas siapa yang bisa mendapatkan program ini, kejelasan waktu pelaksanaannya" kata Enny, Selasa (12/05/2020).


Dia mengakui POJK ini tidak terlalu detail sehingga di level industri dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan multitafsir. Pemerintah harus secara jelas mengungkapkan berapa anggaran atau kuota yang ditetapkan untuk restrukturisasi ini.

"Dari kegamangan ini ada persepsi yang berbeda, padahal presiden juga sudah menginstruksikan tapi di industri belum ada guidance yang jelas. Harus ada kejelasan," tambahnya.

Enny mengatakan di salah satu bank BUMN, sudah ada 30% restrukturisasi dari total kredit hingga saat ini. Dia memperkirakan bisa mencapai 50% dari total kredit seiring berjalannya program ini. Masalahnya, perbankan tidak bisa merestrukturisasi seluruh kredit yang telah disalurkan.

Harus ada verifikasi yang menjadi petunjuk teknis operasional dalam memutuskan permohonan nasabah. Walaupun sekarang sudah ada juknis, jika tidak ada alokasi jelas anggaran pemerintah berapa, akan menimbulkan kesulitan nantinya.

"Kalau perbankan sulit relaksasi siapa yang menutupinya mereka kan memakai pihak ketiga. Kalau 50% ditunda kreditnya pendapatannya dari mana, ini bisa memicu krisis di industri keuangan," kata Enny.

Dia menegaskan di masa darurat seperti ini yang dibutuhkan bukan hanya kecepatan melainkan juga ketepatan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan bisa dilaksanakan dengan baik. Saat ini dunia usaha pun galau apakah benar-benar bisa memanfaatkan program ini.

Enny menilai untuk program kebijakan yang bersifat teknis sebaiknya tidak disampaikan oleh Presiden, apalagi jika menimbulkan kegamangan.

"Memang butuh kecepatan tapi juga harus tepat, kalau hanya cepat malah jadi gaduh," ujar Enny.

Semua sektor rata-rata mengalami kesulitan akibat pandemi ini, namun pemerintah tetap ahrus menentukan skala prioritas mana yang dibantu terlebih dulu.

"OJK sendiri saya yakin juga kesulitan, karena jadinya keputusan politik dan menjustifikasi," katanya.

"Kecuali kalau pemerintah punya anggaran ga terbatas, tetapi kan sekarang semuanya serba terbatas," tambah Enny.

Sebelumnya OJK menyebutkan jumlah debitur perbankan yang berpotensi mengajukan restrukturisasi mencapai 7,87 juta nasabah dengan nilai kredit total mencapai Rp 1.114,54 triliun. Jumlah tersebut berasal dari 110 bank yang ada di Indonesia.


Berdasarkan data OJK, hingga saat ini baru sebanyak 102 bank telah menyampaikan potensi restrukturisasi tersebut. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan seluruh bank tersebut telah berkomitmen untuk melakukan restrukturisasi kredit. Hanya saja, berdasarkan pantauan OJK hingga data terakhir 10 Mei 2020, baru 88 bank yang merealisasikan restrukturisasi tersebut.

"Seluruh bank commit melakukan karena ada potensi pengajuan restrukturisasi 7,8 juta dan outstanding kredit Rp 1.114 triliun. Ini potensinya," kata Wimboh dalam rapat kerja bersama Komite IV DPD RI secara virtual, Senin (11/5/2020).


(dob/dob) Next Article Restrukturisasi Kredit Capai Rp 655 T Hingga Recall Xpander

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular