
Termasuk Soal Pesangon, Ini 9 Alasan Buruh Tolak RUU Ciptaker
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
16 February 2020 19:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Para buruh yang terdiri dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sepakat untuk menolak draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) untuk dijadikan undang-undang.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, RUU itu telah menghilangkan prinsip kesejahteraan buruh. Beberapa prinsip tersebut di antaranya tidak adanya jaminan pekerjaan, perlindungan mengenai pendapatan bagi pekerja, dan hilangnya social security atau jaminan sosial.
"Setelah kita pelajari dari draft resmi yang diterima oleh DPR oleh pemerintah, RUU Cipatker itu merugikan kaum buruh. Karena semua isi UU 13 Tahun 2003 yang bersifat perlindungan itu diturunkan, bahkan ada yang hilang. Itu kenapa kami menolak RUU Omnibus Law Ciptaker dijadikan undang-undang," kata Said saat dihubungi CNBC Indonesia, Minggu (16/2/2020).
Lebih lanjut, Ia mengatakan, berdasarkan isi pasal demi pasal RUU Ciptaker tersebut, ada 9 alasan buruh menyuarakan penolakan.
1. Menghilangkan upah minimum
Di dalam Pasal 88 RUU Ciptaker, pemerintah menggunakan terminologi Upah Minimum Provinsi (UMP). Menurut Iqbal, terminologi itu tidak dibutuhkan. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah upah minimum kabupaten-kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten-kota (UMSK).
Seperti diketahui, dalam RUU Omnibus Law Ciptaker akan memberlakukan upah minimum provinsi yang ditetapkan oleh kepala daerah setempat berdasarkan pertumbuhan ekonomi pada tiap provinsi pada tahun tersebut
"Misalnya Jawa Barat UMP-nya Rp 1,8 juta. Sementara UMK di Kabupaten-Kota Bekasi [saat ini] UMK-nya Rp 4 juta dan Kabupaten Karawang UMK-nya Rp 4,5 juta. Berlakunya RUU ini, maka turun upah," jelas Iqbal.
2. Hilangnya Pesangon
Di dalam pasal 56, pemerintah memperbolehkan pekerja kontrak untuk bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan. Tidak ada batasan waktu, sehingga kontrak bisa dilakukan seumur hidup.
"Pekerja tetap akan semakin langka. Dengan demikian juga tidak adanya pesangon, karena pesangon hanya untuk pekerja tetap," kata Iqbal.
Meskipun di dalam RUU Omnibus Law Ciptaker tersebut pemerintah telah memberikan skema uang pemanis atau sweetener bagi para pekerja aktif dengan threshold upah maksimal Rp 20 juta. Menurut Iqbal, buruh tidak membutuhkan itu.
"Kita gak butuh sweetener, yang kita butuhkan adalah pesangon," kata dia melanjutkan.
Dalam RUU Cipatker, uang penghargaan masa kerja juga diturunkan dan penggatian hak juga dihapus.
3. Penggunaan Outsourcing Secara Bebas
Dalam RUU Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menghapus pasal mengenai pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Iqbal mengartikan pemerintah telah memperbolehkan perusahaan dalam penggunaan tenaga kerja rombongan atau outsourcing secara bebas, tanpa batas atau seumur hidup. Ini artinya pemerintah telah melegalkan perdagangan manusia.
Pasalnya pekerja outsourcing merupakan karyawan yang berasal dari agen pekerja. Agen dalam hal ini memperdagangkan tenaga buruh.
"Ini artinya pemerintah melegalkan memperdagangkan manusia dalam tenaga kerja manusia," tuturnya.
4. Pekerja Kontrak Seumur Hidup
Berbeda dengan pekerja outsourcing, pekerja kontrak merupakan pekerja yang langsung dipekerjakan oleh satu perusahaan dengan batas waktu tertentu.
Di dalam RUU Ciptaker, tidak adanya batasan waktu pekerja kontrak, atau bisa diberlakukaan seumur hidup. Ini artinya, membuat pekerja bisa di PHK sewaktu-waktu.
5. Hilangnya Jaminan Sosial
Jaminan Sosial dalam hal ini adalah jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Pekerja kontrak dan outsourcing seumur hidup, sudah pasti jaminan sosial tersebut hilang jaminan penisunnya.
"Kan gak mungkin agen tenaga kerja pensiun, apalagi dengan upah sistem kerja per satuan waktu. Itu gak akan mungkin memasukan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun," kata Iqbal.
6. Pemutusan Hak Kerja (PHK) Tanpa Kesepakatan
Seperti diketahui, dalam Pasal 61 disebutkan, perjanjian kerja berakhir apabila selesainya suatu pekerjaan tertentu. Akibatnya pengusaha bisa gampang melakukan PHK dengan atau efisiensi karena order atau pekerjaannya sudah habis.
Sedangkan bagi pekerja kontrak yang di PHK karena selesainya suatu pekerjaan, padahal masa kontraknya belum berakhir, berpotensi tidak lagi mendapatkan hak sesuai dengan sisa kontraknya.
"PHK jadi mudah. Tidak perlu lagi berunding dengan serikat pekerja," ucapnya.
7. Jam Kerja yang Eksploitatif
Dalam Pasal 77 ayat (2) disebutkan, waktu kerja sebagaimana dimaksud paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Di mana opsi 6 hari kerja dan 7 hari kerja dihapus. Sehingga memungkinkan pengusaha untuk mengatur jam kerja secara fleksibel.
"Sekarang di RUU Omnibus law Ciptaker tidak pakai per harinya berapa jam. Berarti orang bisa bekerja sehari 12 jam atau bahkan 14 jam. Ditambah dalam RUU tersebut lembur boleh 18 jam seminggu. Kelelahan orang pasti kan," jelas Iqbal.
8. Sanksi Pidana Dihapuskan
Dalam RUU Omnibus Law Ciptaker, beberapa pasal mengenai sanksi pidana untuk perusahaan dihapuskan. Salah satunya adalah apabila pengusaha tidak membayarkan upah, maka pengusaha tidak diberikan sanksi apapun, termasuk tindakan pidana.
9. Tenaga Kerja Asing (TKA) yang Dibebaskan Bekerja
Dalam Pasal 42 ayat (3) disebutkan, pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari pemerintah pusat tidak berlaku untuk anggota direksi atau anggota dewan komisaris dengan kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu juga tidak berlaku untuk tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, start-up, kunjungan bisnis dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
Iqbal menilai, tidak ada lagi kewajiban bagi pemberi kerja untuk memiliki izin tertulis untuk mempekerjakan tenaga asing, dapat mengakibatkan TKA bebas masuk ke Indonesia.
(miq/miq) Next Article Kado Tahun Baru Jokowi: 100 Ribu Buruh Demo di 20 Provinsi!
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, RUU itu telah menghilangkan prinsip kesejahteraan buruh. Beberapa prinsip tersebut di antaranya tidak adanya jaminan pekerjaan, perlindungan mengenai pendapatan bagi pekerja, dan hilangnya social security atau jaminan sosial.
"Setelah kita pelajari dari draft resmi yang diterima oleh DPR oleh pemerintah, RUU Cipatker itu merugikan kaum buruh. Karena semua isi UU 13 Tahun 2003 yang bersifat perlindungan itu diturunkan, bahkan ada yang hilang. Itu kenapa kami menolak RUU Omnibus Law Ciptaker dijadikan undang-undang," kata Said saat dihubungi CNBC Indonesia, Minggu (16/2/2020).
1. Menghilangkan upah minimum
Di dalam Pasal 88 RUU Ciptaker, pemerintah menggunakan terminologi Upah Minimum Provinsi (UMP). Menurut Iqbal, terminologi itu tidak dibutuhkan. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah upah minimum kabupaten-kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten-kota (UMSK).
Seperti diketahui, dalam RUU Omnibus Law Ciptaker akan memberlakukan upah minimum provinsi yang ditetapkan oleh kepala daerah setempat berdasarkan pertumbuhan ekonomi pada tiap provinsi pada tahun tersebut
"Misalnya Jawa Barat UMP-nya Rp 1,8 juta. Sementara UMK di Kabupaten-Kota Bekasi [saat ini] UMK-nya Rp 4 juta dan Kabupaten Karawang UMK-nya Rp 4,5 juta. Berlakunya RUU ini, maka turun upah," jelas Iqbal.
2. Hilangnya Pesangon
Di dalam pasal 56, pemerintah memperbolehkan pekerja kontrak untuk bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan. Tidak ada batasan waktu, sehingga kontrak bisa dilakukan seumur hidup.
"Pekerja tetap akan semakin langka. Dengan demikian juga tidak adanya pesangon, karena pesangon hanya untuk pekerja tetap," kata Iqbal.
Meskipun di dalam RUU Omnibus Law Ciptaker tersebut pemerintah telah memberikan skema uang pemanis atau sweetener bagi para pekerja aktif dengan threshold upah maksimal Rp 20 juta. Menurut Iqbal, buruh tidak membutuhkan itu.
"Kita gak butuh sweetener, yang kita butuhkan adalah pesangon," kata dia melanjutkan.
Dalam RUU Cipatker, uang penghargaan masa kerja juga diturunkan dan penggatian hak juga dihapus.
3. Penggunaan Outsourcing Secara Bebas
Dalam RUU Omnibus Law Ciptaker, pemerintah menghapus pasal mengenai pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Iqbal mengartikan pemerintah telah memperbolehkan perusahaan dalam penggunaan tenaga kerja rombongan atau outsourcing secara bebas, tanpa batas atau seumur hidup. Ini artinya pemerintah telah melegalkan perdagangan manusia.
Pasalnya pekerja outsourcing merupakan karyawan yang berasal dari agen pekerja. Agen dalam hal ini memperdagangkan tenaga buruh.
"Ini artinya pemerintah melegalkan memperdagangkan manusia dalam tenaga kerja manusia," tuturnya.
4. Pekerja Kontrak Seumur Hidup
Berbeda dengan pekerja outsourcing, pekerja kontrak merupakan pekerja yang langsung dipekerjakan oleh satu perusahaan dengan batas waktu tertentu.
Di dalam RUU Ciptaker, tidak adanya batasan waktu pekerja kontrak, atau bisa diberlakukaan seumur hidup. Ini artinya, membuat pekerja bisa di PHK sewaktu-waktu.
5. Hilangnya Jaminan Sosial
Jaminan Sosial dalam hal ini adalah jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Pekerja kontrak dan outsourcing seumur hidup, sudah pasti jaminan sosial tersebut hilang jaminan penisunnya.
"Kan gak mungkin agen tenaga kerja pensiun, apalagi dengan upah sistem kerja per satuan waktu. Itu gak akan mungkin memasukan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun," kata Iqbal.
6. Pemutusan Hak Kerja (PHK) Tanpa Kesepakatan
Seperti diketahui, dalam Pasal 61 disebutkan, perjanjian kerja berakhir apabila selesainya suatu pekerjaan tertentu. Akibatnya pengusaha bisa gampang melakukan PHK dengan atau efisiensi karena order atau pekerjaannya sudah habis.
Sedangkan bagi pekerja kontrak yang di PHK karena selesainya suatu pekerjaan, padahal masa kontraknya belum berakhir, berpotensi tidak lagi mendapatkan hak sesuai dengan sisa kontraknya.
"PHK jadi mudah. Tidak perlu lagi berunding dengan serikat pekerja," ucapnya.
7. Jam Kerja yang Eksploitatif
Dalam Pasal 77 ayat (2) disebutkan, waktu kerja sebagaimana dimaksud paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Di mana opsi 6 hari kerja dan 7 hari kerja dihapus. Sehingga memungkinkan pengusaha untuk mengatur jam kerja secara fleksibel.
"Sekarang di RUU Omnibus law Ciptaker tidak pakai per harinya berapa jam. Berarti orang bisa bekerja sehari 12 jam atau bahkan 14 jam. Ditambah dalam RUU tersebut lembur boleh 18 jam seminggu. Kelelahan orang pasti kan," jelas Iqbal.
8. Sanksi Pidana Dihapuskan
Dalam RUU Omnibus Law Ciptaker, beberapa pasal mengenai sanksi pidana untuk perusahaan dihapuskan. Salah satunya adalah apabila pengusaha tidak membayarkan upah, maka pengusaha tidak diberikan sanksi apapun, termasuk tindakan pidana.
9. Tenaga Kerja Asing (TKA) yang Dibebaskan Bekerja
Dalam Pasal 42 ayat (3) disebutkan, pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari pemerintah pusat tidak berlaku untuk anggota direksi atau anggota dewan komisaris dengan kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu juga tidak berlaku untuk tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, start-up, kunjungan bisnis dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
Iqbal menilai, tidak ada lagi kewajiban bagi pemberi kerja untuk memiliki izin tertulis untuk mempekerjakan tenaga asing, dapat mengakibatkan TKA bebas masuk ke Indonesia.
(miq/miq) Next Article Kado Tahun Baru Jokowi: 100 Ribu Buruh Demo di 20 Provinsi!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular