Jika Perang Dagang adalah Mimpi Buruk, Corona adalah Neraka!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 February 2020 16:38
Jika Perang Dagang adalah Mimpi Buruk, Corona adalah Neraka!
WNI dari China Tiba di Indonesia (Dok. Kemenlu)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada pertengahan Januari lalu, Amerika Serikat (AS) dan China resmi menandatangani perjanjian damai dagang Fase I. Meski baru awal, tetapi sepertinya tidak ada hambatan berarti untuk menyepakati tahap-tahap berikutnya karena hubungan Washington-Beijing yang kembali mesra.

Akhirnya boleh dibilang perang dagang AS-China yang berlangsung hampir dua tahun selesai sudah. Happy ending, semua bahagia.



Investor (dan seluruh dunia) bagai terbangun dari mimpi buruk. Bagaimana tidak, perang dagang AS-China telah membuat perekonomian dunia seolah lumpuh.

Bayangkan, dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia saling hambat perdagangan dengan menerapkan bea masuk. Selama masa perang dagang, AS menerapkan bea masuk terhadap importasi ribuan produk China senilai lebih dari US$ 360 miliar. China yang tidak terima membalas dan membebankan bea masuk terhadap impor produk made in the USA senilai lebih dari US$ 110 miliar.

Harga produk China jadi lebih mahal di AS, begitu pula sebaliknya. Ongkos yang ditanggung dunia usaha meningkat, harga jual naik, penjualan turun, dan laba bergerak ke selatan. 

Misalnya di China. Pertumbuhan laba perusahaan manufaktur di China pada Desember 2018 masih 10,3% year-on-year (YoY). Namun pada Januari 2019 langsung terkontraksi (tumbuh negatif) ke -14%. Hingga Desember 2019, pertumbuhan laba belum bisa dibawa ke zona positif.

 

Ketika perusahaan di China (dan juga di AS) sulit mengais laba, maka produksi tentu dikurangi. Bahkan di AS, produksi industrial terjebak di area kontraksi dalam lima bulan terakhir.

 



Nah
, saat pelaku usaha mengurangi produksi maka kebutuhan bahan baku/penolong maupun barang modal juga berkurang. Padahal barang-barang itu didatangkan dari berbagai negara, termasuk Indonesia.

Inilah mengapa perang dagang AS-China telah merusak rantai pasok global. Begitu rantai pasok rusak, pertumbuhan ekonomi akan bermasalah.

Benar saja, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 adalah 2,9%. Lumayan jauh melambat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 3,6%.

"Kebijakan perdagangan yang tidak pasti dan tensi geopolitik menjadi pemberat aktivitas ekonomi global, terutama di sektor manufaktur. Pertumbuhan ekonomi 2019 mungkin akan lebih rendah 0,5 poin persentase kalau tidak ada stimulus moneter," sebut keterangan tertulis IMF.

[Gambas:Video CNBC]





Akhirnya itu semua berakhir. AS-China sudah damai, perang dagang selesai. Namun jelang akhir Januari lalu, muncul masalah baru yang bernama virus corona. Virus ini kali pertama muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China.

Bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek, yang merupakan puncak mobilitas masyarakat di China, virus menyebar dengan sangat cepat ke penjuru China dan berbagai negara. Mengutip data satelit pemetaan ArcGis per pukul 14:43 WIB, jumlah kasus corona di seluruh dunia mencapai 82.168. Paling banyak terjadi di China yaitu 78.497. Namun kasus di negara lain tidak boleh dianggap enteng karena meningkat dengan tajam.

Belum lama ini belum ada laporan kasus corona di Iran. Sekarang sudah ada 139, dengan korban jiwa 19 orang. Belum lagi di Italia, sekarang ada 453 kasus.

Korea Selatan jadi tempat terparah kedua setelah China, dengan jumlah kasus 1.595. Jumlah korban jiwa akibat virus corona di Negeri K-Pop adalah 13 orang.


Kalau Anda merasa perang dagang AS-China adalah mimpi buruk, apa kabar virus corona? Lebih dari mimpi buruk. Neraka, mungkin itu kata yang tepat.

Ketika perang dagang, sebenarnya konsumen masih bisa mendapatkan barang hanya mungkin harganya lebih mahal karena kena bea masuk. Namun saat corona menyerang, jangan harap barang bisa selalu ada.

Gara-gara virus corona, aktivitas masyarakat menjadi terbatas. Karyawan tidak bekerja, mahasiswa tidak kuliah, siswa tidak sekolah, pelancong tidak bepergian. Pabrik-pabrik minim berproduksi, aktivitas ekspor-impor lesu, pariwisata kurang peminat.

Paling parah tentu terjadi di China, episentrum penyebaran virus corona. "Kami memperkirakan baru dua pertiga pekerja yang kembali bekerja dan hanya 40% perusahaan yang sudah memulai kembali aktivitasnya selepas libur Imlek," sebut riset Nomura.

Artinya, proses produksi di China bakal terganggu karena karyawan tidak berani keluar rumah akibat virus corona yang bergentayangan. Padahal saat ini peran China begitu penting dalam rantai pasok global.

Ma Tieying, Ekonom DBS, menyoroti bahwa China menyumbang 30-40% dari total ekspor produk tekstil dan alas kaki global. Selain itu, sekitar 20% ekspor mesin dan peralatan listrik dunia berasal dari Negeri Tirai Bambu.

Oleh karena itu, virus corona yang membuat manufaktur China terhambat tentu akan merusak rantai pasok global. Negara-negara yang selama ini tergantung dengan bahan baku atau barang modal dari China tentu menjadi yang parah merasakan dampaknya.

Satu per satu masalah itu mulai tersingkap. Riset Citi mengungkapkan bahwa Korea Selatan terancam mengalami krisis pasokan chip memori kalau industri di China terus berproduksi alakadarnya.

"Pasokan chip di Korea Selatan bisa terganggu karena ada risiko fasilitas produksi di China ditutup jika ada karyawan yang terinfeksi (virus corona) atau minimnya pasokan bahan baku yaitu fluorite. Sebanyak 63% impor fluorite Korea Selatan berasal dari China," sebut riset Citi.

Kalau pasokan chip di Korea Selatan terganggu maka akan mempengaruhi negara-negara lain. Vietnam, Taiwan, Jepang, bahkan China sendiri begitu tergantung kepada pasokan chip dari Negeri Ginseng. Jadi seperti lingkaran setan ya...

Citi


Ini yang membuat virus corona lebih berbahaya ketimbang perang dagang. Virus corona bisa menciptakan kelangkaan barang.

Oleh karena itu, tidak heran pelaku pasar merespons penyebaran virus corona dengan memasang mode defensif. Tidak ada yang mau mengambil risiko, semua hanya berani bermain aman.

Indeks MSCI Global Index secara year-to-date sudah amblas 4,49%. Sementara indeks MSCI Asia-Pasifik (kecuali Jepang) anjlok 5.04%.




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular