Bahayanya Jika Banjir Debitur Leasing Restrukturisasi Kredit

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
29 April 2020 08:35
Suwandi Wiratno, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI)
Foto: Suwandi Wiratno, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI)
Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengatakan masyarakat yang mengajukan restrukturisasi kredit terus bertambah. Ini menyebabkan potensi kerugian perusahaan pembiayaan atau leasing bakal menjadi Rp 87,64 triliun.

Hal ini dikatakan Ketua APPI Suwandi Wiratno. Apalagi sejak kebijakan restrukturisasi kredit disahkan, ada 583 ribu debitur yang mengajukan restrukturisasi kepada perusahaan.

"Ini adalah worst case scenario kalau semuanya memohon penundaan libur cicilan. Total kerugian yang ada, potensinya adalah Rp 87,64 triliun," kata Suwandi dalam video conference, Selasa (28/4/2020).



Proyeksi perhitungan kerugian itu berasal dari 70% kerugian leasing dari pembiayaan mobil yang sebesar Rp 45,58 triliun. Lalu, sisanya atau 30% berasal dari pembiayaan motor yang sebesar Rp 42.06 triliun.

Pasalnya, perusahaan harus menanggung terlebih dahulu pokok utang dan bunga utang yang seharusnya merupakan kewajiban debitur. Hal itu akhirnya membuat likuiditas perusahaan rentan terganggu.

Apalagi, pendapatan perusahaan pembiayaan hanya berasal dari pembayaran buang dan arus kas dari pembayaran pokok utang. Jika banyak debitur yang mengajukan untuk menunda pembayaran cicilan atau hanya dibayar bunga, Suwandi mengaku, leasing sudah pasti mengalami kesulitan likuiditas.

"Restrukturisasi ini adalah tantangan tersendiri dan bagaimana tantangan ke depannya untuk memberikan pinjaman-pinjaman yang baru. Cukup banyak saat ini, 80% perusahaan pembiayaan yang melakukan stop lending [memberikan pinjaman]" ujarnya.

Maka dari itu, dia berharap perusahaan pembiayaan bisa mendapatkan fasilitas pengajuan restrukturisasi kepada perbankan di tengah pandemi ini. Dengan demikian arus kas perusahaan tetap bisa terjaga.

APPI juga meminta seluruh otoritas, meluruskan apa yang dimaksud dari himbauan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai diperbolehkannya penundaan bayar cicilan atau restrukturisasi kredit.

Dikatakannya, saat ini banyak masyarakat yang menyalahartikan pesan apa yang dimaksud dari restrukturisasi kredit tersebut.

"Masyarakat multitafsir, [...] yang paling populer adalah tafsiran dari masyarakat boleh libur cicilan selama satu tahun. Padahal dalam POJK 11/2020, maksimal satu tahun itu maksudnya adalah konsep-konsep restrukturisasi itu sendiri, yaitu penurunan bunga, perpanjangan jangka waktu, pengurangan tunggakan pokok utang , dan sebagainya," kata Suwandi.

Masalah lainnya, perusahaan pembiayaan diberhentikan pinjaman oleh perbankan. Padahal masih ada plafon yang tersedia untuk menarik kreditnya.

"Yang diharapkan, jika debitur melakukan relaksasi dan harapan kami dengan perbankan, ada mirroring. Debitur relaksasi, kami juga harus dapat restrukturisasi yang sama," ucapnya.

"Ini situasi di mana kita harus melihat posisinya. Jika ingin recover terhadap ekonomi. Sebaiknya bukan hanya memikirkan hari ini restrukturisasi dengan proses yang baik. Tapi likuiditas juga tersedia buat perusahaan pembiayaan. Jika tidak, ada domino effect yang berat di perusahaan pembiayaan."

[Gambas:Video CNBC]






(sef/sef) Next Article Gak Boleh Asal-Asalan! Restrukturisasi Kredit Harus Hati-Hati

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular