
Arab Pangkas Produksi Minyak & Harga Naik, Begini Dampaknya
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 May 2020 09:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah untuk kontrak yang ramai diperdagangkan hari ini menguat setelah Arab Saudi dan anggota kartel minyak lain yang tergabung dalam OPEC+ berjanji akan memangkas produksi lebih lanjut pada Juni. Namun pasar juga masih mencermati potensi terjadinya gelombang kedua wabah Covid-19.
Selasa (12/5/2020) harga minyak mentah kontrak pengiriman Juni 2020 mengalami penguatan pada pagi hari ini. Pada waktu perdagangan Asia 09.08 WIB, harga minyak acuan internasional Brent naik 0,67% ke US$ 29,83/barel. Pada saat yang sama, untuk minyak mentah acuan Negeri Paman Sam yakni West Texas Intermediate (WTI) menguat lebih tinggi sebesar 1,41% ke US$ 24,48/barel.
Semalam Arab Saudi mengumumkan pihaknya akan kembali memangkas produksi minyak hingga 1 juta barel per hari (bpd) secara sukarela pada Juni nanti. Jika hal ini dilakukan maka total pemangkasan produksi yang dilakukan Arab Saudi mencapai 7,5 juta bpd atau turun 40% dibanding April 2020.
"Pengurangan produksi ini menjadi contoh yang sangat baik dan mendorong anggota OPEC + lainnya untuk mematuhi dan bahkan menawarkan pemangkasan sukarela tambahan, yang seharusnya mempercepat terciptanya kembali keseimbangan di pasar minyak global," kata Stephen Innes, kepala strategi pasar global di AxiCorp, dalam sebuah catatan. Mengutip Reuters.
Uni Emirat Arab (UEA) dan Kuwait juga berkomitmen untuk memangkas produksi lebih lanjut. Mereka berjanji untuk memangkas 180.000 bpd. Pada Juni nanti UEA akan memangkas produksi sebesar 100 ribu bpd dan Kuwait akan memotong 80 ribu bpd sisanya di luar kuota yang sudah ditetapkan.
Pemangkasan produksi yang dikombinasikan dengan pelonggaran pembatasan sosial di berbagai negara seperti AS dan Eropa berpotensi memicu pemulihan bertahap dalam permintaan bahan bakar. Hal ini diperkirakan akan mengurangi tekanan pada kapasitas penyimpanan minyak mentah.
Namun seiring dengan pembukaan ekonomi yang dilakukan di banyak negara, ada risiko terjadinya gelombang kedua wabah yang mengerikan. Di Asia, kejadian tersebut dialami oleh China dan Korea Selatan. Dalam dua hari terakhir, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO menyebutkan kasus baru di China naik 0,02%. Meski sangat tipis, tetapi itu adalah laju tercepat sejak 29 April. Artinya, ada tanda kasus baru virus corona mulai meningkat lagi.
Pemerintah China mengambil langkah tegas dengan menerapkan lockdown di Kota Shulan, Provinsi Jilin. Ini dilakukan agar virus tidak semakin menyebar. Di Kota Wuhan, ground zero penyebaran virus corona, sudah ada satu kluster penyebaran baru setelah lockdown dicabut sebulan lalu. Ada lima pasien baru yang tinggal di sebuah pemukiman.
Kemudian di Korea Selatan, Korea Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona per 11 Mei adalah 10.909 orang. Naik 0,32% dibandingkan posisi per hari sebelumnya. Seperti halnya di China, pertumbuhan kasus di Negeri Ginseng memang relatif rendah. Namun kenaikan 0,32% menjadi yang tertinggi sejak 9 April.
Pada akhir pekan lalu, jumlah pasien positif corona di Korea Selatan bertambah 35 orang dalam sehari, tertinggi dalam lebih dari sebulan terakhir. Sebanyak 29 di antaranya terjangkit setelah mendatangi beberapa bar dan klub malam.
Potensi terjadinya gelombang kedua wabah ini sebenarnya sudah diwanti-wanti jauh hari oleh ahli epidemiologi Ben Cowling, seorang profesor di School of Public Health at the University of Hong Kong.
″ ... Saya pikir untuk memiliki timeline akan jadi sangat menantang. Tidak ada negara yang ingin membuka terlalu dini, dan kemudian menjadi negara pertama yang memiliki gelombang kedua yang besar," kata Cowling kepada CNBC International pertengahan April lalu.
"Saya pikir itu akan sangat sulit karena kita tahu bahwa bahkan negara-negara yang mengatasi gelombang pertama mereka, mereka akan mendapat tantangan dari negara-negara lain yang masih mengalami gelombang pertama mereka atau bahkan mengalami gelombang kedua, yang bisa mulai sekarang di Cina," tambah Cowling.
Potensi terjadinya gelombang kedua wabah ini menjadi hal yang patut dicermati. Jika hal ini terjadi maka ekonomi global akan mengalami kontraksi berkepanjangan. Periode pemulihan akan berjalan lambat dan lama. Permintaan minyak pun bisa turun lebih dalam. Fenomena ini juga berpotensi menghambat pergerakan harga minyak untuk naik tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article OPEC+ Pangkas 9,7 Juta Barel Produksi, Harga Minyak Meroket
Selasa (12/5/2020) harga minyak mentah kontrak pengiriman Juni 2020 mengalami penguatan pada pagi hari ini. Pada waktu perdagangan Asia 09.08 WIB, harga minyak acuan internasional Brent naik 0,67% ke US$ 29,83/barel. Pada saat yang sama, untuk minyak mentah acuan Negeri Paman Sam yakni West Texas Intermediate (WTI) menguat lebih tinggi sebesar 1,41% ke US$ 24,48/barel.
Semalam Arab Saudi mengumumkan pihaknya akan kembali memangkas produksi minyak hingga 1 juta barel per hari (bpd) secara sukarela pada Juni nanti. Jika hal ini dilakukan maka total pemangkasan produksi yang dilakukan Arab Saudi mencapai 7,5 juta bpd atau turun 40% dibanding April 2020.
"Pengurangan produksi ini menjadi contoh yang sangat baik dan mendorong anggota OPEC + lainnya untuk mematuhi dan bahkan menawarkan pemangkasan sukarela tambahan, yang seharusnya mempercepat terciptanya kembali keseimbangan di pasar minyak global," kata Stephen Innes, kepala strategi pasar global di AxiCorp, dalam sebuah catatan. Mengutip Reuters.
Uni Emirat Arab (UEA) dan Kuwait juga berkomitmen untuk memangkas produksi lebih lanjut. Mereka berjanji untuk memangkas 180.000 bpd. Pada Juni nanti UEA akan memangkas produksi sebesar 100 ribu bpd dan Kuwait akan memotong 80 ribu bpd sisanya di luar kuota yang sudah ditetapkan.
Pemangkasan produksi yang dikombinasikan dengan pelonggaran pembatasan sosial di berbagai negara seperti AS dan Eropa berpotensi memicu pemulihan bertahap dalam permintaan bahan bakar. Hal ini diperkirakan akan mengurangi tekanan pada kapasitas penyimpanan minyak mentah.
Namun seiring dengan pembukaan ekonomi yang dilakukan di banyak negara, ada risiko terjadinya gelombang kedua wabah yang mengerikan. Di Asia, kejadian tersebut dialami oleh China dan Korea Selatan. Dalam dua hari terakhir, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO menyebutkan kasus baru di China naik 0,02%. Meski sangat tipis, tetapi itu adalah laju tercepat sejak 29 April. Artinya, ada tanda kasus baru virus corona mulai meningkat lagi.
Pemerintah China mengambil langkah tegas dengan menerapkan lockdown di Kota Shulan, Provinsi Jilin. Ini dilakukan agar virus tidak semakin menyebar. Di Kota Wuhan, ground zero penyebaran virus corona, sudah ada satu kluster penyebaran baru setelah lockdown dicabut sebulan lalu. Ada lima pasien baru yang tinggal di sebuah pemukiman.
Kemudian di Korea Selatan, Korea Centers for Disease Control and Prevention mencatat jumlah pasien positif corona per 11 Mei adalah 10.909 orang. Naik 0,32% dibandingkan posisi per hari sebelumnya. Seperti halnya di China, pertumbuhan kasus di Negeri Ginseng memang relatif rendah. Namun kenaikan 0,32% menjadi yang tertinggi sejak 9 April.
Pada akhir pekan lalu, jumlah pasien positif corona di Korea Selatan bertambah 35 orang dalam sehari, tertinggi dalam lebih dari sebulan terakhir. Sebanyak 29 di antaranya terjangkit setelah mendatangi beberapa bar dan klub malam.
Potensi terjadinya gelombang kedua wabah ini sebenarnya sudah diwanti-wanti jauh hari oleh ahli epidemiologi Ben Cowling, seorang profesor di School of Public Health at the University of Hong Kong.
″ ... Saya pikir untuk memiliki timeline akan jadi sangat menantang. Tidak ada negara yang ingin membuka terlalu dini, dan kemudian menjadi negara pertama yang memiliki gelombang kedua yang besar," kata Cowling kepada CNBC International pertengahan April lalu.
"Saya pikir itu akan sangat sulit karena kita tahu bahwa bahkan negara-negara yang mengatasi gelombang pertama mereka, mereka akan mendapat tantangan dari negara-negara lain yang masih mengalami gelombang pertama mereka atau bahkan mengalami gelombang kedua, yang bisa mulai sekarang di Cina," tambah Cowling.
Potensi terjadinya gelombang kedua wabah ini menjadi hal yang patut dicermati. Jika hal ini terjadi maka ekonomi global akan mengalami kontraksi berkepanjangan. Periode pemulihan akan berjalan lambat dan lama. Permintaan minyak pun bisa turun lebih dalam. Fenomena ini juga berpotensi menghambat pergerakan harga minyak untuk naik tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article OPEC+ Pangkas 9,7 Juta Barel Produksi, Harga Minyak Meroket
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular