
Kala Corona Bikin BI, The Fed, dkk Terpaksa 'Putbal'
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 March 2020 11:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Kala memasuki 2020, bank sentral di berbagai negara sepertinya memandang pelonggaran kebijakan moneter seperti pada 2019 tidak diperlukan. Apalagi pada 15 Januari Amerika Serikat (AS) dan China resmi menandatangani kesepakatan damai dagang Fase I.
Kala Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri China Liu He meneken perjanjian tersebut, seremonial mewah (dan lama) dihelat di Gedung Putih. Saat acara berakhir, satu lagu yang sangat sesuai dengan mood saat itu mengalun merdu. What a Wonderful World yang dipopulerkan oleh Louis Armstrong.
Satu risiko besar, mungkin satu-satunya risiko besar pada 2019, sudah bisa dihapus dari daftar. AS-China berdamai, rantai pasok global membaik, prospek pertumbuhan ekonomi dunia pun kembali cerah. What a wonderful world...
Pada 2019, bank sentral di berbagai negara harus menurunkan suku bunga acuan untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang terancam akibat perang dagang. Bank sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) dan bank sentral Australia (RBA) memangkas suku bunga acuan tiga kali. Suku bunga acuan di Negeri Kanguru sampai menyentuh titik terendah sepanjang sejarah.
Sementara Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan empat kali. Ini melanjutkan penurunan enam kali pada 2018.
Namun dengan berakhirnya perang dagang AS-China dan pemulihan ekonomi yang sudah di depan mata, sepertinya kebijakan seperti itu tidak lagi dibutuhkan pada 2020. Ada alasan kuat bagi bank sentral untuk menghentikan siklus kebijakan moneter longgar.
"Kami meyakini bahwa kebijakan moneter yang sekarang sudah layak (appropriate) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pasar tenaga kerja, dan inflasi menuju ke target 2%," tegas Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell dalam konferensi pers usai rapat Komite Pengambil Kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Januari 2020. Saat itu, The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan di 1,5-1,75%.
Akan tetapi semuanya berubah. Ada petaka dari China yang membuat geger dunia. Namanya adalah virus corona.
Virus ini ditengarai bermula dari pasar perdagangan hewan liar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China. Kebetulan serangan virus ini datang kala masyarakat China merayakan Tahun Baru Imlek. Mobilitas masyarakat mencapai puncaknya, sehingga virus menyebar ke seantero China dan berbagai negara di Benua Asia, Afrika, Eropa, hingga Australia.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Selasa (3/3/2020) pukul 10:43 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 90.933. Korban jiwa pun semakin bertambah menjadi 3.117 orang.
Penyebaran virus corona membuat aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Siapa yang berani keluar rumah saat virus mematikan sedang mengancam? Akibatnya, produksi pabrik-pabrik belum kunjung optimal, pariwisata lesu, aktivitas perdagangan (termasuk ekspor-impor) terhambat.
Serangan virus corona terbanyak terjadi di China dengan 80.151 kasus. Aktivitas industri manufaktur China pun merosot tajam. Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur China versi Caxin/Markit pada Februari 2020 tercatat 40,3. Jauh di bawah bulan sebelumnya yaitu 51,1 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI yang dimulai pada 2004.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di bawah 50, berarti dunia usaha sedang tidak ekspansif, bahkan yang ada terkontraksi.
"Sektor industri manufaktur China sudah merasakan dampak epidemi pada bulan lalu. Pasokan dan permintaan sama-sama melemah, rantai pasok mengalami stagnasi, dan banyak pesanan yang belum terselesaikan," kata Zhenssheng Zhong, Direktur Analisis Makroekonomi di CEBM Group, seperti dikutip dari Reuters.
China adalah pemain besar dalam perekonomian global. Negeri Tirai Bambu merupakan perekonomian terbesar kedua di dunia, eksportir nomor satu, dan pemain kunci dalam rantai pasok dunia.
Kala pasokan dari China menurun seiring kelesuan industri manufaktur, maka dunia usaha di berbagai negara akan kesulitan memperoleh bahan baku/penolong. Oleh karena itu, rantai pasok global akan rusak dan industri manufaktur global terancam mengalami kontraksi.
Menyikapi penyebaran virus corona yang semakin masif, bank sentral terpaksa 'putar balik' alias putbal. Pelonggaran kebijakan moneter yang awalnya bakal ditinggalkan kini kembali menjadi opsi.
Beberapa bank sentral sudah menurunkan suku bunga acuan. Bulan lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan 25 bps ke 4,75%. Bank sentral Thailand (BoT) juga menempuh langkah serupa, menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 1%, terendah sepanjang sejarah Negeri Gajah Putih. Teranyar, hari ini RBA menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 0,5%.
Bahkan The Fed pun diperkirakan bakal ikut menurunkan suku bunga acuan. Mengutip CME FedWatch, kemungkinan Powell dan sejawat untuk menurunkan suku bunga acuan 50 bps menjadi 1-1,25% pada rapat 18 Maret mencapai 100%. Tidak ada ruang untuk penurunan 25 bps, apalagi tetap di 1,5-1,75%.
"Virus corona menyebabkan risiko terhadap aktivitas ekonomi. The Federal Reserves memantau dengan saksama berbagai perkembangan yang ada dan dampaknya terhadap prospek ekonomi. Kami akan menggunakan instrumen-instrumen yang ada dan bertindak sewajarnya (appropriate) untuk mendukung perekonomian," kata Powell akhir pekan lalu, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Powell pernah menggunakan kata 'appropriate' pada Juni tahun lalu, kala perekonomian AS terpukul akibat perang dagang dengan China. Suku bunga acuan memang belum diturunkan pada bulan itu, tetapi kemudian dipangkas 25 bps pada Juli dan diturunkan dua kali lagi sampai akhir 2019.
Dalam situasi yang luar biasa memang dibutuhkan langkah yang luar biasa. Ketika ekonomi sedang terancam, pihak yang diharapkan mengambil posisi di depan memang bank sentral.
Mengharapkan pemerintah untuk memberi stimulus fiskal boleh saja. Namun kapasitas fiskal ada batasnya. Misalnya di Indonesia, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak boleh lebih dari 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, eksekusi kebijakan fiskal butuh landasan hukum entah itu Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri, atau apa lah. Belum kalau harus 'sowan' ke DPR. Prosesnya memakan waktu.
Sementara kebijakan moneter bisa langsung dieksekusi saat itu juga. BI biasanya mengumumkan suku bunga acuan pada pukul 14:00 WIB, yang bisa berlaku hari itu juga. Tidak perlu PP atau segala macam, tidak perlu izin ke Senayan.
Jadi tidak heran bank sentral sangat diharapkan untuk menjadi 'pemadam kebakaran'. Jangan heran juga kalau dalam situasi yang tidak normal, hanya bank sentral yang bisa menenangkan pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Kala Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri China Liu He meneken perjanjian tersebut, seremonial mewah (dan lama) dihelat di Gedung Putih. Saat acara berakhir, satu lagu yang sangat sesuai dengan mood saat itu mengalun merdu. What a Wonderful World yang dipopulerkan oleh Louis Armstrong.
Satu risiko besar, mungkin satu-satunya risiko besar pada 2019, sudah bisa dihapus dari daftar. AS-China berdamai, rantai pasok global membaik, prospek pertumbuhan ekonomi dunia pun kembali cerah. What a wonderful world...
Sementara Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan empat kali. Ini melanjutkan penurunan enam kali pada 2018.
Namun dengan berakhirnya perang dagang AS-China dan pemulihan ekonomi yang sudah di depan mata, sepertinya kebijakan seperti itu tidak lagi dibutuhkan pada 2020. Ada alasan kuat bagi bank sentral untuk menghentikan siklus kebijakan moneter longgar.
"Kami meyakini bahwa kebijakan moneter yang sekarang sudah layak (appropriate) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pasar tenaga kerja, dan inflasi menuju ke target 2%," tegas Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell dalam konferensi pers usai rapat Komite Pengambil Kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Januari 2020. Saat itu, The Fed memutuskan mempertahankan suku bunga acuan di 1,5-1,75%.
Akan tetapi semuanya berubah. Ada petaka dari China yang membuat geger dunia. Namanya adalah virus corona.
Virus ini ditengarai bermula dari pasar perdagangan hewan liar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China. Kebetulan serangan virus ini datang kala masyarakat China merayakan Tahun Baru Imlek. Mobilitas masyarakat mencapai puncaknya, sehingga virus menyebar ke seantero China dan berbagai negara di Benua Asia, Afrika, Eropa, hingga Australia.
Mengutip data satelit pemetaan ArcGis pada Selasa (3/3/2020) pukul 10:43 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 90.933. Korban jiwa pun semakin bertambah menjadi 3.117 orang.
Penyebaran virus corona membuat aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Siapa yang berani keluar rumah saat virus mematikan sedang mengancam? Akibatnya, produksi pabrik-pabrik belum kunjung optimal, pariwisata lesu, aktivitas perdagangan (termasuk ekspor-impor) terhambat.
Serangan virus corona terbanyak terjadi di China dengan 80.151 kasus. Aktivitas industri manufaktur China pun merosot tajam. Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur China versi Caxin/Markit pada Februari 2020 tercatat 40,3. Jauh di bawah bulan sebelumnya yaitu 51,1 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI yang dimulai pada 2004.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di bawah 50, berarti dunia usaha sedang tidak ekspansif, bahkan yang ada terkontraksi.
"Sektor industri manufaktur China sudah merasakan dampak epidemi pada bulan lalu. Pasokan dan permintaan sama-sama melemah, rantai pasok mengalami stagnasi, dan banyak pesanan yang belum terselesaikan," kata Zhenssheng Zhong, Direktur Analisis Makroekonomi di CEBM Group, seperti dikutip dari Reuters.
China adalah pemain besar dalam perekonomian global. Negeri Tirai Bambu merupakan perekonomian terbesar kedua di dunia, eksportir nomor satu, dan pemain kunci dalam rantai pasok dunia.
Kala pasokan dari China menurun seiring kelesuan industri manufaktur, maka dunia usaha di berbagai negara akan kesulitan memperoleh bahan baku/penolong. Oleh karena itu, rantai pasok global akan rusak dan industri manufaktur global terancam mengalami kontraksi.
Menyikapi penyebaran virus corona yang semakin masif, bank sentral terpaksa 'putar balik' alias putbal. Pelonggaran kebijakan moneter yang awalnya bakal ditinggalkan kini kembali menjadi opsi.
Beberapa bank sentral sudah menurunkan suku bunga acuan. Bulan lalu, BI sudah menurunkan suku bunga acuan 25 bps ke 4,75%. Bank sentral Thailand (BoT) juga menempuh langkah serupa, menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 1%, terendah sepanjang sejarah Negeri Gajah Putih. Teranyar, hari ini RBA menurunkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 0,5%.
Bahkan The Fed pun diperkirakan bakal ikut menurunkan suku bunga acuan. Mengutip CME FedWatch, kemungkinan Powell dan sejawat untuk menurunkan suku bunga acuan 50 bps menjadi 1-1,25% pada rapat 18 Maret mencapai 100%. Tidak ada ruang untuk penurunan 25 bps, apalagi tetap di 1,5-1,75%.
"Virus corona menyebabkan risiko terhadap aktivitas ekonomi. The Federal Reserves memantau dengan saksama berbagai perkembangan yang ada dan dampaknya terhadap prospek ekonomi. Kami akan menggunakan instrumen-instrumen yang ada dan bertindak sewajarnya (appropriate) untuk mendukung perekonomian," kata Powell akhir pekan lalu, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Powell pernah menggunakan kata 'appropriate' pada Juni tahun lalu, kala perekonomian AS terpukul akibat perang dagang dengan China. Suku bunga acuan memang belum diturunkan pada bulan itu, tetapi kemudian dipangkas 25 bps pada Juli dan diturunkan dua kali lagi sampai akhir 2019.
Dalam situasi yang luar biasa memang dibutuhkan langkah yang luar biasa. Ketika ekonomi sedang terancam, pihak yang diharapkan mengambil posisi di depan memang bank sentral.
Mengharapkan pemerintah untuk memberi stimulus fiskal boleh saja. Namun kapasitas fiskal ada batasnya. Misalnya di Indonesia, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak boleh lebih dari 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, eksekusi kebijakan fiskal butuh landasan hukum entah itu Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri, atau apa lah. Belum kalau harus 'sowan' ke DPR. Prosesnya memakan waktu.
Sementara kebijakan moneter bisa langsung dieksekusi saat itu juga. BI biasanya mengumumkan suku bunga acuan pada pukul 14:00 WIB, yang bisa berlaku hari itu juga. Tidak perlu PP atau segala macam, tidak perlu izin ke Senayan.
Jadi tidak heran bank sentral sangat diharapkan untuk menjadi 'pemadam kebakaran'. Jangan heran juga kalau dalam situasi yang tidak normal, hanya bank sentral yang bisa menenangkan pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular