
Waspada! AS Terancam Diserang Corona Lagi, Ini Alasannya
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
25 April 2020 18:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Belum juga pandemi akibat virus corona (COVUD-19) di Amerika Serikat (AS) mereda, Center for Disease Control & Prevention (CDC) sudah mewanti-wanti Paman Sam bersiap menghadapi gelombang kedua wabah yang lebih mengerikan dampaknya.
Data John Hopkins Uiversity CSSE menunjukkan, jumlah penderita COVID-19 secara kumulatif per hari ini mencapai 905.333. jumlah kasus infeksi COVID-19 secara global di waktu bersamaan mencapai 2.812.557.
itu artinya AS menyumbang sepertiga dari total kasus infeksi global. Kini AS menduduki peringkat pertama di klasemen negara-negara dengan jumlah kasus terbanyak di dunia, meninggalkan Spanyol dan Italia sebagai runner up dan peringkat tiga dengan jumlah kasus yang terpaut sangat jauh.
Badai pandemi COVID-19 belum juga berlalu. Namun Direktur CDC Robert Redfield telah mengingatkan bahwa gelombang wabah kedua akan muncil musim dingin nanti. Redfield pun dengan tegas mengatakan gelombang kedua ini bakal lebih mengerikan.
"Ada kemungkinan bahwa serangan virus pada musim dingin nanti akan lebih sulit daripada yang baru saja kita lalui," kata Direktur CDC Robert Redfield dalam sebuah wawancara dengan The Washington Post.
"Ketika saya mengatakan ini kepada orang orang, mereka memalingkan muka. Sungguh mereka tidak memahami apa yang saya maksud, " tambahnya. Lebih lanjut direktur CDC tersebut juga mengatakan bahwa wabah gelombang kedua akan bertepatan dengan epidemi flu.
Satu saja sudah kewalahan setengah mati apalagi dua. Begitulah secara sederhana Redfield menjelaskannya. Sekarang yang jadi pertanyaan mengapa harus menunggu musim dingin? Ada apa dengan musim dingin sebenarnya?
Pandemi COVID-19 merupakan tragedi kemanusiaan tahun ini. Wabah yang disebabkan oleh jenis virus yang satu golongan dengan penyebab SARS 2003 silam ini diyakini berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, China bagian tengah.
Kalau melihat pola kemunculan kasus, SARS dan COVID-19 memiliki kesamaan baik dari segi beberapa gejalanya hingga waktu kemunculannya. Ya, kedua wabah ini muncul di China saat musim dingin tengah berlangsung.
Dalam berbagai penelitian, kemampuan virus untuk menginfeksi inangnya juga tergantung pada faktor lingkungan. Untuk jenis virus corona, faktor lingkungan yang kritis adalah suhu dan kelembaban. Virus akan mudah menginfeksi dan bertahan lebih lama di luar inang ketika suhu dan kelembaban rendah.
Ini dapat menjelaskan mengapa SARS muncul pada November 2002 dan COVID-19 pada Desember 2019, kala China berada pada musim dingin yang kering. Saat SARS melanda, curah hujan di Foshan Guangdong China pada Desember 2002 sangat rendah yaitu 0 mm. Selain itu kondisi kekeringan juga terjadi di Wuhan pada Desember tahun lalu. Hal ini terlihat dari curah hujan yang hanya 5 mm.
Selain menguntungkan bagi virus, kondisi dingin juga melemahkan sistem imun inang dari virus yakni manusia. Menurut Zhong Sun dkk temperatur dingin menyebabkan berkurangnya suplai sehingga menurunkan pasokan sel imun ke mukosa (semacam cairan atau lendir) hidung.
Kelembaban yang rendah juga dapat mengurangi kapasitas sel silia di saluran pernapasan untuk menghilangkan partikel virus dan mengeluarkan lendir serta memperbaiki saluran pernapasan.
Dalam lingkungan dengan kelembaban rendah, kemampuan sel yang terinfeksi virus untuk memperingatkan sel tubuh lain akan bahaya invasi virus menjadi terganggu.
Lebih serius lagi, kelembaban rendah dapat menyebabkan lendir hidung menjadi kering; lapisan rongga hidung menjadi rapuh, atau bahkan pecah; dan membuat seluruh saluran pernapasan bagian atas rentan terhadap invasi virus.
Faktor-faktor tersebut lah yang menyebabkan flu dan penyakit yang diakibatkan oleh virus corona bisa merebak saat musim dingin tiba. Dengan adanya penjabaran ini, maka peringatan dari Direktur CDC menjadi masuk akal. Toh banyak ahli kesehatan masyarakat berpendapat bahwa virus ini tak akan pernah benar-benar hilang dan jadi penyakit musiman.
Data John Hopkins Uiversity CSSE menunjukkan, jumlah penderita COVID-19 secara kumulatif per hari ini mencapai 905.333. jumlah kasus infeksi COVID-19 secara global di waktu bersamaan mencapai 2.812.557.
itu artinya AS menyumbang sepertiga dari total kasus infeksi global. Kini AS menduduki peringkat pertama di klasemen negara-negara dengan jumlah kasus terbanyak di dunia, meninggalkan Spanyol dan Italia sebagai runner up dan peringkat tiga dengan jumlah kasus yang terpaut sangat jauh.
"Ada kemungkinan bahwa serangan virus pada musim dingin nanti akan lebih sulit daripada yang baru saja kita lalui," kata Direktur CDC Robert Redfield dalam sebuah wawancara dengan The Washington Post.
"Ketika saya mengatakan ini kepada orang orang, mereka memalingkan muka. Sungguh mereka tidak memahami apa yang saya maksud, " tambahnya. Lebih lanjut direktur CDC tersebut juga mengatakan bahwa wabah gelombang kedua akan bertepatan dengan epidemi flu.
Satu saja sudah kewalahan setengah mati apalagi dua. Begitulah secara sederhana Redfield menjelaskannya. Sekarang yang jadi pertanyaan mengapa harus menunggu musim dingin? Ada apa dengan musim dingin sebenarnya?
Pandemi COVID-19 merupakan tragedi kemanusiaan tahun ini. Wabah yang disebabkan oleh jenis virus yang satu golongan dengan penyebab SARS 2003 silam ini diyakini berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, China bagian tengah.
Kalau melihat pola kemunculan kasus, SARS dan COVID-19 memiliki kesamaan baik dari segi beberapa gejalanya hingga waktu kemunculannya. Ya, kedua wabah ini muncul di China saat musim dingin tengah berlangsung.
Dalam berbagai penelitian, kemampuan virus untuk menginfeksi inangnya juga tergantung pada faktor lingkungan. Untuk jenis virus corona, faktor lingkungan yang kritis adalah suhu dan kelembaban. Virus akan mudah menginfeksi dan bertahan lebih lama di luar inang ketika suhu dan kelembaban rendah.
Ini dapat menjelaskan mengapa SARS muncul pada November 2002 dan COVID-19 pada Desember 2019, kala China berada pada musim dingin yang kering. Saat SARS melanda, curah hujan di Foshan Guangdong China pada Desember 2002 sangat rendah yaitu 0 mm. Selain itu kondisi kekeringan juga terjadi di Wuhan pada Desember tahun lalu. Hal ini terlihat dari curah hujan yang hanya 5 mm.
Selain menguntungkan bagi virus, kondisi dingin juga melemahkan sistem imun inang dari virus yakni manusia. Menurut Zhong Sun dkk temperatur dingin menyebabkan berkurangnya suplai sehingga menurunkan pasokan sel imun ke mukosa (semacam cairan atau lendir) hidung.
Kelembaban yang rendah juga dapat mengurangi kapasitas sel silia di saluran pernapasan untuk menghilangkan partikel virus dan mengeluarkan lendir serta memperbaiki saluran pernapasan.
Dalam lingkungan dengan kelembaban rendah, kemampuan sel yang terinfeksi virus untuk memperingatkan sel tubuh lain akan bahaya invasi virus menjadi terganggu.
Lebih serius lagi, kelembaban rendah dapat menyebabkan lendir hidung menjadi kering; lapisan rongga hidung menjadi rapuh, atau bahkan pecah; dan membuat seluruh saluran pernapasan bagian atas rentan terhadap invasi virus.
Faktor-faktor tersebut lah yang menyebabkan flu dan penyakit yang diakibatkan oleh virus corona bisa merebak saat musim dingin tiba. Dengan adanya penjabaran ini, maka peringatan dari Direktur CDC menjadi masuk akal. Toh banyak ahli kesehatan masyarakat berpendapat bahwa virus ini tak akan pernah benar-benar hilang dan jadi penyakit musiman.
Pages
Most Popular