Gara-gara Donald Trump, Eropa Ikutan Pusing Soal Iran

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
12 January 2020 16:32
Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran yang memanas dalam dua minggu terakhir, membuat pusing seluruh dunia, terlebih lagi Eropa.
Foto: President AS Donald Trump (AP Photo/ Evan Vucci)
Jakarta, CNBC Indonesia - Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran yang memanas dalam dua minggu terakhir, membuat pusing seluruh dunia, terlebih lagi Eropa.

Ini dikarenakan Presiden AS Donald Trump, yang telah memanaskan perselisihan dengan Iran, terus mendesak negara-negara Eropa untuk meninggalkan perjanjian Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau yang juga dikenal sebagai kesepakatan nuklir Iran.


CNN Internasional melaporkan, Trump telah mendesak Inggris, Jerman, Prancis, Rusia dan China serta negara-negara lain yang menandatangani JCPOA untuk meninggalkan perjanjian itu dan menjatuhkan sanksi yang bisa membuat Iran lebih dari terisolasi.

"Permusuhan Iran meningkat secara substansial setelah kesepakatan nuklir Iran yang bodoh ditandatangani pada 2013," kata Trump dalam pidatonya mengenai serangan Iran terhadap target AS di Irak beberapa hari lalu.

"Alih-alih mengucapkan terima kasih kepada Amerika Serikat, mereka meneriakkan 'Kematian bagi Amerika'. Bahkan, mereka meneriakkan 'Kematian bagi Amerika' pada hari perjanjian ditandatangani. Mereka, Iran, melakukan tindakan teroris yang didanai oleh uang dari kesepakatan dan menciptakan neraka di Yaman, Suriah, Lebanon, Afghanistan, dan Irak."

Padahal, menurut Steven Blockmans, kepala urusan luar negeri di Pusat Studi Kebijakan Eropa, JCPOA yang ditandatangani di bawah naungan Uni Eropa (UE), adalah pencapaian kebijakan luar negeri tunggal terbesar dalam sejarah UE.

UE adalah pihak yang mendorong upaya untuk membawa semua pihak penting mau duduk berunding. Hal itu tidak hanya mendorong Iran untuk terlibat dengan Negara Barat, tetapi juga menciptakan forum di mana UE dapat mulai menavigasi apa yang sekarang menjadi tujuan utamanya dalam kebijakan luar negeri, katanya.

"Prioritas utama Uni Eropa adalah hubungan seimbang antara dua negara besar: China dan Amerika," kata Blockmans.

Blockmans menjelaskan, permintaan Trump sulit dituruti negara-negara Eropa dan China karena mereka memiliki hubungan yang cukup menguntungkan dengan Iran.

Secara historis, China dan Iran memiliki hubungan diplomatik yang baik. Ini bahkan membaik setelah penandatanganan JCPOA, karena investasi China di Iran meningkat dan berlanjut bahkan setelah Trump menarik AS dari kesepakatan nuklir itu pada 2018 lalu. Hal serupa juga berlaku bagi Eropa dengan Iran.

"Dalam meminta sekutu-sekutu Eropa dan NATO-nya untuk memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam kebuntuannya dengan Iran, Trump pada dasarnya meminta mereka untuk membuat pilihan: tetap berhubungan baik dengan teman-teman baru di Beijing, Moskow dan Teheran; atau jatuh dalam barisan di belakang sekutu lamanya, meskipun faktanya saat ini dipimpin oleh seorang pria yang dianggap sangat tidak menentu oleh sebagian besar diplomat Eropa dan bahkan mungkin tidak akan berada di kantor setelah tahun ini." jelasnya.


Sebagai informasi, hubungan AS-Iran memanas setelah pada 3 Januari lalu Trump memerintahkan serangan udara ke Bandara Internasional Baghdad. Dalam serangan drone itu beberapa orang penting Iran, termasuk Jendral Qasem Soleimani, tewas.

Soleimani merupakan pimpinan Pasukan Quds Iran. Ia juga dikenal sebagai sosok paling penting nomor dua di Iran dan dikenal sebagai tokoh revolusioner Iran. Kematiannya telah membuat Iran membalas AS dengan melakukan serangan rudal ke dua pangkalan militer AS di Iran pada Rabu dan Kamis lalu.

[Gambas:Video CNBC]




(dob/dob) Next Article Uni Eropa Blak-Blakan Trump Saat Pimpin AS Bikin 'Rusak'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular