Double Punch Faisal Basri: Omnibus Law Jokowi Dihantam Habis

Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
21 January 2020 12:21
Double Punch Faisal Basri: Omnibus Law Jokowi Dihantam Habis
Jakarta, CNBC Indonesia - Rancangan undang-undang sapu jagad atau omnibus law yang disusun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mendapat kritik bertubi-tubi dari ekonom senior Faisal Basri.

Secara berturut-turut selama dua hari, Faisal kritik keras soal omnibus law baik soal perpajakan maupuan soal cipta lapangan kerja.

Kemarin, Faisal mengkritik alasan Jokowi menerbitkan omnibus law demi mendorong investasi ke Indonesia. Menurut Faisal, Jokowi sesat pikir soal alasannya tersebut. "Presiden memandang investasi jeblok. Masih menurut Presiden, kebijakan selama ini belum ada yang 'nendang'. Presiden juga mengeluhkan tak ada satu pun perusahaan yang merelokasikan pabriknya dari China ke Indonesia sebagai imbas dari perang dagang Amerika Serikat dengan China," tulis Faisal Basri di situs miliknya, Senin (20/1/2020).

Tapi, sebenarnya kinerja investasi Indonesia tidak buruk-buruk amat. Pertumbuhan investasi yang diukur dengan pembentukan modal, kata Faisal, tetap bruto dalam lima tahun terakhir masih di atas pertumbuhan PDB.

Double Punch Faisal Basri: Omnibus Law Jokowi Dihantam HabisFoto: Ekonom senior, Faisal Basri saat menghadiri acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)


[Gambas:Video CNBC]



Jika dibandingkan dengan beberapa negara, pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi ketimbang Malaysia, Afrika Selatan, dan Brazil. Dua negara terakhir tergabung dalam kelompok BRICS (Brazil, Russian Federation, India, China, dan South Africa).

"Dibandingkan dengan China sekalipun, pertumbuhan investasi Indonesia lebih tinggi," jelasnya.

Oleh sebab itu, Faisal heran bagian dari investasi mananya yang jadi alasan Jokowi untuk dorong omnibus law ini. "Jika omnibus law bertujuan untuk menggenjot investasi agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, boleh jadi jauh api dari panggang."




Menurut Faisal Basri, segala kebijakan yang dirancang pemerintah kali ini terlalu banyak memberikan insentif dan karpet merah buat pengusaha.

Pertama, ia mengkritik soal insentif pajak ke pengusaha. Tak cukup dengan tax holiday sampai selama 20 tahun dan super tax deductable, pemerintah juga berencana menurunkan tarif PPh Badan secara bertahap dari 25% menjadi 22% di 2021 dan 2022. Lalu, jadi 20% di 2023.

"Itulah salah satu unsur dari isi rancangan Omnibus Law. Masih banyak lagi keringanan perpajakan lainnya yang tertuang dalam rancangan Omnibus Law," tulis Faisal Basri, dalam laman situsnya, Selasa (21/01/2020).

Menurutnya, soal ini sebenarnya pernah disinggung Jokowi pada 2016 lalu. Jokowi, kata dia, berkaca pada Singapura yang mengenakan tarif PPh badan hanya 17%.

"Apakah pantas membandingkan tarif PPh Badan di Indonesia dengan di Singapura? Mengapa tidak menggunakan acuan China yang tarifnya juga 25 persen atau India (25,17 persen) atau Brazil (34 persen)," kritiknya.

Dengan penduduk tahun 2020 sebanyak ratusan juta jiwa dan terbesar keempat di dunia -sehingga merupakan potensi pasar yang menggiurkan- serta kekayaan alamnya yang cukup melimpah dan beraneka ragam.

Sejatinya, kata dia, Indonesia tidak kalah menarik dengan Singapura yang mengenakan tarif lebih rendah. Tengoklah rerata berbagai kelompok negara yang tertera di bagian kanan peraga di atas: semua dengan tarif PPh Badan lebih tinggi dari Indonesia.



Karpet Merah Buat Taipan Batu Bara

Faisal Basri juga menyinggung soal karpet merah buat pengusaha batu bara. Omnibus law menggelar karpet merah bagi taipan tambang batu bara dengan mengatur tidak akan ada lagi pembatasan luas lahan konsesi.

"Bisa dimaklumi, banyak petinggi negeri di pusat pusaran kekuasaan memiliki konsesi batu bara atau setidaknya dekat dengan pengusaha batu bara berskala besar. Perpanjangan kontrak tak perlu lagi lewat lelang. Pendek kata omnibus law memberikan kepastian untuk keberlanjutan usaha. Bisnis batu bara memang sangat menggiurkan. Tahun 2018 produksi batu bara mencapai 549 juta ton," jelasnya.



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular