Arab Ngambek & Harga Minyak Ambrol, RI Untung atau Buntung?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 March 2020 07:11
Arab Ngambek & Harga Minyak Ambrol, RI Untung atau Buntung?
Ilustrasi Aktivitas Pengeboran Minyak (CNBC Indonesia/Edward Ricardo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 belum genap berjalan tiga bulan. Namun rasanya ujian datang seolah tanpa jeda.

Pada awal tahun, dunia sempat bersuka-cita kala Amerika Serikat (AS) dan China meneken kesepakatan damai dagang Fase I. Kesepakatan yang menjadi awal bagi berakhirnya perang dagang kedua negara yang berlangsung selama lebih dari setahun.

Bak sebuah sinetron era 1990-an yang diawali dengan huruf T dan diakhiri dengan huruf G, ternyata cerita terus berkembang. AS masih jadi lakon, tetapi kali ini sparring partner-nya bukan China melainkan Iran.

Hubungan Washington-Teheran sempat memanas kala serangan militer Negeri Adidaya ke pangkalan udara di Baghdad (Irak) menewaskan pentolan militer Negeri Persia Qasem Soleimani. Setelah beberapa kali berbalasan serangan udara, publik mulai mencemaskan risiko meletusnya Perang Dunia III. Bahkan WW3 sempat menjadi trending topic di media sosial.

Setelah beberapa kali saling melemparkan serangan udara (Irak jadi korban, terjepit di antara konflik AS-Iran dan wilayahnya menjadi sasaran misil) akhirnya tensi kedua negara reda. Presiden AS Donald Trump yang sempat menggertak bakal menggunakan senjata terbaru untuk bertempur dengan Iran urung mewujudkan ancamannya.



Baca: Trump Kini Tak Bisa Lagi Serang Iran, Kenapa?

Lepas dari 'hantu' Perang Dunia III, cerita berkembang dengan konflik baru bernama virus corona. Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China itu menyebar dengan sangat cepat karena bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek, puncak mobilitas masyarakat di Negeri Panda.

Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Selasa (10/3/2020) pukul 6:53 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 113.584. Korban jiwa mencapai 3.892 orang. Virus corona sudah menjangkiti 108 negara.

 

Tidak bisa dihindari lagi, perekonomian global sudah pasti melambat. Sebab penyebaran virus corona yang begitu masif membuat pabrik-pabrik berhenti berproduksi, ekspor-impor lesu, pariwisata tidak bergairah, dan sebagainya.

Data terbaru dari China menunjukkan, ekspor selama Januari-Februari terkontraksi (tumbuh negatif) -17,2% year-on-year (YoY). Jauh lebih lambat ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu -14%.

Ekspor China yang lesu berarti pasokan bahan baku/penolong, barang modal, sampai barang konsumsi di seluruh dunia berkurang. Padahal banyak negara yang tergantung pasokan barang dari China untuk menggerakkan industri dalam negeri.

DBS

"Saya yakin kita akan memasuki masa kekurangan barang. Dua pekan lalu saya sudah mengatakan ini akan terjadi," kata Nada Sanders, Profesor Manajemen Rantai Pasok di Northeastern University (Amerika Serikat/AS), seperti dikutip dari Reuters.

Jika virus corona tidak kunjung teratasi, maka pasokan barang dari China semakin seret. Industri global akan kekurangan bahan baku, produksi menurun, terjadi kelangkaan barang di pasar. Oleh karena itu, pandangan yang menyuarakan risiko resesi semakin kencang.

"Awalnya barang-barang di toko menghilang. Kemudian akan ada yang akan kehilangan pekerjaan," ujar Tara Sinclair, Dosen di Goerge Washington University, seperti diberitakan oleh Reuters.




[Gambas:Video CNBC]



Saat dunia masih sibuk bergelut dengan virus corona, kini muncul ketidakpastian baru yaitu penurunan harga minyak. Tidak main-main, harga si emas hitam anjlok ke titik terendah sejak awal 2016.





Harga si emas hitam ambrol setelah Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dan Rusia gagal menyepakati tambahan pemangkasan produksi. Saat ini sudah ada kesepakatan untuk mengurangi produksi minyak sebanyak 2,1 juta barel/hari. OPEC, dengan Arab Saudi sebagai pemimpin de facto, ingin ada tambahan pemotongan 1,5 juta barel/hari sehingga totalnya menjadi 3,6 juta barel/hari.

Rusia menolak rencana tambahan tersebut. Langkah ini sepertinya membuat OPEC (baca: Arab Saudi) ngambek, sehingga ogah memperpanjang pemangkasan produksi 2,1 juta barel/hari yang akan berakhir bulan ini.

Tidak hanya itu, Arab Saudi juga menaikkan produksi minyak plus memberi harga diskon. Sepertinya Riyadh sedang menantang para rivalnya, siapa yang paling kuat bertahan dengan harga minyak rendah. Terjadilah apa yang disebut perang harga minyak.



Risiko Perang Dunia III bagi Indonesia hanya sebatas mempengaruhi persepsi pasar, tidak ada yang riil. Berbeda dengan virus corona, yang bisa mempengaruhi perekonomian nasional karena gangguan rantai pasok.

Lalu bagaimana dengan fluktuasi harga minyak? Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?

Ada positif dan negatifnya. Berita baiknya dulu ya.

Penurunan harga minyak akan menguntungkan bagi negara net importir seperti Indonesia. Biaya impor minyak akan berkurang sehingga mengurangi beban neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Fondasi penopang rupiah akan lebih kuat.



Kemudian, penurunan harga minyak juga bisa membantu 'menjinakkan' inflasi. Apalagi kalau dibarengi dengan penurunan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) domestik.


Namun ada kabar buruknya. Volatilitas harga minyak akan membuat ketidakpastian di pasar keuangan bertambah. Saat ketidakpastian meningkat, maka aset-aset berisiko di pasar keuangan negara berkembang akan dijauhi, termasuk di Indonesia.

Ini sudah terjadi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 6,58% dan nilai tukar rupiah melemah 1,16% di hadapan dolar AS. Perang harga minyak menjadi salah satu penyebab koreksi yang parah tersebut.

Lalu, penurunan harga minyak juga bisa berdampak negatif terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam APBN 2020, pemerintah mengasumsikan rata-rata harga minyak Indonesia (ICP) di US$ 63/barel.

ICP lebih dekat ke brent dibandingkan light sweet. Secara year-to-date, rata-rata harga brent adalah US$ 58,28/barel. Ada selisih US$ 4,72/barel dari asumsi makro di APBN 2020.

Dalam analisis sensitivitas asumsi makro 2020, setiap penurunan ICP sebesar US$ 1/barel akan mengurangi belanja negara sebesar Rp 3,1-3,9 triliun. Namun penerimaan negara berkurang lebih dalam yaitu Rp 3,6-4,2 triliun. Ada tekor Rp 0,3-0,5 triliun.

Jadi andai selisih US$ 4,72/barel bertahan sampai akhir tahun, maka secara neto APBN akan merugi Rp 1,42-2,36 triliun (ceteris paribus, diasumsikan faktor lain tidak berubah). Defisit APBN akan membengkak sehingga pembiayaan utang bertambah.


Dalam hal ini Indonesia tidak bisa memilih karena harga minyak berada di luar kontrol pemerintah. Hal yang terpenting adalah para pembuat kebijakan harus bersiap dengan berbagai langkah mitigasi untuk membendung dampak negatif dari perang harga minyak.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/sef) Next Article Harga MInyak Naik 88% dalam Sebulan, Berkah atau Musibah?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular