
Harga Gas Mahal, Industri Klaim Ada Pabrik Tutup
Efrem Siregar, CNBC Indonesia
08 January 2020 16:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Polemik harga dan pasokan gas jadi persoalan klasik yang dihadapi oleh industri dalam negeri. Belakangan masalah ini kembali mencuat, apalagi Presiden Jokowi sudah turun tangan untuk menekan harga gas, hingga ada opsi impor.
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan gas bagi industri khususnya petrokimia tak hanya sebagai energi tapi juga bahan baku produksi yang mempengaruhi biaya produksi. Gas mengambil porsi ketiga setelah bahan baku lainnya.
Ia mengatakan sejak 2016 konsumsi gas industri di bawah Inaplas rata-rata 800 MMCFD (millions of cubic feet per day). Namun, tahun ini hanya akan mencapai 750 MMCFD saja.
"Jadi ada industri yang mulai tutup, karena harga tak bisa bersaing," katanya kepada CNBC Indonesia, Rabu (8/1).
Ia mengatakan industri anggotanya yang mulai tutup adalah polyester, acrylic karena kompetitor menjual produk lebih murah. Dampaknya ada sebagian yang sudah beralih jadi trader, atau pengimpor produk agar bisa bertahan.
"Ada member kami yang pakai gas, untuk energi dan bahan baku, gas sudah habis, dan spek yang tak sesuai, mereka akhirnya pakai LPG yang mahal," katanya.
Menurutnya bila persoalan harga dan pasokan gas belum tuntas, maka industri dalam negeri sulit bersaing dan barang impor makin mudah masuk dan mendominasi. Impor bahan baku plastik 5,8 juta ton, sedangkan yang bisa dipasok dalam negeri baru 2,5 juta ton per tahun, artinya 50% impor.
"Pasar olefin dan aromatik makin besar, kalau tak ada industri dalam negeri, maka 70% kita impor, dampaknya defisit perdagang cukup tinggi," katanya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menekankan pesan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas terkait gas industri. Harga gas industri saat ini dalam rentang US$ 9-12 mmbtu.
Luhut mengatakan, Jokowi memberikan waktu 3 bulan untuk seluruh pemangku kepentingan mendapat solusi agar harga gas industri bisa murah. "Dichallenge, awal Maret sudah selesai. Kami mau harga gas US$ 6 (per MMBTU), karena terlalu banyak redundant cost. Banyak biaya tumpang tindih," kata Luhut, dijumpai usai rapat terbatas di Istana Negara, Senin (06/1/2020).
(hoi/hoi) Next Article Polemik Gas RI, Pengusaha: Thailand Prioritas Domestik!
Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono mengatakan gas bagi industri khususnya petrokimia tak hanya sebagai energi tapi juga bahan baku produksi yang mempengaruhi biaya produksi. Gas mengambil porsi ketiga setelah bahan baku lainnya.
Ia mengatakan sejak 2016 konsumsi gas industri di bawah Inaplas rata-rata 800 MMCFD (millions of cubic feet per day). Namun, tahun ini hanya akan mencapai 750 MMCFD saja.
Ia mengatakan industri anggotanya yang mulai tutup adalah polyester, acrylic karena kompetitor menjual produk lebih murah. Dampaknya ada sebagian yang sudah beralih jadi trader, atau pengimpor produk agar bisa bertahan.
"Ada member kami yang pakai gas, untuk energi dan bahan baku, gas sudah habis, dan spek yang tak sesuai, mereka akhirnya pakai LPG yang mahal," katanya.
Menurutnya bila persoalan harga dan pasokan gas belum tuntas, maka industri dalam negeri sulit bersaing dan barang impor makin mudah masuk dan mendominasi. Impor bahan baku plastik 5,8 juta ton, sedangkan yang bisa dipasok dalam negeri baru 2,5 juta ton per tahun, artinya 50% impor.
"Pasar olefin dan aromatik makin besar, kalau tak ada industri dalam negeri, maka 70% kita impor, dampaknya defisit perdagang cukup tinggi," katanya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menekankan pesan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas terkait gas industri. Harga gas industri saat ini dalam rentang US$ 9-12 mmbtu.
Luhut mengatakan, Jokowi memberikan waktu 3 bulan untuk seluruh pemangku kepentingan mendapat solusi agar harga gas industri bisa murah. "Dichallenge, awal Maret sudah selesai. Kami mau harga gas US$ 6 (per MMBTU), karena terlalu banyak redundant cost. Banyak biaya tumpang tindih," kata Luhut, dijumpai usai rapat terbatas di Istana Negara, Senin (06/1/2020).
(hoi/hoi) Next Article Polemik Gas RI, Pengusaha: Thailand Prioritas Domestik!
Most Popular