
Kritikan Keras Faisal Basri: Omnibus Law Sesat Pikir!
Redaksi CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
20 January 2020 14:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior INDEF Faisal Basri memberikan kritik keras soal rencana penerapan omnibus law cipta lapangan kerja yang bertujuan memudahkan investasi.
Faisal menuturkan, kehadiran omnibus law ini didorong oleh keluhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengeluhkan loyonya investasi sebagai biang kerok pertumbuhan ekonomi yang tak beringsut dari 5%.
"Presiden memandang investasi jeblok. Masih menurut Presiden, kebijakan selama ini belum ada yang 'nendang'. Presiden juga mengeluhkan tak ada satu pun perusahaan yang merelokasikan pabriknya dari China ke Indonesia sebagai imbas dari perang dagang Amerika Serikat dengan China," tulis Faisal Basri di situs miliknya, Senin (20/1/2020).
Tapi, sebenarnya kinerja investasi Indonesia tidak buruk-buruk amat. Pertumbuhan investasi yang diukur dengan pembentukan modal, kata Faisal, tetap bruto dalam lima tahun terakhir masih di atas pertumbuhan PDB.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara, pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi ketimbang Malaysia, Afrika Selatan, dan Brazil. Dua negara terakhir tergabung dalam kelompok BRICS (Brazil, Russian Federation, India, China, dan South Africa).
"Dibandingkan dengan China sekalipun, pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi," jelasnya.
Di level ASEAN, sumbangan investasi dalam PDB juga tak ada yang mengalahkan Indonesia, Singapura dan Vietnam sekalipun.
Oleh sebab itu, Faisal heran bagian dari investasi mananya yang jadi alasan Jokowi untuk dorong omnibus law ini. "Jika omnibus law bertujuan untuk menggenjot investasi agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, boleh jadi jauh api dari panggang."
Belum lagi, Faisal juga mengingatkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi sebelumnya yang justru terkesan 'mengusir' investor raksasa. Misalnya saham Freeport diambil alih BUMN (PT Inalum), Blok Mahakam dan Blok Rokan diambil alih PT Pertamina, Holcim juga diambil alih oleh BUMN (PT Semen Indonesia).
Indonesia, lanjutnya, juga masuk dalam top-20 penerima investasi langsung asing (foreign direct investment). Bahkan, peringkat Indonesia naik dari posisi ke-18 (2017) menjadi ke-16 (2018). Pada 2018, posisi Indonesia dua peringkat di atas Vietnam.
Belum lagi derasnya investasi dari China yang banjir ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Faisal, tantangan terbesar negeri ini justru soal peningkatan kualitas investasi. "Selama ini kebanyakan investasi dalam bentuk bangunan. Investasi dalam bentuk mesin dan peralatan hanya sekitar 10 persen," jelasnya.
Kondisi ini berbeda jauh dengan negara emerging market lainnya yang investasi mesin dan peralatannya jauh lebih tinggi.
"Investasi akan seret jika pemanfaatan kapasitas produksi masih rendah. Ketika pemanfaatan kapasitas terpasang di atas 90 persen, tak usah didorong-dorong pun investasi akan dilakukan oleh dunia usaha," kata dia.
Satu lagi yang perlu diperbaiki adalah konsolidasi perbankan, yang menurutnya juga jadi salah satu penyumbat pembuluh darah masuknya investasi.
"Perbankan dan lembaga keuangan lainnya berfungsi sebagai jantung bagi perekonomian. Bagaimana perekonomian hendak berlari lebih cepat jika detak jantung lemah," jelasnya.
Ini, kata dia, mesti digenjot dan diperbaiki. "Jangan lagi terjadi dana puluhan triliun rupiah yang dihimpun dari darah dan keringat rakyat diinvestasikan di perusahaan-perusahaan yang tidak punya reputasi baik, yang digelayuti oleh para elit penguasa seperti terjadi pada kasus Jiwasraya dan Asabri."
(gus) Next Article Faisal Basri Sebut 6 Menteri dengan 'Dosa' Terbanyak
Faisal menuturkan, kehadiran omnibus law ini didorong oleh keluhan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengeluhkan loyonya investasi sebagai biang kerok pertumbuhan ekonomi yang tak beringsut dari 5%.
"Presiden memandang investasi jeblok. Masih menurut Presiden, kebijakan selama ini belum ada yang 'nendang'. Presiden juga mengeluhkan tak ada satu pun perusahaan yang merelokasikan pabriknya dari China ke Indonesia sebagai imbas dari perang dagang Amerika Serikat dengan China," tulis Faisal Basri di situs miliknya, Senin (20/1/2020).
Jika dibandingkan dengan beberapa negara, pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi ketimbang Malaysia, Afrika Selatan, dan Brazil. Dua negara terakhir tergabung dalam kelompok BRICS (Brazil, Russian Federation, India, China, dan South Africa).
"Dibandingkan dengan China sekalipun, pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi," jelasnya.
Di level ASEAN, sumbangan investasi dalam PDB juga tak ada yang mengalahkan Indonesia, Singapura dan Vietnam sekalipun.
Oleh sebab itu, Faisal heran bagian dari investasi mananya yang jadi alasan Jokowi untuk dorong omnibus law ini. "Jika omnibus law bertujuan untuk menggenjot investasi agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, boleh jadi jauh api dari panggang."
Belum lagi, Faisal juga mengingatkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi sebelumnya yang justru terkesan 'mengusir' investor raksasa. Misalnya saham Freeport diambil alih BUMN (PT Inalum), Blok Mahakam dan Blok Rokan diambil alih PT Pertamina, Holcim juga diambil alih oleh BUMN (PT Semen Indonesia).
Indonesia, lanjutnya, juga masuk dalam top-20 penerima investasi langsung asing (foreign direct investment). Bahkan, peringkat Indonesia naik dari posisi ke-18 (2017) menjadi ke-16 (2018). Pada 2018, posisi Indonesia dua peringkat di atas Vietnam.
Belum lagi derasnya investasi dari China yang banjir ke Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
![]() |
Menurut Faisal, tantangan terbesar negeri ini justru soal peningkatan kualitas investasi. "Selama ini kebanyakan investasi dalam bentuk bangunan. Investasi dalam bentuk mesin dan peralatan hanya sekitar 10 persen," jelasnya.
Kondisi ini berbeda jauh dengan negara emerging market lainnya yang investasi mesin dan peralatannya jauh lebih tinggi.
"Investasi akan seret jika pemanfaatan kapasitas produksi masih rendah. Ketika pemanfaatan kapasitas terpasang di atas 90 persen, tak usah didorong-dorong pun investasi akan dilakukan oleh dunia usaha," kata dia.
Satu lagi yang perlu diperbaiki adalah konsolidasi perbankan, yang menurutnya juga jadi salah satu penyumbat pembuluh darah masuknya investasi.
"Perbankan dan lembaga keuangan lainnya berfungsi sebagai jantung bagi perekonomian. Bagaimana perekonomian hendak berlari lebih cepat jika detak jantung lemah," jelasnya.
Ini, kata dia, mesti digenjot dan diperbaiki. "Jangan lagi terjadi dana puluhan triliun rupiah yang dihimpun dari darah dan keringat rakyat diinvestasikan di perusahaan-perusahaan yang tidak punya reputasi baik, yang digelayuti oleh para elit penguasa seperti terjadi pada kasus Jiwasraya dan Asabri."
(gus) Next Article Faisal Basri Sebut 6 Menteri dengan 'Dosa' Terbanyak
Most Popular