Efek Dahsyat Covid-19, Hotel dan Restoran Rumahkan Pegawai

Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
13 March 2020 10:29
Virus corona (Covid-19) benar-benar membuat bisnis hotel dan restoran lesu. Sepinya hotel kini sudah melanda kawasan DKI Jakarta.
Foto: Hariyadi Sukamdani, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) (CNBC Indonesia/Lynda Hasibuan)
Jakarta, CNBC IndonesiaVirus corona (Covid-19) benar-benar membuat bisnis hotel dan restoran lesu. Sepinya hotel kini sudah melanda kawasan DKI Jakarta. Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi P. Sukamdani, menyebut, tingkat okupansi hotel di Jakarta hanya 30%. Artinya, 70% kamar hotel tak terisi alias kosong.

"Dampak ekonomi ini yang kita tak pernah lihat akan sampai mana. Di sektor hotel dan restoran, sudah mulai terasa sekali dampaknya. Hari ini di Jakarta itu okupansi sudah sekitar 30%. Jadi ini sudah suatu hal yang serius," ungkap Hariyadi, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (12/3/20).

Dia menyebut, kondisi tersebut sudah tidak ideal bagi operasional hotel. Karenanya, dampak selanjutnya bisa berujung pada sejumlah langkah efisiensi.

"Kalau okupansi rata-rata sudah turun jadi 30%, pasti akan mengalami nomor satu terpaksa karyawan harus digilir. Mungkin PHK belum, tapi kerjanya digilir. Kenapa begitu, karena perusahaan harus menghitung risikonya. Mengatur karyawan, gajinya tidak menerima secara full," tandasnya.



Jika sudah demikian, efek selanjutnya tidak hanya ada pada sektor hotel dan restoran saja. Dikatakan, efisiensi itu bisa merembet pada lesunya sektor usaha lain.

"Artinya pendapatan masyarakat juga akan turun. Dan itu juga diikuti sektor yang lain. Kalau semua mengalami kondisi seperti ini pasti timbul masalah baru. Ekonomi berhenti. Ini sudah terjadi di Wuhan, sudah terjadi di Italia," tegasnya.

"Dampak corona ini betul-betul telah melumpuhkan ekonomi tidak hanya Indonesia tetapi juga dunia. Nah kalau ini berdampak terus seperti ini, semua masyarakat panik, semua ketakutan," lanjutnya.

Lebih jauh, sepinya pariwisata di Bali akibat penyebaran virus ini berdampak pada lesunya bisnis hotel di kawasan tersebut. PHRI mencatat, rata-rata okupansi hotel di hanya 20%. Artinya, ada 80% kamar kosong, khususnya di daerah-daerah yang banyak dikunjungi oleh individual traveler seperti Kuta, Sanur, Legian, Ubud, Jimbaran.

[Gambas:Video CNBC]


Hariyadi Sukamdani menyebut, hal tersebut merupakan gambaran nyata dampak virus corona yang dirasakan oleh berbagai wilayah dengan destinasi wisata yang paling banyak diminati wisatawan baik mancanegara maupun domestik.

Kondisi tersebut membuat pihak hotel gencar melakukan efisiensi. Salah satu efisiensi terbesar ada pada biaya pegawai. Dia menyebut, ongkos untuk pegawai dipangkas hingga 50%.

"Karena perusahaan jaga cash flow. Kalau masuk semua kan 100%, sekarang perusahaan coba jaga di angka menurunkan 50% biaya tenaga kerja," ungkap Hariyadi.

Kendati demikian, pemangkasan biaya pegawai tersebut tidak secara langsung dilakukan melalui mekanisme pemecatan alias PHK. Dia menjelaskan, dalam menjalankan bisnis hotel, para pelaku usaha biasanya memberlakukan 3 skema kepegawaian.

"Ada 3 jenis karyawan yakni harian, kontrak dan tetap. Nah yang sekarang terjadi daily worker tidak dipakai. Yang karyawan kontrak dan permanen, itu sudah mulai terjadi mereka itu masuknya giliran, seperti di Bali," bebernya.

Tak hanya hotel, hal serupa juga terjadi pada bisnis restoran. Hanya saja, efisiensi biaya pekerja untuk bisnis restoran tidak serumit beban yang ada pada bisnis hotel.

"Lebih banyak memang karyawan kontrak. Relatif sedikit lebih less complicated, tidak terlalu rumit ketimbang hotel. Lebih bisa beradaptasi penyesuaian jumlah karyawan," urainya.


Di sisi lain, beban pengusaha hotel dan restoran yang juga perlu diefisienkan adalah pembayaran bunga pinjaman. Namun hal ini masih perlu kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"Biaya yang juga besar, kita minta OJK adalah relaksasi pinjaman. Yakni untuk bayar pokok dan bunga pinjaman," tandasnya.

Hariyadi Sukamdani juga mempertanyakan adanya larangan menggelar kegiatan oleh sejumlah instansi pemerintah. Hal tersebut dinilai tak sejalan dengan keinginan menyelamatkan ekonomi Indonesia dari dampak virus corona.

Dia menegaskan, sejak adanya pengumuman dari Presiden Jokowi terkait kasus corona pertama di Indonesia, masyarakat sudah tampak panik. Hal tersebut benar-benar berdampak pada perekonomian di semua sektor industri.

"Selain masyarakat panik, pemerintah sendiri mereka juga melakukan larangan kegiatan aktivitasnya. Ini jadi kontradiktif. Satu sisi pemerintah mau menyegerakan dan mendorong belanja masyarakat, tapi satu sisi mereka juga melarang kegiatan," ujarnya.

Dampak paling nyata menurutnya secara langsung dirasakan sektor pariwisata. Dia menyebut, kerugian sampai saat ini sudah mencapai US$ 1,5 miliar. Angka itu didapat dari hitungan kasar dengan mengelaborasi data kunjungan turis di Indonesia.

"Dari turis Tiongkok sendiri saja itu sudah US$ 1,1 miliar. Ditambah dengan ikutan-ikutan yang lain. Paling dikit ada US$ 400 juta. Jadi totalnya udah US$ 1,5 miliar dengan perhitungan yang relatif masih hitungan kasar. Kalau ini terus berlanjut apalagi masyarakat tidak melakukan aktivitas pasti ini akan lebih besar lagi," tandasnya.

Dia juga menggarisbawahi, angka US$ 1,5 miliar itu hanya dari industri perhotelan dan restoran saja. Belum termasuk jika ditambah dengan beberapa sektor lainnya yang berkaitan dengan hotel dan restoran.

"Kalau dihitung supply chainnya untuk hotel itu lebih dari 500 jenis supply chain untuk operasional hari-hari. Itu menyangkut UMK-UKM terdampak semuanya. Jadi ini tidak sesimpel apa yang dibayangkan tetapi ini betul-betul dapat menghentikan ekonomi masyarakat," imbuhnya.

Sementara di sisi lain, stimulus yang diberikan pemerintah belum terlalu berdampak. Sebab, stimulus tersebut, kata Hariyadi, tertutup dengan kepanikan publik.

"Sebetulnya stimulus yang diberikan sudah tepat, jadi misalnya contohnya adalah harga tiket pesawat yang lebih kompetitif ini cukup bagus untuk mendorong pergerakan daripada masyarakat. Tapi kalau masyarakatnya panik memang dia tidak akan berpergian, itu juga yang harus kita lihat."

"Dan juga stimulus perpajakan, menurut kami juga sudah tepat, hanya memang permasalahannya itu seberapa cepat untuk dieksekusi, kalau untuk pariwisata yang terkait dengan penghapusan pajak hotel dan restoran sampai hari ini belum efektif. Saya belum tahu kapan akan efektifnya karena pajak hotel dan restoran itu dipungut oleh pemerintah daerah," lanjutnya.

Sejalan dengan itu, dia ingin pemerintah tidak melarang semua aktivitas keramaian. Harus ada pertimbangan yang jelas mengenai risiko-risiko dari kegiatan tersebut.

"Tergantung ya, kalau misalnya berisiko banget (jadi ajang penularan virus) itu mungkin bisa dipahami. Tapi kalau misalnya orang melakukan kegiatan di hotel lalu itu dilarang itu jadi masalah juga, karena orang mengadakan kegiatan di hotel kondisinya beda dengan di lapangan," tegasnya.

Terkait hal ini dia mengaku telah berkoordinasi dengan sejumlah pemerintah daerah. Salah satunya adalah dengan Pemprov DKI Jakarta sebagai salah satu instansi yang mengeluarkan kebijakan larangan kegiatan berkeramaian.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Daeng M Faqih buka-bukaan mengenai virus corona (Covid-19). Menurutnya, dampak terbesar virus ini bukan pada aspek kesehatan, tetapi lebih banyak 'menerkam' bidang di luar kesehatan itu sendiri.

"Dari awal saya mengingatkan, nanti ini dampak paling kuat justru bukan di kesehatan, tapi dampak sosial, politik dan ekonomi, karena viral di berbagai media," ujarnya.

Adapun pada dampak terhadap kesehatan, dia menyebut, tingkat kematian pengidap virus corona tergolong rendah. Daeng lantas mengutip data WHO, bahwa hanya 2-3% saja pasien yang meninggal.

Selain itu, pasien yang dinyatakan meninggal kebanyakan bukan disebabkan semata-mata karena terjangkit virus corona. Melainkan karena adanya penyakit penyerta.

"Dia mungkin sudah punya penyakit berat seperti gagal ginjal, diabetes, terinfeksi, dan semakin berat, dan mati. Sudah angka kematian kecil, kematian bukan karena murni virusnya, karena yang terinfeksi mengidap penyakit penyerta. Beda dengan komplikasi yang terus merembet. ini penyakit penyerta. Yang tidak punya penyakit penyerta dan imunitas bagus, tingkat kesembuhannya tinggi," jelasnya.

Selain itu, kebanyakan yang terinfeksi virus corona adalah orang-orang lanjut usia. Sebab, hal ini juga berkaitan dengan daya tahan tubuh. Dengan sederet fakta tersebut maka masyarakat harus waspada, tapi jangan sampai panik.

"Masyarakat harus tahu penyebarannya. Meski cepat, tidak seperti TBC yang begitu batuk, bersin, nyemprot, kumannya melayang. Kalau terhirup kena. Corona tidak seperti itu. WHO belum confirm dengan istialh air ball, melayang. Kalau melayang di udara, tingkat penyebarannya luar biasa," tandasnya.

Di sisi lain, virus ini juga tidak akan bertahan lama jika tidak masuk ke saluran pernapasan. Virus ini juga gampang rusak jika diantisipasi dengan baik.

"Kalau kita membersihkan apa-apa dengan sabun, virus ini gampang rusak. jadi menjaga kebersihan itu sangat penting agar virus tidak melekat pada diri kita," imbuhnya.
(wed/wed) Next Article Dapat Durian Runtuh Rp 3,3 T, Pengusaha Hotel Komentar Begini

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular