
Jangan-jangan Corona Tak Seseram yang Dibayangkan...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 March 2020 06:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Virus corona belum berhenti menghasilkan berita baru. Kini, Indonesia sudah melaporkan kasus perdana corona, bahkan menjangkiti dua pasien sekaligus.
Sejauh ini sepertinya belum. Bahkan industriawan di berbagai negara justru mulai melakukan ekspansi.
Ini terlihat dari rilis PMI manufaktur di sejumlah negara yang pada Februari justru membaik. Bahkan ada yang mencatat pencapaian terbaik dalam dua tahun terakhir.
Data PMI di berbagai negara tersebut memunculkan dua kemungkinan. Pertama adalah gangguan rantai pasok akibat virus corona belum terasa pada Februari, dan kedua bisa saja dampak ekonomi dari virus corona tidak seseram yang dibayangkan sebelumnya.
Kemungkinan pertama cukup besar. Misalnya di Inggris, IHS Markit mencatat PMI manufaktur pada Februari memang yang tertinggi sejak April 2019. Namun bukan berarti tidak ada masalah.
"Ada risiko gangguan di sisi input akibat penyebaran virus corona, terutama di China, karena pabrik-pabrik masih tutup dan karyawan belum sepenuhnya kembali bekerja. Ini menyebabkan penurunan pasokan bahan baku/penolong sehingga inflasi di sisi input meningkat ke level tertinggi sejak Juni 2019. Dengan risiko gangguan yang begitu nyata, peningkatan aktivitas manufaktur di Inggris kemungkinan akan mereda. Virus corona akan menghilangkan kenaikan ini, jika gangguan rantai pasok terus terjadi dalam beberapa bulan ke depan," papar Duncan Brook, Group Director di Chartered Institute of Procurement and Supply, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Akan tetapi, kemungkinan kedua juga tidak bisa diabaikan. Sebab meski PMI di China terkontraksi sangat dalam pada Februari, tetapi ada kemungkinan bisa langsung bangkit pada Maret.
"Kondisi terburuk sepertinya sudah berlalu. Epidemi virus corona di China sudah melalui titik puncak di China dan pemerintah bergerak untuk mengembalikan aktivitas ekonomi di luar Provinsi Hubei (ground zero penyebaran virus corona). PMI seharusnya membaik signifikan pada Maret," tegas riset Citi.
Di China, penyebaran virus corona memang mulai menunjukkan laju yang melambat. Jumlah kasus baru yang sempat bertambah sekitar 9.000 dalam sehari kini 'hanya' sekitar 1.500.
Jumlah kasus baru dalam tren menurun sejak 12 Februari. Di luar Hubei, jumlah kasus baru juga terus turun dari 889 pada 3 Februari menjadi 18 pada 22 Februari. Kasus di provinsi baru pun semakin sedikit.
"Contoh, tidak ada kasus di provinsi baru pada 22 Februari. Penyebaran di luar Hubei sudah terkendali," sebut riset Citi.
Jumlah pasien yang sembuh terus meningkat dengan laju pertumbuhan melebihi kasus baru. Rasio kematian memang meningkat menjadi 3,17% hingga 22 Februari, tetapi masih lebih rendah ketimbang wabah lain seperti SARS.
Sejumlah data terakhir menunjukkan aktivitas ekonomi di China mulai pulih. Hingga 22 Februari, baru 34% pemudik yang sudah kembali dari liburan Tahun Baru Imlek. Pada akhir Februari, jumlahnya akan meningkat menjadi 43%.
Artinya, sebenarnya sepinya pabrik-pabrik di China bukan hanya disebabkan oleh ketakutan terhadap virus corona. Memang pada dasarnya pemudik belum seluruhnya kembali dari kampung halaman setelah perayaan Imlek.
Kemudian, penggunaan batu bara di berbagai pembangkit listrik di China mulai naik. Pekan lalu, tingkat utilitasi batu bara di pembangkit-pembangkit listrik di China adalah 58%. Sekarang mulai naik ke 65%. Ini menggambarkan aktivitas produksi yang memakan energi mulai menggeliat.
Bank Indonesia (BI) juga memantau aktivitas ekonomi di China mulai pulih. "Dari sisi traffic di pelabuhan, kegiatan ekspor-impor di China sudah mulai terjadi peningkatan meski memang masih tahap awal. Demikian juga konsumsi batu bara di sana mulai naik meski masih di bawah normal," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers di kantornya, kemarin.
Oleh karena itu, ada harapan China bisa pulih dengan relatif cepat dari serangan virus corona. BI memperkirakan dampak terberat akan dirasakan pada Februari dan Maret, sebelum mulai terjadi perbaikan pada April. Dalam enam bulan, ekonomi China diperkirakan sudah pulih sepenuhnya.
Jadi, memang ada peluang dampak ekonomi dari virus corona tidak sengeri yang dibayangkan sebelumnya. Semoga ini menjadi kenyataan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Mengutip data satelit pemetaan ArcGIs pada Senin (2/3/2020) pukul 21:43 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia sudah mencapai 89.253. China tetap yang terbanyak yaitu 80.026.
Namun kini yang menjadi kekhawatiran justru penyebaran di luar China yang semakin luas. Korea Selatan menjadi negara dengan kasus corona terbanyak kedua yaitu 4.335. disusul Italia (1.694), Iran (978), Jepang (256), Jerman (150), Prancis (130), Spanyol (126), Singapura (106), Hong Kong (98), Amerika Serikat/AS (86), Bahrain (47), Kuwait (45), Thailand (43), Taiwan (41), Inggris (36), Australia (29), Malaysia (29), Swiss (27), Kanada (24), Uni Emirat Arab (21), Norwegia (19), Vietnam (16), Swedia (14), Austria (14), Israel (10), Lebanon (10), Belanda (10), Makau (10), San Marino (8), Kroasia (7), Yunani (7), Ekuador (6), Oman (6), Finlandia (6), Meksiko (6), Denmark (4), Pakistan (4), Qatar (3), Republik Ceska (3), Georgia (3), Aljazair (3), Islandia (3), Filipina (3), Rumania (3), India (3), Azerbaijan (3), Indonesia (2), Belgia (2), Rusia (2), Brasil (2), Mesir (2), Afganistan (1), Nepal (1), Lituania (1), Kamboja (1), Republik Irlandia (1), Nigeria (1), Armenia (1), Republik Dominika (1), Makedonia Utara (1), Luksemburg (1), Monako (1), Belarusia (1), Selandia Baru (1), Estonia (1), dan Sri Lanka (1). Plus kasus di kapal pesiar Diamond Princess (705).
Penyebaran yang begitu masif membuat aktivitas masyarakat menjadi terhambat. Pabrik-pabrik berhenti beroperasi, atau kalau masih berproduksi tidak dalam kapasitas maksimal akibat kekurangan sumber daya manusia.
Sebagian pekerja memang masih dirumahkan karena khawatir penyebaran virus bakal kian luas. Akibatnya, aktivitas industri manufaktur China merosot tajam. Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur China versi Caxin/Markit pada Februari 2020 tercatat 40,3. Jauh di bawah bulan sebelumnya yaitu 51,1 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI yang dimulai pada 2004.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di bawah 50, berarti dunia usaha sedang tidak ekspansif, bahkan yang ada terkontraksi.
"Sektor industri manufaktur China sudah merasakan dampak epidemi pada bulan lalu. Pasokan dan permintaan sama-sama melemah, rantai pasok mengalami stagnasi, dan banyak pesanan yang belum terselesaikan," kata Zhenssheng Zhong, Direktur Analisis Makroekonomi di CEBM Group, seperti dikutip dari Reuters.
China adalah pemain besar dalam perekonomian global. Negeri Tirai Bambu merupakan perekonomian terbesar kedua di dunia, eksportir nomor satu, dan pemain kunci dalam rantai pasok dunia.
Kala pasokan dari China menurun seiring kelesuan industri manufaktur, maka dunia usaha di berbagai negara akan kesulitan memperoleh bahan baku/penolong. Oleh karena itu, rantai pasok global akan rusak dan industri manufaktur global terancam mengalami kontraksi.
Namun apakah benar demikian? Apakah masa depan kita sesuram itu? Benarkah rantai pasok global sudah rusak gara-gara corona? Namun kini yang menjadi kekhawatiran justru penyebaran di luar China yang semakin luas. Korea Selatan menjadi negara dengan kasus corona terbanyak kedua yaitu 4.335. disusul Italia (1.694), Iran (978), Jepang (256), Jerman (150), Prancis (130), Spanyol (126), Singapura (106), Hong Kong (98), Amerika Serikat/AS (86), Bahrain (47), Kuwait (45), Thailand (43), Taiwan (41), Inggris (36), Australia (29), Malaysia (29), Swiss (27), Kanada (24), Uni Emirat Arab (21), Norwegia (19), Vietnam (16), Swedia (14), Austria (14), Israel (10), Lebanon (10), Belanda (10), Makau (10), San Marino (8), Kroasia (7), Yunani (7), Ekuador (6), Oman (6), Finlandia (6), Meksiko (6), Denmark (4), Pakistan (4), Qatar (3), Republik Ceska (3), Georgia (3), Aljazair (3), Islandia (3), Filipina (3), Rumania (3), India (3), Azerbaijan (3), Indonesia (2), Belgia (2), Rusia (2), Brasil (2), Mesir (2), Afganistan (1), Nepal (1), Lituania (1), Kamboja (1), Republik Irlandia (1), Nigeria (1), Armenia (1), Republik Dominika (1), Makedonia Utara (1), Luksemburg (1), Monako (1), Belarusia (1), Selandia Baru (1), Estonia (1), dan Sri Lanka (1). Plus kasus di kapal pesiar Diamond Princess (705).
Penyebaran yang begitu masif membuat aktivitas masyarakat menjadi terhambat. Pabrik-pabrik berhenti beroperasi, atau kalau masih berproduksi tidak dalam kapasitas maksimal akibat kekurangan sumber daya manusia.
Sebagian pekerja memang masih dirumahkan karena khawatir penyebaran virus bakal kian luas. Akibatnya, aktivitas industri manufaktur China merosot tajam. Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur China versi Caxin/Markit pada Februari 2020 tercatat 40,3. Jauh di bawah bulan sebelumnya yaitu 51,1 dan menjadi yang terendah sepanjang pencatatan PMI yang dimulai pada 2004.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di bawah 50, berarti dunia usaha sedang tidak ekspansif, bahkan yang ada terkontraksi.
"Sektor industri manufaktur China sudah merasakan dampak epidemi pada bulan lalu. Pasokan dan permintaan sama-sama melemah, rantai pasok mengalami stagnasi, dan banyak pesanan yang belum terselesaikan," kata Zhenssheng Zhong, Direktur Analisis Makroekonomi di CEBM Group, seperti dikutip dari Reuters.
China adalah pemain besar dalam perekonomian global. Negeri Tirai Bambu merupakan perekonomian terbesar kedua di dunia, eksportir nomor satu, dan pemain kunci dalam rantai pasok dunia.
Kala pasokan dari China menurun seiring kelesuan industri manufaktur, maka dunia usaha di berbagai negara akan kesulitan memperoleh bahan baku/penolong. Oleh karena itu, rantai pasok global akan rusak dan industri manufaktur global terancam mengalami kontraksi.
Sejauh ini sepertinya belum. Bahkan industriawan di berbagai negara justru mulai melakukan ekspansi.
Ini terlihat dari rilis PMI manufaktur di sejumlah negara yang pada Februari justru membaik. Bahkan ada yang mencatat pencapaian terbaik dalam dua tahun terakhir.
Data PMI di berbagai negara tersebut memunculkan dua kemungkinan. Pertama adalah gangguan rantai pasok akibat virus corona belum terasa pada Februari, dan kedua bisa saja dampak ekonomi dari virus corona tidak seseram yang dibayangkan sebelumnya.
Kemungkinan pertama cukup besar. Misalnya di Inggris, IHS Markit mencatat PMI manufaktur pada Februari memang yang tertinggi sejak April 2019. Namun bukan berarti tidak ada masalah.
"Ada risiko gangguan di sisi input akibat penyebaran virus corona, terutama di China, karena pabrik-pabrik masih tutup dan karyawan belum sepenuhnya kembali bekerja. Ini menyebabkan penurunan pasokan bahan baku/penolong sehingga inflasi di sisi input meningkat ke level tertinggi sejak Juni 2019. Dengan risiko gangguan yang begitu nyata, peningkatan aktivitas manufaktur di Inggris kemungkinan akan mereda. Virus corona akan menghilangkan kenaikan ini, jika gangguan rantai pasok terus terjadi dalam beberapa bulan ke depan," papar Duncan Brook, Group Director di Chartered Institute of Procurement and Supply, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Akan tetapi, kemungkinan kedua juga tidak bisa diabaikan. Sebab meski PMI di China terkontraksi sangat dalam pada Februari, tetapi ada kemungkinan bisa langsung bangkit pada Maret.
"Kondisi terburuk sepertinya sudah berlalu. Epidemi virus corona di China sudah melalui titik puncak di China dan pemerintah bergerak untuk mengembalikan aktivitas ekonomi di luar Provinsi Hubei (ground zero penyebaran virus corona). PMI seharusnya membaik signifikan pada Maret," tegas riset Citi.
Di China, penyebaran virus corona memang mulai menunjukkan laju yang melambat. Jumlah kasus baru yang sempat bertambah sekitar 9.000 dalam sehari kini 'hanya' sekitar 1.500.
Jumlah kasus baru dalam tren menurun sejak 12 Februari. Di luar Hubei, jumlah kasus baru juga terus turun dari 889 pada 3 Februari menjadi 18 pada 22 Februari. Kasus di provinsi baru pun semakin sedikit.
"Contoh, tidak ada kasus di provinsi baru pada 22 Februari. Penyebaran di luar Hubei sudah terkendali," sebut riset Citi.
Jumlah pasien yang sembuh terus meningkat dengan laju pertumbuhan melebihi kasus baru. Rasio kematian memang meningkat menjadi 3,17% hingga 22 Februari, tetapi masih lebih rendah ketimbang wabah lain seperti SARS.
![]() |
Sejumlah data terakhir menunjukkan aktivitas ekonomi di China mulai pulih. Hingga 22 Februari, baru 34% pemudik yang sudah kembali dari liburan Tahun Baru Imlek. Pada akhir Februari, jumlahnya akan meningkat menjadi 43%.
Artinya, sebenarnya sepinya pabrik-pabrik di China bukan hanya disebabkan oleh ketakutan terhadap virus corona. Memang pada dasarnya pemudik belum seluruhnya kembali dari kampung halaman setelah perayaan Imlek.
Kemudian, penggunaan batu bara di berbagai pembangkit listrik di China mulai naik. Pekan lalu, tingkat utilitasi batu bara di pembangkit-pembangkit listrik di China adalah 58%. Sekarang mulai naik ke 65%. Ini menggambarkan aktivitas produksi yang memakan energi mulai menggeliat.
Bank Indonesia (BI) juga memantau aktivitas ekonomi di China mulai pulih. "Dari sisi traffic di pelabuhan, kegiatan ekspor-impor di China sudah mulai terjadi peningkatan meski memang masih tahap awal. Demikian juga konsumsi batu bara di sana mulai naik meski masih di bawah normal," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers di kantornya, kemarin.
Oleh karena itu, ada harapan China bisa pulih dengan relatif cepat dari serangan virus corona. BI memperkirakan dampak terberat akan dirasakan pada Februari dan Maret, sebelum mulai terjadi perbaikan pada April. Dalam enam bulan, ekonomi China diperkirakan sudah pulih sepenuhnya.
Jadi, memang ada peluang dampak ekonomi dari virus corona tidak sengeri yang dibayangkan sebelumnya. Semoga ini menjadi kenyataan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/sef) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Most Popular