Polemik Gas RI, Pengusaha: Thailand Prioritas Domestik!

Efrem Limsan Siregar, CNBC Indonesia
06 December 2019 20:53
Pengusaha ikut buka suara soal pasokan dan harga gas RI, mengatakan RI harus mencontoh Thailand.
Foto: Hariyadi Sukamdani, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) (CNBC Indonesia/Lynda Hasibuan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan persoalan gas industri menyangkut dua hal, yaitu ketersediaan dan harga.

Pembahasannya tak pernah selesai. Padahal, pasokan gas adalah hal vital untuk industri. Selain itu harga gas akan mendukung untuk pendalaman industri.

"Kita komplain dari pihak penyedia gas [...] itu masing-masing sumur beda costnya sehingga overall mereka ngga bisa menekan gas itu," kata Hariyadi ditemui di Kementerian Perekonomian, Jakarta, Jumat (6/12/2019).

Ia mencontohkan negara Thailand. Menurutnya, pasokan gas di sana mendahulukan kebutuhan domestik ketimbang ekspor. "Jadi [Thailand] kepentingan industri nasionalnya didahulukan. Kalau kita kan ngga. Ekspor banyak, kebutuhan dalam negeri nggak cukup," ujarnya.



Karena itu, ia mengatakan kebijakan gas dalam negeri perlu memperhatikan pasokan domestik. Namun, jika mengacu data Ditjen Migas Kementerian ESDM, kecukupan gas domestik sudah ada.

Ekspor gas terlihat menurun dan sejak 2013, porsi penggunaan dalam negeri selalu lebih besar ketimbang ekspor. Tahun 2017, pasokan domestik berada di angka 58,59% dan ekspor di angka 41,41%.

Akan tetapi dalam praktiknya, kurangnya pasokan gas industri menjadi hambatan bagi industri pupuk. Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Holding Company Aas Asikin Idat mengatakan pupuk memerlukan pasokan gas jangka panjang.

"Sementara ini 2-3 tahun kami harapkan bisa jangka panjang. Mayoritas gas berakhir di 2021-2022, dan banyak yang belum ada kepastian gasnya termasuk alokasinya belum kami terima," ujar Asikin, saat rapat dengar pendapat di DPR Kamis (5/12/2019).

Belum adanya jaminan pasokan pada 2024 nanti menyebabkan Pusri Palembang terancam berhenti berproduksi.

Masalah lain adalah harga gas yang dinilai masih terlalu tinggi. Padahal, gas bumi adalah bahan baku utama produksi pupuk urea dengan komposisi kurang lebih 70% dari total biaya produksi.

Asikin mencontohkan, harga rata-rata gas yang dikenakan untuk pupuk dalam negeri ada di kisaran US$ 5,8/MMBTU. Sementara, harga pesaing bisa di rata-rata US$ 3,95 per MMBTU.

Wakil Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perindustrian Johnny Darmawan berharap dengan pengakuan industri pupuk ini, ada momentum agar persoalan pasokan dan harga gas bisa terurai.

"Ingat ngga, Jokowi pernah mengatakan harga gas industri engga boleh naik. Dan ke depan hilirisasi," kata Johnny merujuk pernyataan Presiden Jokowi pada awal November 2019 lalu.

Jokowi sebelumnya pernah meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif untuk menghitung kembali komponen harga gas bagi kebutuhan industri.

Pada kesempatan yang sama, ia juga menyampaikan saat itu bahwa harga gas industri tidak naik. Menurutnya, efisiensi harga minyak maupun gas sangat penting karena menyangkut produk-produk yang dihasilkan industri Indonesia.

"Ke depan kita melihat banyak sekali, nanti misalnya ladang gas di Dumai tahun 2023 akan habis. Ini juga bisa mensuplai gede sekali kalau ditarik ke domestik. Sementara ini, dia masuk ke Singapura, kemudian di Sumatera Selatan juga ada Sakakemang nanti juga bisa mensuplai, kita juga punya yang namanya Bojonegoro, bisa memproduksi 190 mmscfd nanti juga bisa digunakan dalam negeri," ujar Jokowi.


(gus) Next Article Harga Gas Mahal, Industri Klaim Ada Pabrik Tutup

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular