
Jokowi Mau Gas Murah di Hilir, Tapi Hulu Bisa Berisiko Nih..
RCI, CNBC Indonesia
05 February 2020 15:35

Selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, industri gas bumi di Indonesia bisa dibilang tidak begitu dilirik pemerintah. Permasalahan pun bermacam-macam, mulai dari kontrak yang beragam antara KKKS (Kontraktor-kontrak Kerja Sama) dengan pembeli gas, infrastruktur yang belum terbangun atau terbangun tapi tidak terkoneksi dan terintegrasi, sampai hadirnya trader yang bikin harga bertumpuk.
Baru belakangan, pemerintah terbitkan regulasi dan mengotak-atik skema untuk membenahi tata kelola gas bumi. Hasilnya, tentu saja masih perlu menunggu waktu tak bisa cepat seperti tahu bulat yang digoreng dadakan.
Wakil Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin, menyebut salah satu biang kerok mahalnya harga gas industri adalah harga yang terlalu tinggi di sektor hulu.
"Harga bahan baku gas di hulunya kita tinggi, jadi bahkan sebelum sampai ke PGN sudah di atas US$ 5 (per MMBTU), rata-rata US$ 5-7," kata Budi di kantor Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Senin (6/1/20).
Melihat tingginya harga gas di hulu juga tidak bisa dipukul rata. Perlu dilihat lagi di balik tingginya harga gas tersebut, misal soal tantangan pengembangan di lapangan. Harga gas yang diambil dari lepas pantai dan laut dalam, tentu beda dengan yang ada di daratan.
Kontraktor, rata-rata butuh kepastian pembeli jangka panjang 5 sampai 20 tahun. Sementara, Indonesia kerap tidak bisa memberi jaminan penyerapan gas ini.
Ini pernah diungkap oleh mantan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, pada 2018 lalu, saat polemik harga gas industri mencuat.
"Kita tidak bisa pastikan demand dalam 7 tahun, siapa yang bisa pastikan deman dalam 20 tahun. Persoalan di kementerian, kami komitmen untuk deliver 100 MMSCFD (juta standar kaki kubik per hari) 2018, yang terjadi off taker tidak ada," kata Arcandra saat memberi sambutan di acara The 7th International Indonesia Gas Infrastructure Conference & Exhibition IndoPIPE 2018, di Hotel Pullman, Selasa (25/9/2018).
Dampaknya, ia melanjutkan, beralih ke mekanisme take or pay. Lalu, ketidakpastian permintaan ini dirusak lagi dengan kontrak yang tidak jelas. Yakni, menggunakan kata "dapat" yang bisa diartikan iya atau tidak, terutama terkait harga gas.
Ketidakpastian di sektor hulu inilah yang perlu dibenahi oleh pemerintahan Jokowi, sebelum obrak-abrik harga gas industri di sisi hilir.
Perlu dicatat, berdasar RUEN, kebutuhan atas gas pada 2025 sebesar 9.200 MMSCFD. Bila Proyek Strategis Nasional (PSN) kategori migas yaitu Blok Masela, Indonesia Deep Water (IDD), Jambaran Tiung Biru, Jangkrik, dan Tangguh Train 3 telah rampung, produksi gas diyakini akan melebihi jumlah tersebut. Ini perlu segera disiati agar bisa terserap.
Tambahan lainnya, pemerintah juga harus mengingat bahwa harga gas di hulu sangat berfluktuasi mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Sehingga langkah awal yang perlu dilakukan adalah review harga kontrak gas yang ada saat ini dan rencana ke depan.
(gus/gus)
Baru belakangan, pemerintah terbitkan regulasi dan mengotak-atik skema untuk membenahi tata kelola gas bumi. Hasilnya, tentu saja masih perlu menunggu waktu tak bisa cepat seperti tahu bulat yang digoreng dadakan.
Wakil Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin, menyebut salah satu biang kerok mahalnya harga gas industri adalah harga yang terlalu tinggi di sektor hulu.
Melihat tingginya harga gas di hulu juga tidak bisa dipukul rata. Perlu dilihat lagi di balik tingginya harga gas tersebut, misal soal tantangan pengembangan di lapangan. Harga gas yang diambil dari lepas pantai dan laut dalam, tentu beda dengan yang ada di daratan.
Kontraktor, rata-rata butuh kepastian pembeli jangka panjang 5 sampai 20 tahun. Sementara, Indonesia kerap tidak bisa memberi jaminan penyerapan gas ini.
Ini pernah diungkap oleh mantan Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar, pada 2018 lalu, saat polemik harga gas industri mencuat.
"Kita tidak bisa pastikan demand dalam 7 tahun, siapa yang bisa pastikan deman dalam 20 tahun. Persoalan di kementerian, kami komitmen untuk deliver 100 MMSCFD (juta standar kaki kubik per hari) 2018, yang terjadi off taker tidak ada," kata Arcandra saat memberi sambutan di acara The 7th International Indonesia Gas Infrastructure Conference & Exhibition IndoPIPE 2018, di Hotel Pullman, Selasa (25/9/2018).
Dampaknya, ia melanjutkan, beralih ke mekanisme take or pay. Lalu, ketidakpastian permintaan ini dirusak lagi dengan kontrak yang tidak jelas. Yakni, menggunakan kata "dapat" yang bisa diartikan iya atau tidak, terutama terkait harga gas.
Ketidakpastian di sektor hulu inilah yang perlu dibenahi oleh pemerintahan Jokowi, sebelum obrak-abrik harga gas industri di sisi hilir.
Perlu dicatat, berdasar RUEN, kebutuhan atas gas pada 2025 sebesar 9.200 MMSCFD. Bila Proyek Strategis Nasional (PSN) kategori migas yaitu Blok Masela, Indonesia Deep Water (IDD), Jambaran Tiung Biru, Jangkrik, dan Tangguh Train 3 telah rampung, produksi gas diyakini akan melebihi jumlah tersebut. Ini perlu segera disiati agar bisa terserap.
Tambahan lainnya, pemerintah juga harus mengingat bahwa harga gas di hulu sangat berfluktuasi mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Sehingga langkah awal yang perlu dilakukan adalah review harga kontrak gas yang ada saat ini dan rencana ke depan.
Pages
Most Popular