RI Sudah Jadi Negara Maju? Nanti Dulu, Mr Trump!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 February 2020 13:40
RI Sudah Jadi Negara Maju? Nanti Dulu, Mr Trump!
Presiden AS Donald Trump (AP Photo/Alex Brandon)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah komando Presiden Donald Trump memutuskan Indonesia tidak lagi masuk kategori negara berkembang. Keputusan ini berimplikasi Indonesia tidak lagi bisa menikmati fasilitas Generalized System of Preference (GSP).

Apa itu fasilitas GSP? Mengapa Indonesia dipandang tidak layak lagi mendapat fasilitas tersebut?


GSP bertujuan untuk 'mengangkat derajat' sebuah negara agar mampu keluar dari lembah nestapa kemiskinan. Per Desember 2019, berikut adalah negara-negara yang berhak mendapatkan GSP:

US Trade Representative
 
Melalui GSP, produk-produk negara tersebut bisa masuk ke AS tanpa bea masuk. Ada lebih dari 3.500 produk yang bebas bea masuk. Selain bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi d negara-negara yang membutuhkan, GSP juga diberikan bagi produk yang belum bisa dihasilkan secara masif oleh industri Negeri Adidaya.

Khusus untuk Indonesia, ada beberapa produk yang mendapat GSP yaitu:
1. Edible products of animal origin, nesi (HTSUS 04100000).
2. Batting gloves, of leathers or of composition leather (HTSUS 42032120).
3. Still image video cameras (other than digital) and other video camera recorder (HTSUS 85258050).
4. Radiobroadcast receiver combinations incorporating tape player, nesi (HTSUS 85279140).
5. Radiobroadcast receivers not combined with sound recording apparatus or clock (HTSUS 85279915).
6. Contact lenses (HTSUS 90013000).

AS juga mengatur tentang 'kelulusan' (graduation) sebuah negara dari penerima GSP. Ada dua faktor yang menyebabkan suatu negara tidak lagi layak menerima GSP yaitu:
1. Presiden AS memutuskan negara tersebut sudah masuk kategori negara berpendapatan tinggi sesuai standar Bank Dunia. Ini adalah 'kelulusan' yang hakiki atau mandatory graduation.
2. Presiden AS berdasarkan berbagai kajian menilai negara tersebut sudah membaik dalam hal perdagangan dan daya saing.



Poin pertama jelas tidak bisa diterapkan bagi Indonesia. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada 2019 adalah US$ 4.193,11.

 

Berdasarkan klasifikasi Bank Dunia, Indonesia belum layak disebut negara berpendapatan tinggi. Indonesia masih berada di level menengah-atas.

Klasifikasi

Pendapatan (US$)

Rendah

< 1,026

Menengah-Rendah

1,026-3,995

Menengah-Atas

3,996-12,375

Tinggi

> 12,375

Sumber: Bank Dunia


Nah, mungkin Indonesia bisa kena dari poin kedua yaitu menunjukkan perbaikan dalam hal perdagangan dan daya saing. Untuk mengukur perbaikan di bidang perdagangan, indikator yang biasa dipakai adalah proporsi ekspor-impor terhadap pembentukan PDB nasional.

Pada 2018, ekspor-impor menyumbang 43,02% terhadap PDB Indonesia, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 39,36%. Porsi ekspor-impor terus meningkat sejak 2016.




Namun dalam hal perbaikan daya saing, mungkin Trump kurang tepat. Sebab dalam Global Competitiveness Report 2019, peringkat Indonesia justru turun lima setrip dibandingkan tahun sebelumnya menjadi rangking ke-50. (Semakin rendah angkanya maka semakin baik).

 


Well, mungkin Trump lama-lama gerah juga dengan Indonesia yang selalu mencatat surplus perdagangan dengan negaranya. Pada 2018, defisit perdagangan AS dengan Indonesia mencapai US$ 12,65 miliar.



Trump dikenal dengan slogan America First, kepentingan AS nomor satu yang lain entah nomor berapa. Terutama dalam hal ekonomi. Trump sudah lama ingin menekan defisit perdagangan AS, sesuatu yang membuatnya rela terlibat perang dagang dengan China selama hampir dua tahun.

Jadi tidak heran sang presiden ke-45 Negeri Paman Sam memutuskan Indonesia terdepak dari daftar negara penerima GSP. Dengan begitu, diharapkan perdagangan AS-Indonesia tidak berat sebelah seperti yang selama ini terjadi.


Namun, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani mengungkapkan, keputusan pemerintah AS tidak mengubah status GSP buat Indonesia. Tetap ada yang berubah, yaitu status Indonesia dalam kacamata Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Di AS, kata Shinta, ada UU Antidumping and Countervailing Duties (AD/CVD) yang mengatur pengenaan bea masuk unti-dumping dan bea masuk balasan atas perlakuan negara lain yang memberi subsidi berlebihan. Negara berkembang hanya oleh memberikan subsidi kepada produknya maksimal 2% sementara negara maju hanya 1%.

"Negara berkembang boleh menyubsidi harga barang yang mereka jual ke AS sebesar 2% dan negara maju hanya boleh menyubsidi maksimal 1% lebih murah daripada harga pasar yang berlaku ketika diselidiki oleh trade investigator AS. Kalau persentase besar dari batas ini, maka AS akan mengenakan tarif tambahan (countervailing duty) kepada impor produk negara tersebut," kata Shinta.

Dengan posisi Indonesia yang tidak lagi dipandang sebagai negara berkembang, demikian Shinta, maka tudingan subsidi yang overdosis menjadi lebih mudah dikenakan. AS pernah menang melawan Indonesia dalam hal impor biofuel pada 2017 sehingga Indonesia tidak bisa menjual produk tersebut ke sana.

"Yurisprudensi bahwa Indonesia bukanlah market economy (negara yang memiliki praktik persaingan dagang yang sehat dan baik) sekaligus menciptakan asumsi terhadap pola perdagangan Indonesia di AS. Jadi, ketika produk Indonesia memperoleh market shares yang lebih besar di AS di masa mendatang, mendominasi pasar AS pada produk tertentu, atau ketika AS menerima keluhan dari pelaku usaha lokal terkait persaingan usaha dengan produk asal Indonesia, AS akan langsung berasumsi bahwa perlu ada penyelidikan AD/CVD terhadap impor atas produk tersebut karena ada yurisprudensi bahwa Indonesia bukan market economy," jelas Shinta.

Apa pun bentuknya, sepertinya produk Indonesia tidak bisa semudah sebelumnya saat ingin masuk ke pasar AS, kala status Indonesia sudah dicoret dari daftar negara berkembang ala AS. Kalau kebijakan Trump adalah America First, maka ini adalah langkah nyata bagi Trump.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular