
Menteri ESDM Blak-blakan Harga BBM, Gak Bisa Turun?
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
04 May 2020 14:47

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif akhirnya buka suara soal belum diturunkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) meski harga minyak dunia sudah turun. Arifin mengatakan akan terus memperhatikan perkembangan harga minyak.
Menurutnya, perkembangan harga minyak mentah selama 13 tahun terakhir biasanya akan rebound dalam tiga bulan jika dalam kondisi krisis biasa. Arifin mencontohkan pada krisis tahun 2008 harga minyak anjlok sampai US$ 38 per barel, lalu kembali normal menjadi US$ 70 per barel.
Namun kondisinya saat ini berbeda, karena ada kondisi pandemi corona (Covid-19) yang diikuti oleh perang harga minyak antara Rusia, Arab Saudi, dan non Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Sampai saat ini pihaknya masih menunggu realisasi pemotongan produksi minyak global oleh negara-negara OPEC dan Non OPEC. Seperti diketahui Mei - Juni ada rencana pemangkasan produksi sebesar 9,7 juta barel. Lalu pemotongan produksi Juli -Desember 7,7 juta barel, dan Januari - April 2021 sebesar 5,8 juta barel.
"Di sisi lain, Covid-19 terjadi penurunan karena kebijakan lockdown dan melemahnya ekonomi sehingga demand menurun. Penurunan ini harga minyak sampai US$ 22 per barel bahkan pernah minus US$ 37 per barel karena tidak ada demand kemudian storage penuh," kata Arifin dalam Raker virtual dengan Komisi VII DPR RI, Senin, (4/05/2020).
Arifin mengatakan, sebelum adanya pandemi dan perang crude antara OPEC dan Non OPEC harga sudah diturunkan. Ia juga menyebut harga BBM Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN masih termurah.
"Kita bisa lihat dibandingkan degan Philipina bensin setara pertalite dijual dengan harga Rp 10.000/liter, kemudian di Laos Rp 14.000/liter," paparnya.
Ia menjelaskan rata-rata BBM nasional turun 26,4%, dengan rincian rata-rata penjualan bensin turun 29,8% dan rata-rata volume penjualan minyak solar 18,7%. Anjloknya konsumsi ini membuat operating cost terdampak menjadi lebih tinggi, disamping anjloknya kurs yang juga menjadi pukulan telak.
"Kita memperkirakan harga minyak akan rebound dikisaran US$ 40 per barel di akhir tahun. Untuk itu kami masih mencermati perkembangan dalam Mei dan Juni ini.
(gus) Next Article Harga Minyak di Tangan Arab, Harga BBM Tergantung ESDM
Menurutnya, perkembangan harga minyak mentah selama 13 tahun terakhir biasanya akan rebound dalam tiga bulan jika dalam kondisi krisis biasa. Arifin mencontohkan pada krisis tahun 2008 harga minyak anjlok sampai US$ 38 per barel, lalu kembali normal menjadi US$ 70 per barel.
Namun kondisinya saat ini berbeda, karena ada kondisi pandemi corona (Covid-19) yang diikuti oleh perang harga minyak antara Rusia, Arab Saudi, dan non Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC).
"Di sisi lain, Covid-19 terjadi penurunan karena kebijakan lockdown dan melemahnya ekonomi sehingga demand menurun. Penurunan ini harga minyak sampai US$ 22 per barel bahkan pernah minus US$ 37 per barel karena tidak ada demand kemudian storage penuh," kata Arifin dalam Raker virtual dengan Komisi VII DPR RI, Senin, (4/05/2020).
Arifin mengatakan, sebelum adanya pandemi dan perang crude antara OPEC dan Non OPEC harga sudah diturunkan. Ia juga menyebut harga BBM Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN masih termurah.
"Kita bisa lihat dibandingkan degan Philipina bensin setara pertalite dijual dengan harga Rp 10.000/liter, kemudian di Laos Rp 14.000/liter," paparnya.
Ia menjelaskan rata-rata BBM nasional turun 26,4%, dengan rincian rata-rata penjualan bensin turun 29,8% dan rata-rata volume penjualan minyak solar 18,7%. Anjloknya konsumsi ini membuat operating cost terdampak menjadi lebih tinggi, disamping anjloknya kurs yang juga menjadi pukulan telak.
"Kita memperkirakan harga minyak akan rebound dikisaran US$ 40 per barel di akhir tahun. Untuk itu kami masih mencermati perkembangan dalam Mei dan Juni ini.
(gus) Next Article Harga Minyak di Tangan Arab, Harga BBM Tergantung ESDM
Most Popular