
Pak Jokowi, Batu Bara Bisa Bantu Target Energi Hijau RI Lho!

Untuk mendorong transformasi industri batu bara, diperlukan kemauan politik pemerintah dan kepastian usaha bagi pelaku industri. Bicara kepastian usaha, saat ini ada tujuh perusahaan tambang generasi pertama pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B) yang akan segera habis masa berlakunya.
Pasca penerbitan UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, seluruh penambang batu bara harus mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) melalui proses renegosiasi.
Perusahaan pemeringkat Fitch Ratings mencatat ketujuh raksasa batu bara tersebut memiliki total produksi tahunan mencapai 175 juta ton, atau setara dengan 30% produksi domestik. Bumi adalah salah satunya. Sejauh ini, perseroan baru menjalankan studi kelayakan (feasibility study) untuk proyek hilirisasi tersebut.
Direktur Bumi Resources Dileep Srivastava mengatakan proses FS masih berjalan. Proyek tersebut bakal melibatkan investasi tak sedikit, antara US$1 miliar dan US$ 2 miliar. Jika disetujui pemegang saham, proyek gasifikasi Bumi bakal tuntas waktu dua atau tiga tahun.
"Bumi telah memulai feasibility study proyek gasifikasi yang diharapkan selesai tahun ini. Setelah itu, manajemen akan mempresentasikan proposal kepada dewan direksi (termasuk CIC & CDB) dan menunggu arahan untuk langkah selanjutnya," tuturnya kepada CNBC Indonesia.
Tatkala pelaku bisnis sudah berinisiasi menggarap proyek masa depan ini, pemerintah pun perlu memainkan perannya untuk mendukung itu. Jika mengacu pada poin ease of doing business yang menjadi tolak ukur investor memulai aktivitas bisnis dan investasi, maka pemerintah bisa membantu kelancaran proyek gasifikasi dengan ‘menghormati kontrak’.
![]() |
Untuk BUMN seperti PTBA, tidak ada isu dengan kontrak sehingga mereka leluasa memasukkan proyek gasifikasi dalam rencana kerja jangka panjang 5 hingga 10 tahun ke depan. Namun bagamana dengan perusahaan swasta seperti Bumi Resources, yang saat ini menghadapi risiko terkait kepastian usaha?
Percuma jika FS selesai dan tiang pancang dijalankan jika tidak ada kepastian mengenai besaran lahan konsesi yang digarap, mengingat pabrik gasifikasi bakal membutuhkan pasokan tambahan batu bara, dengan tidak mengganggu produksi konvensional untuk memasok pasar batu bara domestik lokal dan global untuk listrik.
Dalam ketentuan izin yang baru, jangka waktu lisensi eksplorasi menjadi lebih pendek dengan batas lahan konsesi yang lebih kecil. Hal ini tentu menjadi kabar buruk bagi pengusaha batu bara yang ingin berinvestasi lebih besar untuk menggarap hilirisasi batu bara karena berpeluang membuat pasokan batu bara mereka menjadi terkepras.
Tentu saja kita berharap bahwa faktor alih izin PKP2B tidak mengecilkan upaya perusahaan batu bara seperti Bumi dan Bukit Asam untuk mengembangkan gas pengganti impor elpiji. Secara bersamaan, pemerintah tentu tak ingin program gasifikasi mengganggu pendapatan royalti dan penerimaan pajak dari penjualan batu bara secara konvensinal.
Harap dicatat, nilai ekspor batu bara pada tahun lalu saja mencapai US$ 24 miliar, naik dari capaian tahun 2017 (sebesar US$ 21 miliar) dan tahun 2016 (US$ 15 miliar). Disrupsi ekspor dalam situasi ekonomi global seperti sekarang, tentunya bukan hal yang bijak.
Semoga saja Omnibus Law yang mengatur perpanjangan operasi PKP2B bisa mengubah Indonesia tidak hanya menjadi eksportir terbesar batu bara di Kawasan Asia, melainkan juga produsen syngas ramah lingkungan yang terbesar di dunia!
TIM RISET CNBC INDONESIA (ags/ags)