Dampak Keringanan Kredit, Multifinance Bakal Rugi Rp 24 T

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
28 April 2020 19:52
Suwandi Wiratno, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI)
Foto: Suwandi Wiratno, Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI)
Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Perusahaan Pembiyaan Indonesia (APPI) mengakui terbebani dengan adanya kebijakan restrukturisasi kredit dari pemerintah. Diperkirakan tiga bulan ke depan, perusahaan pembiayaan akan menanggung beban Rp 24 triliun.

Ketua APPI Suwandi Wiratno mengatakan, industri pembiayaan di Indonesia saat ini terdapat 183 perusahaan, di mana piutang pembiayaan per Februari 2020 mencapai Rp 452 triliun.

"Ini adalah yang on balance sheet yang artinya perusahaan pembiayaan mendapat pembiayaan dari perbankan 80% atau dari surat berharga atau dari permodalannya sendiri," kata Suwandi dalam video conference, Selasa (28/4/2020).

Dari Rp 452 triliun piutang pembiayaan tersebut, lanjut Suwandi, kurang lebih 70% adalah untuk pembiayaan mobil, yang senilai dengan Rp 316 triliun. Sementara 30% sisanya adalah untuk pembiayaan motor.

Apabila pihaknya harus melakukan penundaan cicilan atau pembebasan bunga selama tiga bulan untuk mobil dan motor. Maka dampak total bunga yang harus ditanggung perusahaan pembiayaan sebesar Rp 5,2 triliun.

"Dikarenakan relaksasi atas penundaan pembayaran cicilan selama tiga bulan ke depan melalui restrukturisasi," jelas Suwandi.

Di sisi lain, perusahaan pembiayaan, kata dia juga harus menemui kendala lain, dalam melakukan penagihan. Sejak adanya video conference Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menghimbau agar perbankan dan leasing harus membantu debitur untuk melakukan keringanan.

OJK kemudian mengeluarkan payung hukumnya melalui Peraturan OJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease.

Di mana dalam aturan itu, kata Suwandi, perbankan hanya membantu debitur yang terdampak covid-19 yang mempunyai pendapatan tidak tetap, bekerja di sektor informal atau UMKM. Dengan penilaian kualitas kredit/pembiayaan/penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk kredit s.d Rp10 miliar.

Terkait adanya himbauan tidak boleh melakukan penarikan, OJK kemudian mengklarifikasi penarikan masih boleh dilakukan untuk kredit macet dan yang telah macet lama, dan tidak mengajukan keringanan sebelum dampak covid-19. Boleh tetap dilakukan sesuai dengan koridor hukum.

"Namun sekarang, proses penarikan itu banyak ditolak oleh masyarakat. Padahal perusahaan pembiayaan sudah mengantisipasi tidak lagi ada penagihan, tapi melakukan penjemputan penagihan. Karena debitur juga masih banyak yang baik dan mau bayar, tapi tidak berani ke luar rumah. Kita jemput lah tagihan tersebut," cerita Suwandi.


Sayangnya penjemputan tagihan itu pun kata Suwandi masih terkendala karena banyak kepala-kepala daerah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, banyak yang memasang pamflet atau brosur, bahkan dipasangkan spanduk-spanduk yang isinya melarang perbankan atau perusahaan untuk menagih utang atau penjemputan surat restrukturisasi.

"Padahal kalau kita bisa merestrukturisasi dan me-reschedule Alhamdulillah baiknya, dan sangat baik buat kita. Namun karena ada larangan-larangan tersebut, ini yang kita khawatirkan akan meningkatkan NPF atau NPL," tuturnya.

Menurut Suwandi hal itu mengakibatkan industri pembiayaan harus menanggung beban Rp 19 triliun, karena larangan eksekusi kendaraan jaminan.

"Sehingga total expected loss, jika ini terjadi dan harus menjadi beban perusahaan 3 bulan ke depan adalah Rp 24 triliun," jelas Suwandi.
(dob/dob) Next Article Di Era Suku Bunga Tinggi, Siapa Multifinance Terbaik?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular