Punya Laut Luas, RI Kok Mabuk Garam Impor?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
13 January 2020 14:34

Mari ulas satu per satu faktor-faktor Indonesia masih bergantung dengan garam impor.
Pertama, soal lahan, ada persoalan lahan tambak garam yang terus menyusut. Pada 2005 luas lahan tambak garam mencapai 33.625 ha. Sementara di tahun 2019 luas lahan garam mencapai 27.048 ha. Dalam kurun waktu 14 tahun lahan garam telah menyusut 6.577 ha atau menyusut 19,5%. Artinya per tahun, lahan untuk tambak garam menciut 1,4%.
Kedua, produksi dan produktivitas garam yang fluktuatif disebabkan oleh metode produksi garam di Indonesia yang terbilang konvensional. Produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan dengan menguapkan air laut di atas lahan luas menggunakan panas matahari (solar evaporation). Metode produksi seperti ini tentu sangat bergantung pada musim kemarau.
Ketiga, intervensi teknologi masih minim. Padahal sudah banyak dikembangkan teknologi untuk mendongkrak produktivitas dan produksi garam. Salah satu contohnya adalah teknologi prisma dan teknologi geomembran.
Penggunaan teknik produksi yang masih tradisional dan minimnya penerapan teknologi, produktivitas garam RI mentok di angka 90-an ton/ha. Kalah jauh dengan Australia yang mampu mencapai 350 ton/ha.
Keempat, persoalan lingkungan juga mempengaruhi tingkat produksi dan kualitas garam dalam negeri. Garam dengan kualitas yang baik sangat bergantung pada karakteristik air laut, tanah dan iklimnya.
Berikut ini adalah syarat untuk produksi garam menurut kementerian perdagangan
Sayangnya, dengan menggunakan metode solar evaporation secara tradisional, faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas dan kuantitas garam itu justru menjadi kendala dalam proses produksi, karena:
• Di Indonesia, air laut banyak yang bercampur dengan air tawar karena sebagian besar laut menjadi muara bagi aliran sungai tawar. Di samping itu, air laut juga sering tercemar dengan polutan tertentu.
• Curah hujan di area produksi garam pada musim kemarau berkisar 100 - 300 mm per musim dengan tingkat kelembaban 60% - 80%. Hal ini mengakibatkan kualitas garam rendah. Di negara produsen garam besar seperti Australia, curah hujan pada musim kemarau hanya 10 - 100 mm per musim dengan tingkat kelembaban 30 - 40%.
• Musim kemarau dengan paparan panas tinggi di Indonesia berlangsung relatif pendek hanya 3 - 4 bulan per tahun. Sementara itu, di Australia dan China panjang paparan sinar matahari dapat mencapai 11 bulan per tahun.
• Pesisir yang landai, tanah tak poros/tembus, dan laut yang tenang dengan variasi pasang surut tak terlalu besar tidak dimiliki oleh seluruh wilayah pesisir Indonesia, sehingga, pada 2015 hanya ada sembilan provinsi yang memiliki tambak garam.
Karena sejumlah faktor di atas, garam rakyat yang diproduksi di Indonesia hanya memiliki kandungan NaCl sebesar 81%-96%, sehingga masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam nasional, khususnya garam industri yang mensyaratkan kualitas garam memiliki kandungan NaCl minimal sebesar 97%.
Pemerintah juga dinilai tak serius membenahi industri garam tanah air dengan impor yang tak terbendung itu. Kebijakan yang mendorong berkembangnya industri garam tanah air mutlak diperlukan. Bagaimanapun juga, perlu mendorong berkembangnya industri garam tanah air dengan memberdayakan petani garam lokal.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Pertama, soal lahan, ada persoalan lahan tambak garam yang terus menyusut. Pada 2005 luas lahan tambak garam mencapai 33.625 ha. Sementara di tahun 2019 luas lahan garam mencapai 27.048 ha. Dalam kurun waktu 14 tahun lahan garam telah menyusut 6.577 ha atau menyusut 19,5%. Artinya per tahun, lahan untuk tambak garam menciut 1,4%.
Kedua, produksi dan produktivitas garam yang fluktuatif disebabkan oleh metode produksi garam di Indonesia yang terbilang konvensional. Produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan dengan menguapkan air laut di atas lahan luas menggunakan panas matahari (solar evaporation). Metode produksi seperti ini tentu sangat bergantung pada musim kemarau.
Penggunaan teknik produksi yang masih tradisional dan minimnya penerapan teknologi, produktivitas garam RI mentok di angka 90-an ton/ha. Kalah jauh dengan Australia yang mampu mencapai 350 ton/ha.
Keempat, persoalan lingkungan juga mempengaruhi tingkat produksi dan kualitas garam dalam negeri. Garam dengan kualitas yang baik sangat bergantung pada karakteristik air laut, tanah dan iklimnya.
Berikut ini adalah syarat untuk produksi garam menurut kementerian perdagangan
![]() |
• Di Indonesia, air laut banyak yang bercampur dengan air tawar karena sebagian besar laut menjadi muara bagi aliran sungai tawar. Di samping itu, air laut juga sering tercemar dengan polutan tertentu.
• Curah hujan di area produksi garam pada musim kemarau berkisar 100 - 300 mm per musim dengan tingkat kelembaban 60% - 80%. Hal ini mengakibatkan kualitas garam rendah. Di negara produsen garam besar seperti Australia, curah hujan pada musim kemarau hanya 10 - 100 mm per musim dengan tingkat kelembaban 30 - 40%.
• Musim kemarau dengan paparan panas tinggi di Indonesia berlangsung relatif pendek hanya 3 - 4 bulan per tahun. Sementara itu, di Australia dan China panjang paparan sinar matahari dapat mencapai 11 bulan per tahun.
• Pesisir yang landai, tanah tak poros/tembus, dan laut yang tenang dengan variasi pasang surut tak terlalu besar tidak dimiliki oleh seluruh wilayah pesisir Indonesia, sehingga, pada 2015 hanya ada sembilan provinsi yang memiliki tambak garam.
Karena sejumlah faktor di atas, garam rakyat yang diproduksi di Indonesia hanya memiliki kandungan NaCl sebesar 81%-96%, sehingga masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam nasional, khususnya garam industri yang mensyaratkan kualitas garam memiliki kandungan NaCl minimal sebesar 97%.
Pemerintah juga dinilai tak serius membenahi industri garam tanah air dengan impor yang tak terbendung itu. Kebijakan yang mendorong berkembangnya industri garam tanah air mutlak diperlukan. Bagaimanapun juga, perlu mendorong berkembangnya industri garam tanah air dengan memberdayakan petani garam lokal.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/twg)
Pages
Most Popular