
Corona Obrak-Abrik Migas RI, Waspada Lifting Anjlok!
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
15 April 2020 15:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi corona (Covod-19) mengobrak abrik industri minyak mulai dari hulu sampai ke hilir. Hulu menjadi tidak lagi ekonomis, sementara di hilir konsumsinya anjlok. Demand yang berkurang sementara supply melimpah membuat harga minyak ikut-ikutan jeblok.
Menanggapi dampak Covid-19, Anggota Bimasena Energy sekaligus eks Bos Pertamina Ari Soemarno mengatakan dampak dari Covid-19 membuat konsumsi minyak turun sebesar 30 juta barrel per hari. Kemudian, tingkat stok minyak mentah di tempat penyimpanan yang dikuasai oleh negara konsumen utama (strategic petroleum stock) seperti USA dan China sangat tinggi.
Demikian pula yang dikuasai para traders (ditanki darat maupun di tanker terapung). "Produksi negara penghasil baik OPEC maupun NON OPEC juga tinggi. Yang mana semua itu menyebabkan harga crude oil anjlok ke bawah US$ 30 per barel," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu, (15/04/2020).
Lebih lanjut Ari mengatakan, beberapa hari lalu OPEC+ termasuk Russia memutuskan untuk menurunka produksi sebesar 9,7 juta barel per hari. Penurunan produksi berdampak pada naiknya harga minyak meski tidak signifikan, di mana harga minyak masih berada di posisi US$ 32 an per barel untuk Brent dan West Texas Intermediate (WTI) US$ 23 an per barel.
"Tapi hari ini turun lagi ke level US$ 30 untuk Brent dan US$ 21 untuk WTI. Apakah kemudian OPEC+ akan turunkan lagi 10 juta barel seperti omongan Trump masih belum jelas," papar Ari.
Kalaupun nanti terjadi penurunan produksi, ia memprediksi harga minyak mentah akan tetap di bawah US$ 35an per barrel untuk jangka menengah. Karena penyebab utamanya adalah anjloknya konsumsi dampak dari Covid-19.
"Peningkatan konsumsi adalah faktor utama, yang berarti mulai pulihnya kegiatan perekonomian dunia. Akan mampu menaikkan harga minyak seperti Brent di atas US$ 35. Kondisi gas/LNG juga anjlok harganya. Oversupplynya sangat besar dengan tingginya kapasitas produksi dan turunya konsumsi," jelasnya.
Dengan harga crude oil Brent US$ 35-40 per barel dan harga gas yang juga rendah, di mana LNG sudah ditawarkan sekitar US$ 4-5 per MMBTU kondisi sektor hulu migas Indonesia sangat berat. Lapangan-lapangan produksi sudah banyak yang tua, sehingga biaya produksi menjadi tinggi.
Khususnya Pertamina ada lapangan yang cost produksinya US$ 30 per barel dan banyak yang antara US$ 20-25 per barel. Lapangan yang ongkos produksinya US$ 10an per barel seperti di Banyu Urip sudah hampir tidak ada lagi.
"Pemerintah perlu beri insentif berupa perubahan bagi hasil dan/atau pengurangan pajak, yang berarti penurunan pendapatan negara," tutur Ari.
Jika insentif tidak diberikan, penurunan produksi atau lifting akan signifikan. Dengan situasi ini maka lapangan seperti Abadi Masela tidak mungkin akan bisa dikembangkan. Bagi Pertamina juga akan berat kondisi finansialnya.
"Pendapatan dari hulu migas akan turun tajam dan juga dari sektor hilir di mana konsumsi BBM juga menurun banyak akibat Covid-19. Otomatis keuntungan juga akan sangat menurun," kata Ari.
(gus) Next Article Industri Migas RI Mulai Tertekan Harga Minyak & Corona
Menanggapi dampak Covid-19, Anggota Bimasena Energy sekaligus eks Bos Pertamina Ari Soemarno mengatakan dampak dari Covid-19 membuat konsumsi minyak turun sebesar 30 juta barrel per hari. Kemudian, tingkat stok minyak mentah di tempat penyimpanan yang dikuasai oleh negara konsumen utama (strategic petroleum stock) seperti USA dan China sangat tinggi.
Demikian pula yang dikuasai para traders (ditanki darat maupun di tanker terapung). "Produksi negara penghasil baik OPEC maupun NON OPEC juga tinggi. Yang mana semua itu menyebabkan harga crude oil anjlok ke bawah US$ 30 per barel," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu, (15/04/2020).
"Tapi hari ini turun lagi ke level US$ 30 untuk Brent dan US$ 21 untuk WTI. Apakah kemudian OPEC+ akan turunkan lagi 10 juta barel seperti omongan Trump masih belum jelas," papar Ari.
Kalaupun nanti terjadi penurunan produksi, ia memprediksi harga minyak mentah akan tetap di bawah US$ 35an per barrel untuk jangka menengah. Karena penyebab utamanya adalah anjloknya konsumsi dampak dari Covid-19.
"Peningkatan konsumsi adalah faktor utama, yang berarti mulai pulihnya kegiatan perekonomian dunia. Akan mampu menaikkan harga minyak seperti Brent di atas US$ 35. Kondisi gas/LNG juga anjlok harganya. Oversupplynya sangat besar dengan tingginya kapasitas produksi dan turunya konsumsi," jelasnya.
Dengan harga crude oil Brent US$ 35-40 per barel dan harga gas yang juga rendah, di mana LNG sudah ditawarkan sekitar US$ 4-5 per MMBTU kondisi sektor hulu migas Indonesia sangat berat. Lapangan-lapangan produksi sudah banyak yang tua, sehingga biaya produksi menjadi tinggi.
Khususnya Pertamina ada lapangan yang cost produksinya US$ 30 per barel dan banyak yang antara US$ 20-25 per barel. Lapangan yang ongkos produksinya US$ 10an per barel seperti di Banyu Urip sudah hampir tidak ada lagi.
"Pemerintah perlu beri insentif berupa perubahan bagi hasil dan/atau pengurangan pajak, yang berarti penurunan pendapatan negara," tutur Ari.
Jika insentif tidak diberikan, penurunan produksi atau lifting akan signifikan. Dengan situasi ini maka lapangan seperti Abadi Masela tidak mungkin akan bisa dikembangkan. Bagi Pertamina juga akan berat kondisi finansialnya.
"Pendapatan dari hulu migas akan turun tajam dan juga dari sektor hilir di mana konsumsi BBM juga menurun banyak akibat Covid-19. Otomatis keuntungan juga akan sangat menurun," kata Ari.
(gus) Next Article Industri Migas RI Mulai Tertekan Harga Minyak & Corona
Most Popular