
Dampak Virus Corona Sangat Berat, Bahkan Berat Sekali!
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
27 February 2020 10:55

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia tengah berperang melawan virus corona. Semua negara menyiapkan berbagai langkah antisipasi.
Selain melindungi warganya, negara pun berupaya meningkatkan geliat perekonomiannya akibat tekanan yang sangat berat karena Covid-19 ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bercerita. Di awal 2020 semua negara optimistis untuk bangkit setelah 2019 dihantui banyak masalah global terutama trade war. Sayangnya, optimisme tersebut pudar.
"Waktu masuk ke 2020 sebetulnya ada sedikit harapan, bahwa pasti itu adalah bottomnya di 2019, nah harusnya kalau sudah bottom maka harus peak up untuk 2020," kata Sri Mulyani saat menjadi pembicara di Economic Outlook CNBC Indonesia.
Ia mengatakan, proyeksi 202, ekonomi dunia itu bisa menggeliat ke 3,3%. Namun harapan pun sirna.
"Hanya dalam 1 bulan saja di 2020 tonenya sudah mulai menurun, ini disebabkan selain ada harapan positif China dengan AS sudah ada first stage of agreement dalam trade warnya, namun kemudian muncul corona virus. Dan munculnya corona virus ini timbulkan dinamika cepat, hanya 2 minggu maka seluruh proyeksi dan assessment terhadap risiko 2020 menjadi sangat berubah menuju risiko lebih tinggi."
Oleh karena itu sambung Sri Mulyani, ada tekanan yang cukup besar. Tekanan ini terjadi di kuartal pertama 2020.
"Untuk kuartal I pasti alami tekanan sangat besar, untuk ekonomi China."
NEXT >> Pengaruh China Cukup Besar
Sri Mulyani juga bercerita, kenapa situasi di China menjadi penting.
"Karena size ekonomi China di atas US$ 13 triliun. Dia kontribusinya ke ekonomi dunia 17% jadi kalau dia melemah pengaruhnya terasa di seluruh dunia," tegasnya.
Ia mengatakan, virus corona ini berbeda dengan SARS ketika pada 2003. Kenapa?
"Saat itu sizenya ekonominya masih nomor tiga atau empat di dunia sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar dan waktu itu China sedang tumbuh 10-11%, sehingga walaupun kena SARS menurun 2% mereka masih di 8%."
"Sekarang ekonomi baseline mereka 6% agak di bawah 6% dan oleh karena itu penurunan dari China akan terasa menjadi secara psikologis cukup berat. Karena menuju ke area level 5% pertumbuhannya," kata Sri Mulyani.
Pengaruh ke Indonesia
Sri Mulyani lantas menceritakan pengaruhnya terhadap Indonesia. Indonesia ini bisa mengalami perlambatan lagi.
"Nah untuk Indonesia perkiraan kita kalau China turun 1% dari 6% ke 5% maka pengaruh ke kita 0,3-0,6%. Berarti base line kita di 5-5,3% bisa turun di antara 5-4,7%. Ini lah yang disebabkan kami di pemerintah dan kita berkomunikasi dengan BI dan OJK."
"Bagaimana cara kita untuk stimulate kembali dan optimisme atau melakukan countercyclical dengan instrumen kebijakan di dalam masing-masing kewenangan kita."
Tekanan yang terjadi di bursa saham domestik sepanjang tahun ini membuat nilai saham berjatuhan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat terkoreksi sebanyak 9,69% secara year to date hingga Rabu kemarin (26/2/2020) dan tercatat menjadi yang terburuk ketiga dibandingkan bursa saham Asia.
Tekanan terhadap IHSG tersebut membuat nilai kapitalisasi (market capitalization) IHSG tergerus Rp 688,01 triliun menjadi Rp 6.577 triliun. Dibandingkan nilai kapitalisasi yang tercatat pada akhir 2019 senilai Rp 7.265,02 triliun.
Pada periode yang sama, hampir semua sektor mengalami pelemahan yang dipimpin oleh sektor agrikultur yang turun 19,24% dan sektor industri dasar yang mengalami penurunan 19,09%.
Sepanjang tahun ini, wabah virus corona menjadi penekan utama pasar finansial, tidak hanya di dalam negeri tapi secara global.
Hampir semua bursa saham di dunia mengalami koreksi, termasuk bursa Wall Street. Indeks Dow Jones turun 5,11%, bursa Tokyo turun 5,2%, bursa Hong Kong drop 5,3%, bursa China drop 2,04%, bursa Jerman turun 6,06% dan bursa Prancis turun 7,32%.
Wabah virus corona yang menyebar dengan cepat di luar China, khususnya di Korea Selatan, Italia dan Iran, membuat sentimen pelaku pasar memburuk.
Hingga hari ini, virus corona telah menginfeksi 81.322 orang secara global, dengan korban meninggal sebanyak 2.770. Namun demikian, korban sembuh telah mencapai 30.322 sejauh ini, menurut Johns Hopkins CSSE.
Dari segi penyebaran, virus mematikan ini terus menyebar ke berbagai negara dunia. Pada Kamis pagi (27/2/2020), secara total sudah ada 45 negara yang mengkonfirmasi wabah, setelah enam negara melaporkan kasus pertama mereka pada Selasa.
Dari semua negara itu, sebanyak 12 negara ada di Benua Eropa. Bahkan Italia, yang ada di Eropa Selatan, menjadi salah satu negara di luar China yang melaporkan kasus kematian terbanyak akibat COVID-19, yaitu 12 korban jiwa.
Penyebaran corona yang begitu cepat telah membuat investor khawatir terhadap resesi ekonomi dunia. Virus ini telah membuat mata rantai ekonomi dunia menjadi terganggu.
Apalagi wabah virus korban terbesarnya berasal dari China, yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar dunia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga masih terjebak di zona merah di perdagangan pasar spot.
Pada Kamis (27/2/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.018. Rupiah melemah 0,37% dibandingkan posisi sehari sebelumnya dan menyentuh posisi terlemah sejak 17 Desember 2019.
Pelemahan hari ini membuat rupiah terdepresiasi tujuh hari beruntun di kurs tengah BI. Dalam tujuh hari tersebut, pelemahan rupiah mencapai 2,5%.
Sementara di pasar spot, rupiah juga masih merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.960 di mana rupiah melemah 0,25% dan berada di posisi terlemah sejak 20 Desember 2019.
Kala pembukaan pasar, rupiah melemah tipis 0,04%. Rupiah sempat menguat 0,04%, tetapi ternyata itu fana belaka karena mata uang Tanah Air harus rela 'rujuk' dengan ke zona merah.
Sayang sekali, karena mayoritas mata uang Asia sebenarnya mampu menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya dolar Hong Kong, won Korea Selatan, dan dolar Taiwan yang melemah.
(dru) Next Article Ngeri, Penyebaran Virus Corona Bakal Cepat Pasca Imlek
Selain melindungi warganya, negara pun berupaya meningkatkan geliat perekonomiannya akibat tekanan yang sangat berat karena Covid-19 ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bercerita. Di awal 2020 semua negara optimistis untuk bangkit setelah 2019 dihantui banyak masalah global terutama trade war. Sayangnya, optimisme tersebut pudar.
Ia mengatakan, proyeksi 202, ekonomi dunia itu bisa menggeliat ke 3,3%. Namun harapan pun sirna.
"Hanya dalam 1 bulan saja di 2020 tonenya sudah mulai menurun, ini disebabkan selain ada harapan positif China dengan AS sudah ada first stage of agreement dalam trade warnya, namun kemudian muncul corona virus. Dan munculnya corona virus ini timbulkan dinamika cepat, hanya 2 minggu maka seluruh proyeksi dan assessment terhadap risiko 2020 menjadi sangat berubah menuju risiko lebih tinggi."
Oleh karena itu sambung Sri Mulyani, ada tekanan yang cukup besar. Tekanan ini terjadi di kuartal pertama 2020.
"Untuk kuartal I pasti alami tekanan sangat besar, untuk ekonomi China."
NEXT >> Pengaruh China Cukup Besar
"Karena size ekonomi China di atas US$ 13 triliun. Dia kontribusinya ke ekonomi dunia 17% jadi kalau dia melemah pengaruhnya terasa di seluruh dunia," tegasnya.
Ia mengatakan, virus corona ini berbeda dengan SARS ketika pada 2003. Kenapa?
"Saat itu sizenya ekonominya masih nomor tiga atau empat di dunia sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar dan waktu itu China sedang tumbuh 10-11%, sehingga walaupun kena SARS menurun 2% mereka masih di 8%."
"Sekarang ekonomi baseline mereka 6% agak di bawah 6% dan oleh karena itu penurunan dari China akan terasa menjadi secara psikologis cukup berat. Karena menuju ke area level 5% pertumbuhannya," kata Sri Mulyani.
Pengaruh ke Indonesia
Sri Mulyani lantas menceritakan pengaruhnya terhadap Indonesia. Indonesia ini bisa mengalami perlambatan lagi.
"Nah untuk Indonesia perkiraan kita kalau China turun 1% dari 6% ke 5% maka pengaruh ke kita 0,3-0,6%. Berarti base line kita di 5-5,3% bisa turun di antara 5-4,7%. Ini lah yang disebabkan kami di pemerintah dan kita berkomunikasi dengan BI dan OJK."
"Bagaimana cara kita untuk stimulate kembali dan optimisme atau melakukan countercyclical dengan instrumen kebijakan di dalam masing-masing kewenangan kita."
Tekanan yang terjadi di bursa saham domestik sepanjang tahun ini membuat nilai saham berjatuhan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat terkoreksi sebanyak 9,69% secara year to date hingga Rabu kemarin (26/2/2020) dan tercatat menjadi yang terburuk ketiga dibandingkan bursa saham Asia.
Tekanan terhadap IHSG tersebut membuat nilai kapitalisasi (market capitalization) IHSG tergerus Rp 688,01 triliun menjadi Rp 6.577 triliun. Dibandingkan nilai kapitalisasi yang tercatat pada akhir 2019 senilai Rp 7.265,02 triliun.
Pada periode yang sama, hampir semua sektor mengalami pelemahan yang dipimpin oleh sektor agrikultur yang turun 19,24% dan sektor industri dasar yang mengalami penurunan 19,09%.
Sepanjang tahun ini, wabah virus corona menjadi penekan utama pasar finansial, tidak hanya di dalam negeri tapi secara global.
Hampir semua bursa saham di dunia mengalami koreksi, termasuk bursa Wall Street. Indeks Dow Jones turun 5,11%, bursa Tokyo turun 5,2%, bursa Hong Kong drop 5,3%, bursa China drop 2,04%, bursa Jerman turun 6,06% dan bursa Prancis turun 7,32%.
Wabah virus corona yang menyebar dengan cepat di luar China, khususnya di Korea Selatan, Italia dan Iran, membuat sentimen pelaku pasar memburuk.
Hingga hari ini, virus corona telah menginfeksi 81.322 orang secara global, dengan korban meninggal sebanyak 2.770. Namun demikian, korban sembuh telah mencapai 30.322 sejauh ini, menurut Johns Hopkins CSSE.
Dari segi penyebaran, virus mematikan ini terus menyebar ke berbagai negara dunia. Pada Kamis pagi (27/2/2020), secara total sudah ada 45 negara yang mengkonfirmasi wabah, setelah enam negara melaporkan kasus pertama mereka pada Selasa.
Dari semua negara itu, sebanyak 12 negara ada di Benua Eropa. Bahkan Italia, yang ada di Eropa Selatan, menjadi salah satu negara di luar China yang melaporkan kasus kematian terbanyak akibat COVID-19, yaitu 12 korban jiwa.
Penyebaran corona yang begitu cepat telah membuat investor khawatir terhadap resesi ekonomi dunia. Virus ini telah membuat mata rantai ekonomi dunia menjadi terganggu.
Apalagi wabah virus korban terbesarnya berasal dari China, yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar dunia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga masih terjebak di zona merah di perdagangan pasar spot.
Pada Kamis (27/2/2020), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.018. Rupiah melemah 0,37% dibandingkan posisi sehari sebelumnya dan menyentuh posisi terlemah sejak 17 Desember 2019.
Pelemahan hari ini membuat rupiah terdepresiasi tujuh hari beruntun di kurs tengah BI. Dalam tujuh hari tersebut, pelemahan rupiah mencapai 2,5%.
Sementara di pasar spot, rupiah juga masih merah. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.960 di mana rupiah melemah 0,25% dan berada di posisi terlemah sejak 20 Desember 2019.
Kala pembukaan pasar, rupiah melemah tipis 0,04%. Rupiah sempat menguat 0,04%, tetapi ternyata itu fana belaka karena mata uang Tanah Air harus rela 'rujuk' dengan ke zona merah.
Sayang sekali, karena mayoritas mata uang Asia sebenarnya mampu menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya dolar Hong Kong, won Korea Selatan, dan dolar Taiwan yang melemah.
(dru) Next Article Ngeri, Penyebaran Virus Corona Bakal Cepat Pasca Imlek
Most Popular