
Ekonomi RI & ASEAN Babak Belur Dihajar Corona, Q2 Lebih Ngeri
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
08 May 2020 09:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada kuartal pertama tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Tanah Air mengalami perlambatan yang signifikan akibat merebaknya pandemi COVID-19 baik di luar maupun dalam negeri.
Perlambatan bahkan kontraksi ekonomi juga dirasakan negara kawasan Asia Tenggara lainnya. Pada kuartal kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi RI terancam anjlok semakin dalam.
Selasa (5/5/2020) Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka keramat yang dinanti oleh banyak orang yakni Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal pertama 2020. Dalam konferensi pers-nya, BPS mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh 2,97% (yoy) pada 1Q20.
Ekonomi RI melambat signifikan jika dibandingkan dengan periode sebelum-sebelumnya. "Pada triwulan I-2020, ekonomi ini mengalami perlambatan yang sangat dalam," kata Suhariyanto alias Ketjuk selaku kepala BPS. tambahnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal satu bahkan jauh lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memperkirakan pertumbuhan PDB akan berada di angka 4,24% (yoy). Namun kenyataannya jauh lebih buruk dari apa yang diperkirakan.
Dengan begitu pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin menjauhi angka 5%. Boro-boro 7%, untuk mencapai angka 5% saja sudah sangat ngos-ngosan. Miris memang. Tak bisa dipungkiri, wabah COVID-19 yang merebak di Indonesia menjadi faktor pemicu perlambatan ekonomi domestik.
Namun jika hanya mengkambing-hitamkan wabah COVID-19 saja rasanya tidak bijak. Toh pertumbuhan PDB RI selama lima tahun terakhir cenderung mentok di angka 5%. Bahkan di sepanjang 2019 terus menerus mencatatkan perlambatan.
Jika saja pemerintah lebih cepat mengantisipasi risiko dari penyebaran virus corona, seharusnya ekonomi Tanah Air tak akan seanjlok ini. Salah satu hal yang bisa dilakukan sebenarnya adalah menggenjot belanja pemerintah untuk melindungi ekonomi dari infeksi sang patogen.
Namun sayang seribu sayang hal tersebut tidak dilakukan. Ketika pendapatan negara naik 7,7% (yoy) menjadi Rp 375,95 triliun pada tiga bulan pertama tahun ini dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 349 triliun, realisasi belanja pemerintah pusat cenderung flat dibanding kuartal satu tahun 2019.
Mengacu pada data Kementerian Keuangan, pada 1Q20 realisasi belanja pemerintah pusat mencapai Rp 452,4 triliun. Sementara untuk periode yang sama tahun lalu realisasi anggaran untuk belanja pemerintah pusat mencapai Rp 452,1 triliun.
Namun nasi sudah menjadi bubur. Sebaiknya kini fokus pada solusi untuk menyelamatkan ekonomi dari gempuran wabah COVID-19 yang sudah membuat 12.776 orang di Indonesia jatuh sakit.
Indonesia juga tak sendirian, perekonomian global pun luluh lantak akibat pandemi COVID-19 yang kini sudah menjangkiti 3,8 juta orang di lebih dari 200 negara dan teritori di berbagai penjuru dunia.
"Penyebaran COVID-19 ini membuat ekonomi global terkontraksi," kata Suhariyanto. Pria yang akrab disapa Ketjuk ini juga menambahkan, ekonomi beberapa mitra dagang Indonesia terkontraksi sebagai akibat adanya pembatasan aktivitas atau lockdown untuk mengendalikan penyerbaran Covid-19.
Ekonomi China minus 6,8% (yoy) di sepanjang kuartal satu, bahkan itu ekonomi Hong Kong anjlok lebih dalam sampai negatif 8,9% (yoy). Di kawasan Asia Tenggara, sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbilang mending. Hal ini patut disyukuri agar tidak jadi kufur nikmat. Namun juga jangan langsung berbangga.
Singapura yang ekonominya sudah rapuh sejak 2019 mengalami kontraksi 2,2% pada 1Q20. Hal serupa juga dialami oleh Filipina yang menerapkan lockdown. Pembatasan ini membuat perekonomian Filipina mengalami kontraksi yang cukup dalam hingga minus 0,2% (yoy).
Tak ada seorang pun yang bisa meramal bahwa tahun 2020 akan menjadi tahun yang sangat berat. Padahal di awal tahun atau tepatnya pada 15 Januari lalu ancaman terbesar bagi perekonomian global yakni perang dagang antara AS dengan China sudah lumayan mereda dengan ditandatanganinya kesepakatan dagang fase satu.
Namun semua berubah ketika kasus infeksi COVID-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, China bagian tengah melonjak signifikan yang membuat pemerintah pusat memutuskan untuk menutup (lockdown) Wuhan dan kota sekitar.
Walau episentrum virus sudah dikarantina, tetapi musuh tak kasat mata tersebut sudah terlanjur merebak. Sehingga episentrum yang tadinya di China kemudian berpindah ke Eropa hingga terakhir AS.
Karena saking cepatnya virus ini menular dari satu orang ke orang lain, maka pemerintah berbagai negara seperti Italia, Spanyol dan Perancis bahkan mengikuti langkah China dengan menerapkan lockdown.
Lockdown jelas menyisakan konsekuensi yang serius bagi perekonomian. Akibat lockdown, pabrik-pabrik tutup tak beroperasi, produksi menurun, rantai pasok global terganggu hingga permintaan melemah. Perputaran roda perekonomian pun jadi seret.
Pada akhirnya, tak ada yang benar-benar tangguh dan mampu melawan pandemi COVID-19. Angka pertumbuhan ekonomi kuartal satu sudah sangat jelas menggambarkan betapa dahsyatnya dampak ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya musuh tak kasat mata yang bernama virus corona. Walau pada kuartal pertama ekonomi RI sudah melambat signifikan, pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua diperkirakan anjlok lebih dalam. Pasalnya lonjakan kasus infeksi COVID-19 terus melonjak dengan signifikan.
Memasuki bulan April atau tepatnya awal kuartal kedua, jumlah pertambahan kasus infeksi COVID-19 di Indonesia sudah melampaui angka 100 per hari. Bahkan memasuki minggu kedua bulan April, jumlah kasus baru per harinya bertambah hingga lebih dari 300.
Karena saking banyaknya kasus baru per hari dan membuat berbagai pihak kewalahan, akhirnya pemerintah mulai memberlakukan program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan terjadinya penyebaran virus yang semakin meluas.
PSBB pertama kali diterapkan di episentrum penyebaran virus corona di Tanah Air yakni di Jakarta pada 10 April lalu. Artinya sudah hampir sebulan PSBB diterapkan di Ibu Kota. Langkah yang sama juga dilakukan di wilayah lainnya.
Setidaknya per 20 April lalu sudah ada 20 wilayah di dalam negeri yang menerapkan PSBB. Rata-rata waktu penerapannnya adala 14 hari. PSBB sendiri dilakukan dengan kebijakan belajar, bekerja dan beribadah di rumah dan rang-orang diminta untuk menjaga jarak aman
Walau tidak lockdown, pembatasan yang dilakukan pemerintah juga meninggalkan konsekuensi. Hal ini terlihat dari beberapa indikator kunci. Pertama adalah data PMI Manufaktur RI.
Pada April 2020, sektor manufaktur Indonesia mengalami kontraksi yang dalam hingga menyentuh level 27,5. Padahal di bulan sebelumnya angka PMI manufaktur Indonesia sudah mengindikasikan adanya kontraksi dengan angka sebesar 45,3.
Dari sisi lain, konsumen pun sudah mulai pesimis dalam memandang perekonomian. Hal ini tercermin dari angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) April 2020 yang sudah melorot di bawah angka 100 (artinya pesimis) ke level 84,8.
Konsumen menjadi lebih konservatif dan menahan diri dan lebih memilih untuk tak banyak membelanjakan uangnya. Tentu ini bukan hal yang baik apalagi untuk negara seperti Indonesia yang perekonomiannya paling besar bertumpu pada konsumsi masyarakat (>56% penyusun PDB adalah konsumsi domestik).
Ekonomi Indonesia juga terancam jatuh lebih dalam lantaran harga-harga komoditas mulai berjatuhan seiring dengan melemahnya permintaan. Harga-harga yang anjlok seperti minyak, batu bara dan CPO.
Indonesia merupakan negara eksportir batu bara dan CPO global, sehingga wajar saja jika penurunan harga akibat pelemahan permintaan menjadi indikator bahwa perekonomian dalam negeri memang benar-benar terancam.
Pada akhirnya tidak ada yang bisa benar-benar selamat dari cengkeraman pandemi COVID-19 ini. Ekonomi global dan dalam negeri pun diperkirakan akan melambat atau bahkan terkontraksi pada kuartal kedua.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg) Next Article Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Makin Loyo
Perlambatan bahkan kontraksi ekonomi juga dirasakan negara kawasan Asia Tenggara lainnya. Pada kuartal kedua tahun ini, pertumbuhan ekonomi RI terancam anjlok semakin dalam.
Ekonomi RI melambat signifikan jika dibandingkan dengan periode sebelum-sebelumnya. "Pada triwulan I-2020, ekonomi ini mengalami perlambatan yang sangat dalam," kata Suhariyanto alias Ketjuk selaku kepala BPS. tambahnya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal satu bahkan jauh lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memperkirakan pertumbuhan PDB akan berada di angka 4,24% (yoy). Namun kenyataannya jauh lebih buruk dari apa yang diperkirakan.
Dengan begitu pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin menjauhi angka 5%. Boro-boro 7%, untuk mencapai angka 5% saja sudah sangat ngos-ngosan. Miris memang. Tak bisa dipungkiri, wabah COVID-19 yang merebak di Indonesia menjadi faktor pemicu perlambatan ekonomi domestik.
Namun jika hanya mengkambing-hitamkan wabah COVID-19 saja rasanya tidak bijak. Toh pertumbuhan PDB RI selama lima tahun terakhir cenderung mentok di angka 5%. Bahkan di sepanjang 2019 terus menerus mencatatkan perlambatan.
Jika saja pemerintah lebih cepat mengantisipasi risiko dari penyebaran virus corona, seharusnya ekonomi Tanah Air tak akan seanjlok ini. Salah satu hal yang bisa dilakukan sebenarnya adalah menggenjot belanja pemerintah untuk melindungi ekonomi dari infeksi sang patogen.
Namun sayang seribu sayang hal tersebut tidak dilakukan. Ketika pendapatan negara naik 7,7% (yoy) menjadi Rp 375,95 triliun pada tiga bulan pertama tahun ini dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 349 triliun, realisasi belanja pemerintah pusat cenderung flat dibanding kuartal satu tahun 2019.
Mengacu pada data Kementerian Keuangan, pada 1Q20 realisasi belanja pemerintah pusat mencapai Rp 452,4 triliun. Sementara untuk periode yang sama tahun lalu realisasi anggaran untuk belanja pemerintah pusat mencapai Rp 452,1 triliun.
Namun nasi sudah menjadi bubur. Sebaiknya kini fokus pada solusi untuk menyelamatkan ekonomi dari gempuran wabah COVID-19 yang sudah membuat 12.776 orang di Indonesia jatuh sakit.
Indonesia juga tak sendirian, perekonomian global pun luluh lantak akibat pandemi COVID-19 yang kini sudah menjangkiti 3,8 juta orang di lebih dari 200 negara dan teritori di berbagai penjuru dunia.
"Penyebaran COVID-19 ini membuat ekonomi global terkontraksi," kata Suhariyanto. Pria yang akrab disapa Ketjuk ini juga menambahkan, ekonomi beberapa mitra dagang Indonesia terkontraksi sebagai akibat adanya pembatasan aktivitas atau lockdown untuk mengendalikan penyerbaran Covid-19.
Ekonomi China minus 6,8% (yoy) di sepanjang kuartal satu, bahkan itu ekonomi Hong Kong anjlok lebih dalam sampai negatif 8,9% (yoy). Di kawasan Asia Tenggara, sebenarnya pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terbilang mending. Hal ini patut disyukuri agar tidak jadi kufur nikmat. Namun juga jangan langsung berbangga.
Singapura yang ekonominya sudah rapuh sejak 2019 mengalami kontraksi 2,2% pada 1Q20. Hal serupa juga dialami oleh Filipina yang menerapkan lockdown. Pembatasan ini membuat perekonomian Filipina mengalami kontraksi yang cukup dalam hingga minus 0,2% (yoy).
Tak ada seorang pun yang bisa meramal bahwa tahun 2020 akan menjadi tahun yang sangat berat. Padahal di awal tahun atau tepatnya pada 15 Januari lalu ancaman terbesar bagi perekonomian global yakni perang dagang antara AS dengan China sudah lumayan mereda dengan ditandatanganinya kesepakatan dagang fase satu.
Namun semua berubah ketika kasus infeksi COVID-19 di Wuhan, Provinsi Hubei, China bagian tengah melonjak signifikan yang membuat pemerintah pusat memutuskan untuk menutup (lockdown) Wuhan dan kota sekitar.
Walau episentrum virus sudah dikarantina, tetapi musuh tak kasat mata tersebut sudah terlanjur merebak. Sehingga episentrum yang tadinya di China kemudian berpindah ke Eropa hingga terakhir AS.
Karena saking cepatnya virus ini menular dari satu orang ke orang lain, maka pemerintah berbagai negara seperti Italia, Spanyol dan Perancis bahkan mengikuti langkah China dengan menerapkan lockdown.
Lockdown jelas menyisakan konsekuensi yang serius bagi perekonomian. Akibat lockdown, pabrik-pabrik tutup tak beroperasi, produksi menurun, rantai pasok global terganggu hingga permintaan melemah. Perputaran roda perekonomian pun jadi seret.
Pada akhirnya, tak ada yang benar-benar tangguh dan mampu melawan pandemi COVID-19. Angka pertumbuhan ekonomi kuartal satu sudah sangat jelas menggambarkan betapa dahsyatnya dampak ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya musuh tak kasat mata yang bernama virus corona. Walau pada kuartal pertama ekonomi RI sudah melambat signifikan, pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua diperkirakan anjlok lebih dalam. Pasalnya lonjakan kasus infeksi COVID-19 terus melonjak dengan signifikan.
Memasuki bulan April atau tepatnya awal kuartal kedua, jumlah pertambahan kasus infeksi COVID-19 di Indonesia sudah melampaui angka 100 per hari. Bahkan memasuki minggu kedua bulan April, jumlah kasus baru per harinya bertambah hingga lebih dari 300.
Karena saking banyaknya kasus baru per hari dan membuat berbagai pihak kewalahan, akhirnya pemerintah mulai memberlakukan program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan terjadinya penyebaran virus yang semakin meluas.
PSBB pertama kali diterapkan di episentrum penyebaran virus corona di Tanah Air yakni di Jakarta pada 10 April lalu. Artinya sudah hampir sebulan PSBB diterapkan di Ibu Kota. Langkah yang sama juga dilakukan di wilayah lainnya.
Setidaknya per 20 April lalu sudah ada 20 wilayah di dalam negeri yang menerapkan PSBB. Rata-rata waktu penerapannnya adala 14 hari. PSBB sendiri dilakukan dengan kebijakan belajar, bekerja dan beribadah di rumah dan rang-orang diminta untuk menjaga jarak aman
Walau tidak lockdown, pembatasan yang dilakukan pemerintah juga meninggalkan konsekuensi. Hal ini terlihat dari beberapa indikator kunci. Pertama adalah data PMI Manufaktur RI.
Pada April 2020, sektor manufaktur Indonesia mengalami kontraksi yang dalam hingga menyentuh level 27,5. Padahal di bulan sebelumnya angka PMI manufaktur Indonesia sudah mengindikasikan adanya kontraksi dengan angka sebesar 45,3.
Dari sisi lain, konsumen pun sudah mulai pesimis dalam memandang perekonomian. Hal ini tercermin dari angka Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) April 2020 yang sudah melorot di bawah angka 100 (artinya pesimis) ke level 84,8.
Konsumen menjadi lebih konservatif dan menahan diri dan lebih memilih untuk tak banyak membelanjakan uangnya. Tentu ini bukan hal yang baik apalagi untuk negara seperti Indonesia yang perekonomiannya paling besar bertumpu pada konsumsi masyarakat (>56% penyusun PDB adalah konsumsi domestik).
Ekonomi Indonesia juga terancam jatuh lebih dalam lantaran harga-harga komoditas mulai berjatuhan seiring dengan melemahnya permintaan. Harga-harga yang anjlok seperti minyak, batu bara dan CPO.
Indonesia merupakan negara eksportir batu bara dan CPO global, sehingga wajar saja jika penurunan harga akibat pelemahan permintaan menjadi indikator bahwa perekonomian dalam negeri memang benar-benar terancam.
Pada akhirnya tidak ada yang bisa benar-benar selamat dari cengkeraman pandemi COVID-19 ini. Ekonomi global dan dalam negeri pun diperkirakan akan melambat atau bahkan terkontraksi pada kuartal kedua.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg) Next Article Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Makin Loyo
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular