Ini Bukti Terbaru Jahatnya Virus Corona ke Perekonomian

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 March 2020 13:22
Ini Bukti Terbaru Jahatnya Virus Corona ke Perekonomian
Ilustrasi Pabrik Mobil (REUTERS/Fabian Bimmer)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja industri manufaktur global benar-benar terpukul akibat penyebaran virus corona. Kelangkaan bahan baku dan minimnya pekerja membuat produksi industri menurun. Sayangnya, ini terjadi di banyak negara.

Perkembangan industri manufaktur biasanya digambarkan melalui Purchasing Managers' Index (PMI). Melalui PMI, bisa diketahui apakah dunia usaha sedang ekspansif atau kontraktif.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik awal. Di atas 50 berarti industriawan sedang ekspansif, sementara kalau di bawah 50 artinya kontraktif.

Gara-gara serangan virus corona, PMI manufaktur di sejumlah negara jeblok. Hari ini, Selasa (24/3/2020), diumumkan data PMI manufaktur Jepang yang hasilnya mengecewakan.

Angka pembacaan awal (flash reading) PMI manufaktur periode Maret adalah 44,8. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 47,8 sekaligus menjadi yang terendah sejak April 2009. PMI manufaktur di Negeri Matahari Terbit sudah 11 bulan beruntun terjebak di zona kontraksi.




Di Australia, flash reading PMI manufaktur Maret adalah 50,1. Masih di atas 50, masih ekspansif. Namun dalam laju yang menurun dibandingkan Februari yang mencatatkan PMI di 50,2.

(
Kinerja industri manufaktur global tertekan karena dua faktor. Pertama kekurangan orang, karena pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown). Warga tidak boleh keluar rumah kecuali untuk urusan mendesak untuk mengurangi risiko penyebaran virus corona.

Australia adalah salah satu negara yang melakukan lockdown. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pukul 12:02 WIB, jumlah pasien corona di Negeri Kanguru adalah 4.474 orang. Dari jumlah tersebut, 21 orang meninggal dunia.

Mulai pekan ini, pemerintahan Perdana Menteri Scott Morrison menutup akses keluar-masuk negaranya. Pekerja sebisa mungkin diperintahkan bekerja dari rumah.


Tidak hanya Australia, berbagai negara pun melakukan hal yang sama. Semakin banyak orang yang bekerja di rumah membuat produktivitas industri manufaktur turun karena kekurangan sumber daya manusia.

Kedua adalah kekurangan bahan baku. Di tengah globalisasi ekonomi, tidak bisa sebuah negara memproduksi sendiri seluruh kebutuhannya, Pasti ada peran bahan baku/penolong atau barang modal dari negara lain.

Masalah muncul ketika dunia terlalu bergantung kepada China sebagai pemasok utama, terutama untuk bahan baku/penolong dan barang modal. Riset DBS menyebutkan China menyumbang 30-40% dari total ekspor produk tekstil dan alas kaki global. Selain itu, sekitar 20% ekspor mesin dan peralatan listrik dunia berasal dari Negeri Panda.

DBS

China adalah negara yang paling parah dihajar virus corona, karena memang virus itu berawal di Negeri Tirai Bambu. Seperti Australia, beberapa wilayah di China juga menerapkan lockdown. Bahkan lebih ketat karena transportasi umum sama sekali tidak beroperasi di warga benar-benar tidak bisa keluar rumah karena ada aparat keamanan berjaga di mana-mana.


Ini membuat produksi industri manufaktur China anjlok. Pada Januari-Februari 2020, produksi industri China turun 13,5% year-on-year (YoY). Ini adalah penurunan pertama sejak awal 1990.



Barang-barang yang diproduksi di China itu sebagian dipakai di negara-negara lain sebagai bahan baku/penolong maupun barang modal. Jadi begitu produksi industri China lesu, lemaslah seluruh dunia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular