Round Up

AS-Iran Masih Tinggi: Serangan Baru, dari Ayatollah ke Trump

Redaksi, CNBC Indonesia
14 January 2020 06:53
AS-Iran Masih Tinggi: Serangan Baru, dari Ayatollah ke Trump
Jakarta, CNBC Indonesia- Meski sedikit menurun, tensi antara Amerika Serikat dan Iran masih cukup tinggi. Hal ini terlihat dari sejumlah kejadian yang terjadi pada di awal pekan ini.

Sejumlah hal belum bisa benar-benar meredakan "demam" yang terjadi di antara Washington dan Teheran. Bahkan serangan baru kembali menggempur pangkalan militer AS di Irak, yang dituding petinggi negeri Pama Sam sebagai ulah kelompok milisi yang didukung Iran.


Lalu, apa saja yang terjadi kemarin:



[Gambas:Video CNBC]





Sebuah roket kembali ditembakkan ke markas pasukan koalisi yang dipimpin AS di Irak Utara. Roket jenis Katyusha tersebut mendarat di pangkalan udara Al-Balad, yang menjadi rumah pesawat F-16, andalah AS.

Peristiwa ini melukai 4 orang, di antaranya dua perwira Irak dan dua penerbang. Akibat serangan ini sejumlah tentara dan pekerja AS dievakuasi.

"Sekitar 90% penasehat AS dan karyawan Sallypot dan Lockheed Martin (kontraktor) ... telah mengungsi ke Taji dan Erbil setelah ancaman ini," kata salah satu sumber sebagaimana dikutip dari AFP.

Pada saat kejadian, setidaknya terdapat 15 tentara AS dan satu pesawat di Al-Balad. Sebelumnya di akhir pekan lalu, roket juga menghantam Zona Hijau di ibu kota Irak Baghdad.


Amerika Serikat mengaku marah dengan kenyataan ini. Pasalanya, Iran sempat mengatakan akan mengurangi ketegangan.

Keinginan de-eskalasi tensi ketegangan sempat diutarakan Presiden Iran Hassan Rouhani di sela-sela kunjungannya ke Qatar, akhir pekan lalu.

"(AS) marah dengan laporan serangan roket lain di pangkalan udara di Irak," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, sebagaimana dikutip AFP.

"Ini pelanggaran terus menerus atas kedaulatan Irak oleh kelompok-kelompok yang tidak loyal ... harus berakhir."


Sementara itu, Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei kembali menyerukan negara-negara Timur Tengah agar kembali meningkatkan hubungan satu sama lain. Ia mengatakan ini penting untuk mengatasi kekacauan yang disebabkan Amerika Serikat (AS) dan Sekutunya.

"Situasi saat ini menuntut, lebih dari sebelumnya, (untuk) memperkuat hubungan antara negara-negara di kawasan. Serta menghindari campur tangan asing," katanya sebagaimana dikutip AFP dari Twitternya di tengah kunjungannya ke Qatar.

"Alasan situasi saat ini di wilayah kami adalah kehadiran AS dan kolaisinya. Satu-satunya cara untuk menghadapi ini adalah kerja sama di kawasan itu," tegasnya.


Kelompok pro Iran dari Libanon, Hizbullah, mengatakan sudah saatnya bagi sekutu Iran untuk mulai membalas dendam ke AS yang telah menewaskan Jenderal Qasem Soleimani.

"Saya percaya ini saatnya sumbu perlawanan untuk mulai bekerja," kata Pimpinan kelompok itu Sayyed Hassan Nasrallah, dalam pidatonya, sebagaimana dikutip dari Reuters, Senin.

"Pasukan perlawanan serius dan menargetkan tujuan besar yang saya usulkan (mengusir pasukan AS dari Timur Tengah)," kata Nasrallah lagi. "Pembalasan akan terjadi dalam beberapa hari, minggu dan bulan mendatang."

Hizbullah merupakan sebuah kelompok bersenjata lengkap yang dicap sebagai organisasi teroris oleh AS. Kelompok ini didirikan pada 1982 oleh Pengawal Revolusi Iran dan merupakan bagian penting dari aliansi regional yang dipimpin Teheran.

Sebelum Nasrallah menyampaikan seruannya, Iran memang telah melakukan serangan rudal ke dua markas militer AS di Irak pada Rabu dan Kamis lalu. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyebut serangan itu sebagai tamparan untuk AS.

Selain itu, Nasrallah menyebut Presiden AS Donald Trump telah berbohong pada rakyatnya. Karena telah menuduh Soleimani merencanakan serangan terhadap kedutaan AS.

"Trump berbohong kepada rakyatnya ... Haji Qasem Soleimani tidak berencana untuk meledakkan kedutaan besar Amerika." jelasnya.


Presiden (AS) Donald Trump mengatakan ia tidak peduli jika para pejabat Iran ingin bernegosiasi dengan AS atau tidak.

Pernyataannya itu disampaikan hanya beberapa jam setelah penasihat keamanan nasionalnya, Robert O'Brien mengatakan bahwa sanksi yang diterapkan AS membuat pemerintahan Iran ingin mengadakan negosiasi.

"Penasihat Keamanan Nasional mengatakan hari ini bahwa sanksi & protes membuat Iran "tersedak", sehingga memaksa mereka untuk bernegosiasi. Sebenarnya, saya tidak peduli jika mereka bernegosiasi. Akan sepenuhnya tergantung pada mereka tetapi, tidak ada senjata nuklir dan "jangan membunuh pemrotes Anda"," tulis Trump di twitternya.

Beberapa jam kemudian Trump kembali menge-tweet pernyataan yang sama, namun menggunakan bahasa Persia yang digunakan Iran.

Sebelumnya dalam Fox News Sunday O'Brien mengatakan bahwa Iran tidak punya pilihan selain untuk terlibat secara diplomatis dengan pemerintahan Trump. Itu dikarenakan sanksi baru berhasil meningkatkan tekanan pada Teheran, katanya.

"Saya pikir kampanye tekanan maksimum berhasil," kata O'Brien. "Iran dicekik, dan Iran tidak akan memiliki pilihan lain selain berunding."

"Apa yang akan menyebabkan mereka bernegosiasi adalah tekanan pada ekonomi, dan karena Anda memiliki siswa di luar sana meneriakkan, 'Kematian bagi diktator,' dan karena Anda memiliki ribuan warga Iran keluar memprotes di jalan, itu adalah semacam tekanan yang akan membawa mereka untuk berunding," tambahnya, sebagaimana dikutip dari The Hill, Senin.



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular