
Harga BBM Turun Harga Sembako Ikut Turun? Belum Tentu...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 May 2020 13:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Pro dan kontra soal harga Bahan Bakar Minyak (BBM) masih terus terjadi. Ada yang menilai semestinya harga jual BBM dalam negeri diturunkan seiring anjloknya harga minyak dunia.
Pada Selasa (12/5/2020) pukul 11:42 WIB, harga minyak jenis brent memang naik 0,24%. Sementara yang jenis light sweet juga terangkat 0,95%.
Namun kalau dihitung sejak awal tahun, keduanya mengalami koreksi dalam. Brent anjlok 54,98% sedangkan light sweet ambles 60,17%.
Apalagi pada April harga si emas hitam sempat jauh sejatuh-jatuhnya. Harga light sweet bahkan sempat minus, artinya siapa yang mau beli minyak malah diberi uang. Harga brent pun jeblok hingga ke bawah US$ 20/barel.
Akan tetapi, harga jual BBM dari PT Pertamina (Persero) belum disesuaikan. Saat ini, harga jual BBM di DKI Jakarta untuk jenis Pertalite adalah Rp 7.650/liter, Pertamax Rp 9.000/liter, Pertamax Turbo 9.850/liter, Pertamax Racing Rp 42.000/liter, Dexlite Rp 9.500/liter, Pertamina Dex Rp 10.200, solar non-subsidi Rp 9.400/liter, dan minyak tanah non-subsidi Rp 11.220/liter.
Sah saja jika menilai semestinya harga BBM di Indonesia turun ketika harga minyak dunia anjlok sampai minus. Namun perlu dicatat bahwa komponen pembentuk harga BBM bukan cuma harga minyak.
Salah satu komponen penting lainnya adalah nilai tukar. Ini yang jadi masalah, karena rupiah cenderung melemah sepanjang tahun ini.
Pada pukul 12:01 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.890 di mana rupiah melemah 0,27%. Sejak awal tahun, rupiah melemah 7,28% di hadapan mata uang Negeri Paman Sam.
Kebutuhan BBM dalam negeri belum bisa dipenuhi secara mandiri, masih mengandalkan impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor produk pengolahan minyak (salah satunya BBM) pada 2019 bernilai US$ 13,67 miliar.
Kala rupiah melemah, biaya untuk impor menjadi semakin mahal. Kenaikan biaya impor ini tentu masuk ke komponen pembentukan harga.
Selain itu, penurunan harga BBM juga tidak akan banyak membantu meredam inflasi. Harga kebutuhan pokok tentu turun, tetapi tidak bisa terlalu banyak.
Sebab biaya BBM hanya satu dari begitu banyak komponen pembentuk harga sembako. Di Indonesia, harga kebutuhan pokok lebih ditentukan oleh seberapa panjang rantai yang harus dilalui dari produsen ke konsumen. Semakin panjang rantainya, maka harga yang harus dibayar oleh konsumen jadi semakin mahal.
Misalnya perdagangan beras di DKI Jakarta, melibatkan pola distribusi paling panjang se-Indonesia Raya karena ibu kota tidak menghasilkan beras sendiri, harus didatangkan dari daerah atau negara lain. Perdagangan beras di Jakarta melibatkan importir, pedagang pengepul, agen, distributor, sub-distributor, pedagang grosir, pedagang eceran, baru ke konsumen.
Ini membuat Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) beras di Jakarta mencapai 28,02%. Artinya harga dari produsen sampai ke konsumen bertambah rata-rata 28,02%. MPP Jakarta jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional yaitu 20,83%.
Penurunan harga BBM tidak akan banyak membantu selama rantai perdagangan sembako masih belum efisien. Jika rantai perdagangan masih panjang, konsumen sulit mendapatkan harga yang kompetitif.
Selain itu, jika harga BBM diturunkan kemudian harga minyak dunia naik lagi tentu menjadi dilema. Kenaikan harga BBM setelah diturunkan tentu kembali mengundang polemik. Ribut lagi...
Oleh karena itu, ada baiknya 'kentungan' yang didapat Pertamina kala harga minyak murah (kalaupun untung) dialokasikan untuk memperkuat kas. Pertamina sangat membutuhkan kas yang kuat, mengingat pendapatan turun drastis.
Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat masyarakat diimbau untuk #dirumahaja demi menekan penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan pendapatan perseroan menurun sangat drastis.
Di Jakarta, penurunan penjualan BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina mencapai 50%. Secara nasional, menurut Nicke, terjadi penurunan 25%. "Ini adalah penjualan terendah sepanjang masa," tegasnya.
Padahal sektor hilir seperti penjualan BBM adalah kontributor utama pendapatan Pertamina. Dengan penjualan BBM yang anjlok, maka keuangan Pertamina tentu sangat terpengaruh.
Ini membuat penguatan kas menjadi sangat vital. Tanpa kas yang kuat, Pertamina akan kesulitan melakukan antisipasi dan menyerap risiko jika situasi memburuk. Pasalnya mencari pembiayaan di pasar juga sedang sulit mengingat pandemi virus corona juga menyerang pasar keuangan global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Harga CPO Melesat Bikin Minyak Goreng Jadi Mahal!
Pada Selasa (12/5/2020) pukul 11:42 WIB, harga minyak jenis brent memang naik 0,24%. Sementara yang jenis light sweet juga terangkat 0,95%.
Namun kalau dihitung sejak awal tahun, keduanya mengalami koreksi dalam. Brent anjlok 54,98% sedangkan light sweet ambles 60,17%.
Apalagi pada April harga si emas hitam sempat jauh sejatuh-jatuhnya. Harga light sweet bahkan sempat minus, artinya siapa yang mau beli minyak malah diberi uang. Harga brent pun jeblok hingga ke bawah US$ 20/barel.
Akan tetapi, harga jual BBM dari PT Pertamina (Persero) belum disesuaikan. Saat ini, harga jual BBM di DKI Jakarta untuk jenis Pertalite adalah Rp 7.650/liter, Pertamax Rp 9.000/liter, Pertamax Turbo 9.850/liter, Pertamax Racing Rp 42.000/liter, Dexlite Rp 9.500/liter, Pertamina Dex Rp 10.200, solar non-subsidi Rp 9.400/liter, dan minyak tanah non-subsidi Rp 11.220/liter.
Sah saja jika menilai semestinya harga BBM di Indonesia turun ketika harga minyak dunia anjlok sampai minus. Namun perlu dicatat bahwa komponen pembentuk harga BBM bukan cuma harga minyak.
Salah satu komponen penting lainnya adalah nilai tukar. Ini yang jadi masalah, karena rupiah cenderung melemah sepanjang tahun ini.
Pada pukul 12:01 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.890 di mana rupiah melemah 0,27%. Sejak awal tahun, rupiah melemah 7,28% di hadapan mata uang Negeri Paman Sam.
Kebutuhan BBM dalam negeri belum bisa dipenuhi secara mandiri, masih mengandalkan impor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan impor produk pengolahan minyak (salah satunya BBM) pada 2019 bernilai US$ 13,67 miliar.
Kala rupiah melemah, biaya untuk impor menjadi semakin mahal. Kenaikan biaya impor ini tentu masuk ke komponen pembentukan harga.
Selain itu, penurunan harga BBM juga tidak akan banyak membantu meredam inflasi. Harga kebutuhan pokok tentu turun, tetapi tidak bisa terlalu banyak.
Sebab biaya BBM hanya satu dari begitu banyak komponen pembentuk harga sembako. Di Indonesia, harga kebutuhan pokok lebih ditentukan oleh seberapa panjang rantai yang harus dilalui dari produsen ke konsumen. Semakin panjang rantainya, maka harga yang harus dibayar oleh konsumen jadi semakin mahal.
Misalnya perdagangan beras di DKI Jakarta, melibatkan pola distribusi paling panjang se-Indonesia Raya karena ibu kota tidak menghasilkan beras sendiri, harus didatangkan dari daerah atau negara lain. Perdagangan beras di Jakarta melibatkan importir, pedagang pengepul, agen, distributor, sub-distributor, pedagang grosir, pedagang eceran, baru ke konsumen.
Ini membuat Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) beras di Jakarta mencapai 28,02%. Artinya harga dari produsen sampai ke konsumen bertambah rata-rata 28,02%. MPP Jakarta jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional yaitu 20,83%.
![]() |
Penurunan harga BBM tidak akan banyak membantu selama rantai perdagangan sembako masih belum efisien. Jika rantai perdagangan masih panjang, konsumen sulit mendapatkan harga yang kompetitif.
Selain itu, jika harga BBM diturunkan kemudian harga minyak dunia naik lagi tentu menjadi dilema. Kenaikan harga BBM setelah diturunkan tentu kembali mengundang polemik. Ribut lagi...
Oleh karena itu, ada baiknya 'kentungan' yang didapat Pertamina kala harga minyak murah (kalaupun untung) dialokasikan untuk memperkuat kas. Pertamina sangat membutuhkan kas yang kuat, mengingat pendapatan turun drastis.
Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat masyarakat diimbau untuk #dirumahaja demi menekan penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan pendapatan perseroan menurun sangat drastis.
Di Jakarta, penurunan penjualan BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina mencapai 50%. Secara nasional, menurut Nicke, terjadi penurunan 25%. "Ini adalah penjualan terendah sepanjang masa," tegasnya.
Padahal sektor hilir seperti penjualan BBM adalah kontributor utama pendapatan Pertamina. Dengan penjualan BBM yang anjlok, maka keuangan Pertamina tentu sangat terpengaruh.
Ini membuat penguatan kas menjadi sangat vital. Tanpa kas yang kuat, Pertamina akan kesulitan melakukan antisipasi dan menyerap risiko jika situasi memburuk. Pasalnya mencari pembiayaan di pasar juga sedang sulit mengingat pandemi virus corona juga menyerang pasar keuangan global.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Harga CPO Melesat Bikin Minyak Goreng Jadi Mahal!
Most Popular