
Industri Migas Suram, RI Berharap Penuh Pada OPEC+
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
15 April 2020 11:28

Jakarta, CNBC Indonesia- Industri migas dalam negeri tengah menghadapi masa-masa berat, dihajar oleh efek corona dan juga merosotnya harga minyak dunia.
Para kontraktor migas sudah mulai ajukan force majeure ke pemerintah, meminta untuk setop operasi. Kalaupun tidak setop, mereka meminta dibolehkan merevisi target produksi. Kondisi social distancing yang membuat perusahaan tak bisa optimalkan sumber daya ditambah harga minyak yang lesu, membuat banyak proyek perlu dihitung ulang keekonomisannya.
Meski belum ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir, setidaknya mulai ada titik terang buat harga minyak ke depan dengan rencana OPEC+ untuk memangkas produksi. Ini diharapkan bisa menaikkan kembali harga si emas hitam.
Penasihat Ahli Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Migas Satya W Yudha menyebut pemangkasan produksi OPEC+ bisa menolong untuk menjaga harga mengingat demand sudah anjlok akibat Covid-19 ini. Dampak baiknya juga menyasar pada industri hulu migas.
"Pasti ada dampaknya pada minat investasi. Tapi sekaligus ini juga menjadi peluang baru, terutama apabila Covid bisa diatasi cepat," kata Satya, Rabu (15/4/2020).
Ia juga mengatakan secara global banyak perusahaan multinasional yang memotong jatah belanja modal atau capexnya hingga 30-70%.
Adanya sosial distancing untuk menekan penyebaran Covid-19 berdampak linier pada demand, karena produktivitas industri pengguna energi akan menurun drastis. Kondisi ini ia sebut berpotensi membuat projek-projek baru dari migas melambat.
"Ini berpotensi akan memperlambat jadwal project-project baru dari Migas. Di bidang operasi social distancing juga akan mempengaruhi changes crew jadwal pergantian crew yang akan memperlambat proses produksi," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa, (14/04/2020) malam.
Satya mengharapkan agar produktivitas industri nasional yang dikonsumsi dalam negeri tetap bisa meningkat. Sehingga perlambatan industri migas sebagai penyedia industri akan dihindari.
"Apalagi negara-negara pengekspor sudah mengurangi barang ekspornya terutama pangan dan industri kebutuhan pokok, maka Indonesia bisa meningkatkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan domestiknya," jelas Satya.
Lebih lanjut Satya mengatakan penurunan harga dipengaruhi oleh ketimpangan supply dan demand. Seperti diketahui OPEC+ resmi memangkas produksi minyak sebesar 9,7 juta barel per hari. Keputusan ini bisa mengurangi supplly sehingga bisa mengontrol harga agar tidak jatuh sekali.
"Walaupun jatuhnya harga minyak tidak hanya supply demand tetapi juga geopolitik di regional. Namun saat ini ketegangan regional agak berkurang, sehingga faktor supply demand sangat menentukan harga," jelasnya.
Sebelumnya, Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno menyebut rendahnya harga bakal membuat lifting minyak tidak akan mencapai target. Diperkirakan lifting akan lebih rendah 5% dari target. Seperti diketahui target lifting minyak tahun ini sebesar 755 ribu barel per hari.
Artinya jika lifting hanya 95% maka capaiannya sekitar 717,2 ribu barel per hari. "Mostlikely akan ada dampak juga terhadap lifting. Perkiraan saya sekitar kurang lebih 5% (berkurangnya)," papar Julius.
Ia juga menyebut sebanyak 14 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bakal merevisi program kerjanya tahun ini. "Sudah ada sekitar 14 KKKS sampai minggu lalu yang review scenarionya," kata Julius.
(gus) Next Article Covid-19 Hantam Bisnis Migas, Sektor Gas Paling Terpukul
Para kontraktor migas sudah mulai ajukan force majeure ke pemerintah, meminta untuk setop operasi. Kalaupun tidak setop, mereka meminta dibolehkan merevisi target produksi. Kondisi social distancing yang membuat perusahaan tak bisa optimalkan sumber daya ditambah harga minyak yang lesu, membuat banyak proyek perlu dihitung ulang keekonomisannya.
Meski belum ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir, setidaknya mulai ada titik terang buat harga minyak ke depan dengan rencana OPEC+ untuk memangkas produksi. Ini diharapkan bisa menaikkan kembali harga si emas hitam.
"Pasti ada dampaknya pada minat investasi. Tapi sekaligus ini juga menjadi peluang baru, terutama apabila Covid bisa diatasi cepat," kata Satya, Rabu (15/4/2020).
Ia juga mengatakan secara global banyak perusahaan multinasional yang memotong jatah belanja modal atau capexnya hingga 30-70%.
Adanya sosial distancing untuk menekan penyebaran Covid-19 berdampak linier pada demand, karena produktivitas industri pengguna energi akan menurun drastis. Kondisi ini ia sebut berpotensi membuat projek-projek baru dari migas melambat.
"Ini berpotensi akan memperlambat jadwal project-project baru dari Migas. Di bidang operasi social distancing juga akan mempengaruhi changes crew jadwal pergantian crew yang akan memperlambat proses produksi," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa, (14/04/2020) malam.
Satya mengharapkan agar produktivitas industri nasional yang dikonsumsi dalam negeri tetap bisa meningkat. Sehingga perlambatan industri migas sebagai penyedia industri akan dihindari.
"Apalagi negara-negara pengekspor sudah mengurangi barang ekspornya terutama pangan dan industri kebutuhan pokok, maka Indonesia bisa meningkatkan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan domestiknya," jelas Satya.
Lebih lanjut Satya mengatakan penurunan harga dipengaruhi oleh ketimpangan supply dan demand. Seperti diketahui OPEC+ resmi memangkas produksi minyak sebesar 9,7 juta barel per hari. Keputusan ini bisa mengurangi supplly sehingga bisa mengontrol harga agar tidak jatuh sekali.
"Walaupun jatuhnya harga minyak tidak hanya supply demand tetapi juga geopolitik di regional. Namun saat ini ketegangan regional agak berkurang, sehingga faktor supply demand sangat menentukan harga," jelasnya.
Sebelumnya, Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Julius Wiratno menyebut rendahnya harga bakal membuat lifting minyak tidak akan mencapai target. Diperkirakan lifting akan lebih rendah 5% dari target. Seperti diketahui target lifting minyak tahun ini sebesar 755 ribu barel per hari.
Artinya jika lifting hanya 95% maka capaiannya sekitar 717,2 ribu barel per hari. "Mostlikely akan ada dampak juga terhadap lifting. Perkiraan saya sekitar kurang lebih 5% (berkurangnya)," papar Julius.
Ia juga menyebut sebanyak 14 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bakal merevisi program kerjanya tahun ini. "Sudah ada sekitar 14 KKKS sampai minggu lalu yang review scenarionya," kata Julius.
(gus) Next Article Covid-19 Hantam Bisnis Migas, Sektor Gas Paling Terpukul
Most Popular