Polling CNBC Indonesia

Pertumbuhan Ekonomi 2019 Diramal 5,04%, Kecewa atau Bangga?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 February 2020 06:30
Pertumbuhan Ekonomi 2019 Diramal 5,04%, Kecewa atau Bangga?
Ilustrasi Aktivitas di Pelabuhan (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 diperkirakan melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Mau bagaimana lagi, kondisi 2019 memang tidak mudah.

Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 esok hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan terkontraksi alias tumbuh negatif 1,67% secara kuartalan.


Secara tahunan atau year-on-year (YoY), pertumbuhan ekonomi Oktober-Desember 2019 diperkirakan 5,04%. Ini membuat pertumbuhan ekonomi 2019 secara keseluruhan adalah 5,035%. Dengan pembulatan menjadi dua desimal di belakang, maka boleh dibilang angkanya adalah 5,04%.

Institusi

Pertumbuhan Ekonomi Q IV-2019 (%QtQ)

Pertumbuhan Ekonomi Q IV-2019 (%YoY)

Pertumbuhan Ekonomi 2019 (%YoY)

Pertumbuhan Ekonomi 2020 (%YoY)

Bank Danamon

-1.66

5.05

5.05

4.95

Bank Permata

-1.72

4.99

5.03

-

ING

-

5.1

-

-

BCA

-1.61

5.1

5.06

-

Maybank Indonesia

-1.71

5

5.03

-

BNI Sekuritas

-1.63

5.08

5.05

5.16

Standard Chartered

-1.67

5.04

5.04

-

ANZ

-

5.04

5

5

Danareksa Research Institute

-1.72

4.98

5.03

5.13

MEDIAN

-1.67

5.04

5.035

5.065


Baca: Hitungan Sri Mulyani: Ekonomi RI 2019 Tumbuh 5,05%

Jika realisasinya sesuai dengan ekspektasi, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia resmi melambat. Pada 2018, ekonomi Tanah Air masih tumbuh 5,175. Kalau betul pertumbuhan ekonomi 2019 adalah 5,035%, maka akan menjadi laju terlemah sejak 2016.





[Gambas:Video CNBC]



Meski melambat, sepertinya konsumsi rumah tangga masih mampu menopang pertumbuhan ekonomi tidak sampai di bawah 5%. Kala konsumsi masih tegak berdiri, maka ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh karena kelompok ini menyumbang hampir 60% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun harus diakui bahwa konsumsi memang melambat, kemungkinan sulit untuk tumbuh 5,05% seperti 2018. Sebab, konsumsi terkena dampak ikutan (spill-over effect) dari masalah yang dialami ekspor dan investasi.

Sepanjang 2019, BPS mencatat ekspor terkontraksi 6,94% YoY. Jauh melambat ketimbang 2018 yang mampu tumbuh 6,65% YoY. Penyebabnya apa lagi kalau bukan perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China.

Kedua negara ini memang sudah rujuk dan menandatangani kesepakatan damai dagang Fase I, tetapi itu baru terjadi awal tahun ini. Sepanjang tahun lalu, perang dagang berkecamuk dengan hebat. AS dan China saling hambat perdagangan dengan mengenakan berbagai bea masuk. Total AS mengenakan bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 360 miliar dan China membalas dengan membebankan bea masuk kepada produk made in the USA senilai lebih dari US$ 110 miliar.

Baca: Ini Poin-poin Damai Dagang dengan China Versi AS

Walau yang 'bertempur' adalah AS dan China, tetapi dunia merasakan getahnya. Globalisasi membuat perekonomian dunia saling terhubung, apa yang terjadi di suatu negara bakal mempengaruhi yang lainnya.

Saat produk China sulit masuk ke AS gara-gara tingginya bea masuk, demikian pula sebaliknya produk AS sulit menembus pasar China, maka dunia usaha kedua negara akan mengurangi produksi. Terlihat bahwa pertumbuhan produksi industri di China dan AS sama-sama melambat, bahkan AS sudah masuk ke zona negatif.



Ketika produktivitas di AS dan China menurun, otomatis permintaan bahan baku dan barang modal dari negara-negara lain ikut seret. Padahal AS dan China adalah kekuatan ekonomi terbesar di dunia, pasar terbesar di kolong langit. Semua negara menjual barang kepada mereka.

Permintaan AS dan China yang turun membuat arus perdagangan global nyaris lumpuh. Rantai pasok global yang terhambat membuat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada Oktober tahun lalu memperkirakan pertumbuhan perdagangan dunia hanya 1,2% pada 2019. Jauh melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni 2,6%.

"Pembatasan perdagangan yang tinggi telah melukai pasar tenaga kerja, penciptaan lapangan kerja, dan daya beli rumah tangga. Sepanjang 2019, terdapat 102 kebijakan perdagangan yang bersifat restriktif. Beberapa sektor yang terkena larangan impor adalah mineral dan minyak, mesin, peralatan listrik, serta logam mulia. Nilainya mencapai US$ 746,9 miliar," papar laporan WTO.



Jadi tidak heran kalau ekspor sulit diandalkan menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Gara-gara ekspor bermasalah, investasi pun ikut-ikutan nyungsep. Seperti yang disebut oleh WTO, pembatasan ekspor membuat investasi dan penciptaan lapangan kerja menjadi terbatas.

Ekspansi dunia usaha biasanya digambarkan oleh Purchasing Managers' Indekx (PMI). Ambang batas PMI adalah 50, kalau di bawah 50 berarti dunia usaha tidak melakukan ekspansi. Masalahnya, sejak Juli 2019 hingga Januari 2020, PMI manufaktur Indonesia selalu di bawah 50.




Pada Januari 2020, IHS Markit melaporkan PMI manufaktur Indonesia berada di 49,3. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 49,5.

"Perlambatan manufaktur Indonesia masih berlanjut pada awal tahun. Permintaan yang lemah membuat penjualan menurun, kemudian menyebabkan kapasitas produksi menjadi tidak optimal. Akibatnya, dunia usaha terbeban untuk merekrut karyawan baru. Penurunan penjualan membuat dunia usaha menahan pembelian bahan baku dan menumpuk stok. Dunia usaha terpaksa makan dari pemesanan sebelumnya untuk mempertahankan produksi," jelas Bernard Aw, Principal Economist IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.

Well, itu kabar buruknya. Harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pernah mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi potensial Indonesia semestinya bisa mencapai 5,6-6%. Hingga 2019, Indonesia belum sampai ke sana.

Baca: BI Ramal Pertumbuhan Ekonomi 2018 di 5,2%

Namun di tengah kabar duka itu masih ada hal positif yang bisa dilihat. Pertumbuhan ekonomi 2019 yang diperkirakan 5,04% masih menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Di antara negara-negara anggota G20, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di urutan kedua, hanya kalah dari China.



Masalah yang dihadapi negara-negara lain pun sama, ekspor loyo akibat perang dagang. Indonesia beruntung karena memiliki permintaan domestik yang kuat sehingga bisa membantu pertumbuhan ekonomi tetap di kisaran 5%.

Baca: Bahaya, Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa di Bawah 5% Gegara Corona

Jadi, kinerja perekonomian pada 2019 bisa dibilang mixed. Di satu sisi agak mengecewakan karena terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Walau penyebabnya lebih didominasi oleh faktor eksternal di luar kendali pembuat kebijakan di dalam negeri.

Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi mepet 5% ternyata tidak jelek-jelek amat. Apalagi kalau melihat kontraksi yang dialami oleh beberapa negara G20.

Apakah kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia mengecewakan atau memuaskan? Setiap orang berhak atas opininya masing-masing...



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular