
Industri Baja SOS, Impor Besi Rongsokan Dibuka Lebar
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
12 February 2020 18:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang mengatakan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah setuju untuk melonggarkan kebijakan impor limbah besi dan baja atau scrap dan slab. Hal ini untuk menopang bahan baku industri baja yang kini sedang sekarang karena serbuan impor karena sulit berdaya saing.
"Dalam ratas (rapat terbatas di Istana Negara) sudah diputuskan akan ada kebijakan relaksasi mengenai impor bahan baku scrap logam. Ini bagian untuk wujudkan circular ekonomi. Ini yang tadi dibahas dalam ratas khusus dalam industri baja dan terkait dengan industri baja," kata Agus dalam konferensi pers di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Agus mengatakan selama ini Indonesia mengategorikan slab sebagai limbah berbahaya yang masuk kategori Bahan Beracun Berbahaya (B3). Padahal di luar negeri, seperti di Amerika Serikat dan Jepang, limbah seperti ini masih dikelola dan dijadikan produk yang memiliki nilai tambah. Agus menyebut Indonesia merupakan satu dari hanya dua negara yang mengkategorikan limbah sejenis itu sebagai limbah berbahaya (hazardous).
Ia mengatakan potensi slab saat ini sebesar 2,2 juta ton per tahun dari 44 perusahaan di seluruh Indonesia. Ia menjelaskan, apabila itu bisa dikelola dengan baik, maka sektor industri Indonesia, bahkan pemerintah Indonesia bisa diuntungkan dengan memproduksi billet dari scrap dan slab.
"Scrap itu bahan baku untuk billet (bola besi untuk bahan baku baja). Fakta yang ada di lapangan mengatakan bahwa harga-harga billet yang diimpor itu harganya lebih mahal 100 dolar per ton dibandingkan harga billet yang diproduksi di dalam negeri, yang salah satu komponennya itu bahan baku scrap impor," kata Agus.
Hal ini lah yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan melakukan relaksasi impor scrap dan slab tujuannya untuk mendukung daya saing industri baja hulu, agar mendapatkan bahan baku yang berdaya saing.
"Perbedaan harga billet impor lebih mahal, tapi dalam negeri kesulitan karena bahan baku scrap-nya belum direlaksasi (kemudahan impor). Kalau asumsi 4 juta ton billet, yang dibutuhkan industri dalam negeri dengan selisih harga 100 dolar per ton maka defisit perdagangan hanya dari jenis billet itu 400 juta dolar per tahun," katanya.
"Terserah kita mau lihat dari mana, defisit 400 juta dolar per tahun atau opportunity loss dari industri. Bagi saya dua-duanya. Maka saya sampaikan impor jangan selalu dilihat dari kacamata negatif," jelasnya.
(hoi/hoi) Next Article Karat Industri Baja RI
"Dalam ratas (rapat terbatas di Istana Negara) sudah diputuskan akan ada kebijakan relaksasi mengenai impor bahan baku scrap logam. Ini bagian untuk wujudkan circular ekonomi. Ini yang tadi dibahas dalam ratas khusus dalam industri baja dan terkait dengan industri baja," kata Agus dalam konferensi pers di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Agus mengatakan selama ini Indonesia mengategorikan slab sebagai limbah berbahaya yang masuk kategori Bahan Beracun Berbahaya (B3). Padahal di luar negeri, seperti di Amerika Serikat dan Jepang, limbah seperti ini masih dikelola dan dijadikan produk yang memiliki nilai tambah. Agus menyebut Indonesia merupakan satu dari hanya dua negara yang mengkategorikan limbah sejenis itu sebagai limbah berbahaya (hazardous).
Ia mengatakan potensi slab saat ini sebesar 2,2 juta ton per tahun dari 44 perusahaan di seluruh Indonesia. Ia menjelaskan, apabila itu bisa dikelola dengan baik, maka sektor industri Indonesia, bahkan pemerintah Indonesia bisa diuntungkan dengan memproduksi billet dari scrap dan slab.
"Scrap itu bahan baku untuk billet (bola besi untuk bahan baku baja). Fakta yang ada di lapangan mengatakan bahwa harga-harga billet yang diimpor itu harganya lebih mahal 100 dolar per ton dibandingkan harga billet yang diproduksi di dalam negeri, yang salah satu komponennya itu bahan baku scrap impor," kata Agus.
Hal ini lah yang mendorong pemerintah mengambil kebijakan melakukan relaksasi impor scrap dan slab tujuannya untuk mendukung daya saing industri baja hulu, agar mendapatkan bahan baku yang berdaya saing.
"Perbedaan harga billet impor lebih mahal, tapi dalam negeri kesulitan karena bahan baku scrap-nya belum direlaksasi (kemudahan impor). Kalau asumsi 4 juta ton billet, yang dibutuhkan industri dalam negeri dengan selisih harga 100 dolar per ton maka defisit perdagangan hanya dari jenis billet itu 400 juta dolar per tahun," katanya.
"Terserah kita mau lihat dari mana, defisit 400 juta dolar per tahun atau opportunity loss dari industri. Bagi saya dua-duanya. Maka saya sampaikan impor jangan selalu dilihat dari kacamata negatif," jelasnya.
(hoi/hoi) Next Article Karat Industri Baja RI
Most Popular