
Ada Corona, Pemerintah Kepikiran Omnibus Law Demi Investasi
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
18 March 2020 12:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah makin mewabahnya kasus covid-19 atau virus corona, pemerintah masih seksama memperhatikan iklim investasi di dalam negeri.
Salah satunya adalah nasib investasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara. Untuk menggenjot investasi ini, terdapat dua regulasi yang tengah jadi perhatian yakni revisi undang-undang Minerba dan Omnibus Law.
Sebanyak 938 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) di RUU Minerba diserahkan ke DPR RI.
Plt Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi, Septian Hario Seto menyebut hal ini sebagai upaya mendalami relevansi RUU Minerba, sehingga terjadi sinergi antar lembaga, di mana pembahasannya sudah berjalan cukup lama, sekitar 10 tahun.
"Upaya pemerintah dan DPR melihat kembali relevansi dari pasal-pasal yang ada di dalam UU Minerba yang lama terutama yang terkait dengan hubungan dengan kementerain dan sektor lain," ungkapnya.
Hal lain yang tidak kalah penting menurutnya adalah kepastian perpanjangan status Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK OP) dan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK). Dilihat dari sudut pandang usaha, menurutnya sangat dibutuhkan kepastian.
"Sudut pandang pasar kepastian invetasi dari perusahaan terserbut yang mungkin kontraknya akan banyak berakhir dari sekarang sampai 2025 saya pikir ini upaya yang harus didahulukan," imbuhnya.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, pepanjangan kontrak tidak hanya tertuang dalam RUU Minerba tapi juga di Omnibuslaw. Nasib perpanjangan kontrak menurutnya sangat krusial, pasalnya pemegang izin saat ini sudah berinvestasi cukup besar.
Selain perpanjangan kontrak, di dalam RUU Minerba pemerintah juga mendorong hilirisasi minerba. Upaya hilirisasi belum berjalan lama, menurutnya baru sekitar empat sampai lima tahun. Meski belum berjalan lama namun dampaknya sudah cukup signifikan, di mana eskpor stainless steel hilirisasi nikel sudah mencapai US$ 7,4 miliar.
"Sekitar US$ 1,1 miliar di tahun 2014. Jadi peningkatan luar biasa. Dibandingkan ekspor otomotif roda empat atau roda dua udah jauh lebih tinggi, padahal kita tahu sektor otomotif kita sudah cukup lama sementara hilirisasi ini baru kita jalankan sekitar lima enam tahun terakhir," terangnya.
Isu-isu yang dibahas di RUU Minerba juga dimasukkan ke omnibuslaw. Seto menyebut karena keduanya saling terkait di mana di dalam omnibuslaw juga dibahas soal kemudahan perizinan. Meski demikian dirinya memperkirakan omnibuslaw akan rampung lebih dahulu dibandingkan RUU Minerba.
"Ini adalah proses di DPR, saya pikir dari prioritynya omnibuslaw akan selesai lebih dahulu, menurut pandangan saya. Ini tergantung di DPR," jelasnya.
(gus) Next Article Penampakan Bongkar Muat Batu Bara di Tanjung Priok
Salah satunya adalah nasib investasi di sektor pertambangan mineral dan batu bara. Untuk menggenjot investasi ini, terdapat dua regulasi yang tengah jadi perhatian yakni revisi undang-undang Minerba dan Omnibus Law.
Sebanyak 938 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) di RUU Minerba diserahkan ke DPR RI.
Plt Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi, Septian Hario Seto menyebut hal ini sebagai upaya mendalami relevansi RUU Minerba, sehingga terjadi sinergi antar lembaga, di mana pembahasannya sudah berjalan cukup lama, sekitar 10 tahun.
"Upaya pemerintah dan DPR melihat kembali relevansi dari pasal-pasal yang ada di dalam UU Minerba yang lama terutama yang terkait dengan hubungan dengan kementerain dan sektor lain," ungkapnya.
Hal lain yang tidak kalah penting menurutnya adalah kepastian perpanjangan status Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK OP) dan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK). Dilihat dari sudut pandang usaha, menurutnya sangat dibutuhkan kepastian.
"Sudut pandang pasar kepastian invetasi dari perusahaan terserbut yang mungkin kontraknya akan banyak berakhir dari sekarang sampai 2025 saya pikir ini upaya yang harus didahulukan," imbuhnya.
Lebih lanjut dirinya menerangkan, pepanjangan kontrak tidak hanya tertuang dalam RUU Minerba tapi juga di Omnibuslaw. Nasib perpanjangan kontrak menurutnya sangat krusial, pasalnya pemegang izin saat ini sudah berinvestasi cukup besar.
Selain perpanjangan kontrak, di dalam RUU Minerba pemerintah juga mendorong hilirisasi minerba. Upaya hilirisasi belum berjalan lama, menurutnya baru sekitar empat sampai lima tahun. Meski belum berjalan lama namun dampaknya sudah cukup signifikan, di mana eskpor stainless steel hilirisasi nikel sudah mencapai US$ 7,4 miliar.
"Sekitar US$ 1,1 miliar di tahun 2014. Jadi peningkatan luar biasa. Dibandingkan ekspor otomotif roda empat atau roda dua udah jauh lebih tinggi, padahal kita tahu sektor otomotif kita sudah cukup lama sementara hilirisasi ini baru kita jalankan sekitar lima enam tahun terakhir," terangnya.
Isu-isu yang dibahas di RUU Minerba juga dimasukkan ke omnibuslaw. Seto menyebut karena keduanya saling terkait di mana di dalam omnibuslaw juga dibahas soal kemudahan perizinan. Meski demikian dirinya memperkirakan omnibuslaw akan rampung lebih dahulu dibandingkan RUU Minerba.
"Ini adalah proses di DPR, saya pikir dari prioritynya omnibuslaw akan selesai lebih dahulu, menurut pandangan saya. Ini tergantung di DPR," jelasnya.
(gus) Next Article Penampakan Bongkar Muat Batu Bara di Tanjung Priok
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular