
Internasional
Dibombardir Rudal, Ekonomi Suriah Rugi Ribuan Triliun Rupiah
Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
19 February 2020 15:34

Jakarta, CNBC Indonesia - KonflikĀ Suriah yang kini memasuki tahun kesembilan, sudah menghancurkan kehidupan jutaan orang, termasuk masyarakat mereka sendiri. Suriah sejak dimulai pada 2011 melakukan penindasan brutal terhadap protes anti-pemerintah.
Pada Minggu (16/2/2020) kemarin, pasukan Suriah yang didukung oleh kekuatan udara Rusia mengambil kendali atas sebagian besar kota Aleppo, merebut sekitar 30 desa hanya dalam satu hari. Kota Aleppo telah menjadi sasaran tembakan roket pemberontak yang konstan.
Kota Aleppo awalnya merupakan pusat ekonomi di Suriah. Namun karena adanya perang, kota tersebut dijadikan markas kelompok pemberontak anti Presiden Bashar al-Assad.
Namun akibat peristiwa tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa sebanyak 900.000 warga Suriah harus mengungsi akibat terjadinya perang antara militer Suriah dengan kelompok pemberontak anti Assad sejak Desember 2019 lalu.
Angka tersebut 100.000 lebih dari yang dicatat PBB sebelumnya. PBB juga menjelaskan jika ada banyak bayi-bayi yang sekarat akibat kedinginan, serta kamp bantuan dan pengungsian yang sudah kepenuhan.
Selain itu, ada pula dampak buruk terhadap perekonomian negara tersebut. Program Pangan Dunia PBB mengatakan, sekitar 6,5 juta orang di Suriah tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan mereka.
Dengan pengangguran, pemadaman listrik, dan kekurangan gas, menurut PBB, lebih dari 80 persen warga Suriah hidup di bawah garis kemiskinan, dibandingkan dengan 28 persen sebelum adanya perang.
Selain itu, menurut pihak berwenang Suriah, sektor minyak dan gas sejak 2011 kehilangan sekitar US$ 74 miliar (Rp 1,014 triliun). Lebih lanjut PBB memperkirakan biaya kerusakan keseluruhan hampir US$ 400 miliar (Rp 5,482 triliun).
Krisis di Suriah yang sudah terjadi sejak 2011. Krisis ini awalnya terkait perang sipil dua faksi yang berseberangan di Suriah.
Namun lama kelamaan, perang menjadi begitu kompleks dengan banyaknya pihak terkait. Khusus di Suriah Barat Laut, tentara Assad dengan dukungan Rusia berseteru dengan pemberontak yang dibantu Turki.
Belum lagi keterlibatan Iran yang juga pro Assad dan membuat berang Israel. Bahkan negeri Nethanyahu itu kerap dikabarkan menyerang Damaskus untuk menghancurkan milisi pro Iran.
Ditengarai adanya teori konspirasi yaitu rencana pembangunan pipa gas menjadi sebab awal kenapa banyak negara masuk ke perang ini. Mengutip ANSA, kantor berita Italia, ada rencana untuk membangun jaringan pipa gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dari Qatar yang tersambung sampai ke Eropa.
Pipa tersebut membentang melalui Arab Saudi, Kuwait, dan Irak. Qatar adalah eksportir LNG terbesar di dunia. Pada 2018, ekspor LNG Qatar mencapai 104,8 miliar meter kubik.
Pipa sudah siap di Turki untuk menerima pasokan gas tersebut. Hanya saja ada penghalang yaitu Assad.
"Pada 2009, Assad menolak proposal dari Qatar karena menjaga kepentingan sekutunya, Rusia," sebut Felix Imonti, pengamat energi, seperti dikutip dari ANSA.
Rusia adalah pemasok gas utama di Benua Biru. Mengutip data Eurostat, sekitar 37% pasokan gas di Uni Eropa datang dari Negeri Beruang Merah.
(sef/sef) Next Article Serang Suriah, Ini Cara Erdogan Rayu Putin
Pada Minggu (16/2/2020) kemarin, pasukan Suriah yang didukung oleh kekuatan udara Rusia mengambil kendali atas sebagian besar kota Aleppo, merebut sekitar 30 desa hanya dalam satu hari. Kota Aleppo telah menjadi sasaran tembakan roket pemberontak yang konstan.
Namun akibat peristiwa tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa sebanyak 900.000 warga Suriah harus mengungsi akibat terjadinya perang antara militer Suriah dengan kelompok pemberontak anti Assad sejak Desember 2019 lalu.
Angka tersebut 100.000 lebih dari yang dicatat PBB sebelumnya. PBB juga menjelaskan jika ada banyak bayi-bayi yang sekarat akibat kedinginan, serta kamp bantuan dan pengungsian yang sudah kepenuhan.
Selain itu, ada pula dampak buruk terhadap perekonomian negara tersebut. Program Pangan Dunia PBB mengatakan, sekitar 6,5 juta orang di Suriah tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan mereka.
Dengan pengangguran, pemadaman listrik, dan kekurangan gas, menurut PBB, lebih dari 80 persen warga Suriah hidup di bawah garis kemiskinan, dibandingkan dengan 28 persen sebelum adanya perang.
Selain itu, menurut pihak berwenang Suriah, sektor minyak dan gas sejak 2011 kehilangan sekitar US$ 74 miliar (Rp 1,014 triliun). Lebih lanjut PBB memperkirakan biaya kerusakan keseluruhan hampir US$ 400 miliar (Rp 5,482 triliun).
Krisis di Suriah yang sudah terjadi sejak 2011. Krisis ini awalnya terkait perang sipil dua faksi yang berseberangan di Suriah.
Namun lama kelamaan, perang menjadi begitu kompleks dengan banyaknya pihak terkait. Khusus di Suriah Barat Laut, tentara Assad dengan dukungan Rusia berseteru dengan pemberontak yang dibantu Turki.
Belum lagi keterlibatan Iran yang juga pro Assad dan membuat berang Israel. Bahkan negeri Nethanyahu itu kerap dikabarkan menyerang Damaskus untuk menghancurkan milisi pro Iran.
Ditengarai adanya teori konspirasi yaitu rencana pembangunan pipa gas menjadi sebab awal kenapa banyak negara masuk ke perang ini. Mengutip ANSA, kantor berita Italia, ada rencana untuk membangun jaringan pipa gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dari Qatar yang tersambung sampai ke Eropa.
Pipa tersebut membentang melalui Arab Saudi, Kuwait, dan Irak. Qatar adalah eksportir LNG terbesar di dunia. Pada 2018, ekspor LNG Qatar mencapai 104,8 miliar meter kubik.
Pipa sudah siap di Turki untuk menerima pasokan gas tersebut. Hanya saja ada penghalang yaitu Assad.
"Pada 2009, Assad menolak proposal dari Qatar karena menjaga kepentingan sekutunya, Rusia," sebut Felix Imonti, pengamat energi, seperti dikutip dari ANSA.
Rusia adalah pemasok gas utama di Benua Biru. Mengutip data Eurostat, sekitar 37% pasokan gas di Uni Eropa datang dari Negeri Beruang Merah.
(sef/sef) Next Article Serang Suriah, Ini Cara Erdogan Rayu Putin
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular