Jokowi Mau Gas Murah di Hilir, Tapi Hulu Bisa Berisiko Nih..

RCI, CNBC Indonesia
05 February 2020 15:35
Jokowi Mau Gas Murah di Hilir, Tapi Hulu Bisa Berisiko Nih..
Foto: Pemerintah Tandatangani 3 WK Migas Baru (CNBC Indonesia TV)
Jakarta, CNBC Indonesia- Harga gas industri sedang dinanti-nanti penyesuaiannya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan agar harga gas industri bisa ditekan ke angka US$ 6 per MMBTU pada April 2020.

Soal harga gas ini memang sudah diteriakkan oleh industri, terutama industri keramik, sejak beberapa tahun lalu. Sebenarnya, pemerintah juga bukan diam saja mendengar protes para pelaku industri ini. Beberapa aturan sudah dikeluarkan dan kebijakan pun sudah dijalankan.

Mulai dari pemberantasan trader gas di sektor midstream dan downstream atau hilir, sampai renegosiasi harga gas di sektor hulu.

Mengutip paparan Kementerian ESDM, sampai saat ini porsi paling besar dari harga gas masih dari sektor hulu.



Porsi paling besar memang berada di komponen hulu, di mana harga sudah mencapai kisaran US$ 3,4 sampai US$ 8,24 per MMBTU. ESDM bukannya tidak berusaha untuk tekan harga gas di hulu, sebab pihaknya juga sudah terbitkan Permen Nomor 6 Tahun 2016 yang mengatur alokasi dan pemanfaatan serta harga gas oleh Menteri ESDM.

Dalam permen tersebut, juga ditegaskan pasokan gas diprioritaskan untuk domestik.

Sementara untuk biaya lainnya adalah:
- Biaya transmisi US$ 0,02 sampai US$ 1,55 per MMBTU
- Biaya distribusi US$ 0,2 sampai US$ 2 per MMBTU
- Biaya Niaga US$ 0,24 sampai 0,58 per MMBTU

Lantas, apa yang membuat harga gas di hulu cukup besar?

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan secara rata-rata harga gas di sisi hulu sekitar US$ 5,4 per mmbtu, namun bisa juga bervariasi. Sementara untuk harga gas dari blok offshore atau lepas pantai bisa lebih tinggi dari nilai tersebut.

"Tetapi dalam perjalanannya sampai di industri kalau langsung ke KKKS bisa US$ 6-7 per mmbtu, tapi yang lewat trading bisa US$ 8-9 per mmbtu porsi ini yang harus dibuka," kata Dwi, Kamis (09/01/2020).

Sementara untuk pipa gas ke Singapura pun menurut Dwi harganya cukup tinggi, sekitar US$ 10 per mmbtu. "Ini harus dilihat blok per blok, posisi keekonomian kalau di upstream kan selalu di audit BPK," katanya.

Menurutnya dari sisi hulu, untuk sumber gas yang mulai dari proses survei, bor, eksplorasi, dan investasi butuh biaya sangat besar harganya bisa sekitar US$ 5 per mmbtu, ini nanti masih perlu proses untuk sampai dikonsumsi industri. Dari sisi hulu, juga perlu dilihat nilai keekonomian harga gas untuk wilayah masing-masing blok agar tetap menarik bagi investor.

Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas, Arief Setiawan Handoko, mengatakan untuk menurunkan harga gas menurut SKK Migas harus diketahui komponen harga gas sampai di end user, seperti harga hulu, transportasi, toll fee, hingga margin di midstream user. Investasi hulu sangat besar, harapan SKK migas jika ada margin jangan sampai kalah dengan yang midstream.

"Kalau memang ada harga baru maka kita akan coba efisiensi, sebisa mungkin untuk memenuhi itu," katanya



[Gambas:Video CNBC]



Selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, industri gas bumi di Indonesia bisa dibilang tidak begitu dilirik pemerintah. Permasalahan pun bermacam-macam, mulai dari kontrak yang beragam antara KKKS (Kontraktor-kontrak Kerja Sama) dengan pembeli gas, infrastruktur yang belum terbangun atau terbangun tapi tidak terkoneksi dan terintegrasi, sampai hadirnya trader yang bikin harga bertumpuk.

Baru belakangan, pemerintah terbitkan regulasi dan mengotak-atik skema untuk membenahi tata kelola gas bumi. Hasilnya, tentu saja masih perlu menunggu waktu tak bisa cepat seperti tahu bulat yang digoreng dadakan.

Wakil Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin, menyebut salah satu biang kerok mahalnya harga gas industri adalah harga yang terlalu tinggi di sektor hulu.

"Harga bahan baku gas di hulunya kita tinggi, jadi bahkan sebelum sampai ke PGN sudah di atas US$ 5 (per MMBTU), rata-rata US$ 5-7," kata Budi di kantor Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Senin (6/1/20).



Melihat tingginya harga gas di hulu juga tidak bisa dipukul rata. Perlu dilihat lagi di balik tingginya harga gas tersebut, misal soal tantangan pengembangan di lapangan. Harga gas yang diambil dari lepas pantai dan laut dalam, tentu beda dengan yang ada di daratan.

Kontraktor, rata-rata butuh kepastian pembeli jangka panjang 5 sampai 20 tahun. Sementara, Indonesia kerap tidak bisa memberi jaminan penyerapan gas ini.

Ini pernah diungkap oleh mantan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, pada 2018 lalu, saat polemik harga gas industri mencuat.

"Kita tidak bisa pastikan demand dalam 7 tahun, siapa yang bisa pastikan deman dalam 20 tahun. Persoalan di kementerian, kami komitmen untuk deliver 100 MMSCFD (juta standar kaki kubik per hari) 2018, yang terjadi off taker tidak ada," kata Arcandra saat memberi sambutan di acara The 7th International Indonesia Gas Infrastructure Conference & Exhibition IndoPIPE 2018, di Hotel Pullman, Selasa (25/9/2018).

Dampaknya, ia melanjutkan, beralih ke mekanisme take or pay. Lalu, ketidakpastian permintaan ini dirusak lagi dengan kontrak yang tidak jelas. Yakni, menggunakan kata "dapat" yang bisa diartikan iya atau tidak, terutama terkait harga gas.

Ketidakpastian di sektor hulu inilah yang perlu dibenahi oleh pemerintahan Jokowi, sebelum obrak-abrik harga gas industri di sisi hilir.

Perlu dicatat, berdasar RUEN, kebutuhan atas gas pada 2025 sebesar 9.200 MMSCFD. Bila Proyek Strategis Nasional (PSN) kategori migas yaitu Blok Masela, Indonesia Deep Water (IDD), Jambaran Tiung Biru, Jangkrik, dan Tangguh Train 3 telah rampung, produksi gas diyakini akan melebihi jumlah tersebut. Ini perlu segera disiati agar bisa terserap.

Tambahan lainnya, pemerintah juga harus mengingat bahwa harga gas di hulu sangat berfluktuasi mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Sehingga langkah awal yang perlu dilakukan adalah review harga kontrak gas yang ada saat ini dan rencana ke depan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular