
Internasional
Jadi Ajang Tempur Perang AS-Iran, Irak Gundah Gulana
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
08 January 2020 08:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Irak Barham Salih mengungkapkan ketakutan terbesarnya secara gamblang akan konsekuensi yang bisa dihadapi negaranya di tengah kemungkinan perang antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran, Minggu (5/1/2020).
"Dinamika itu berbahaya - dan saya harus sangat prihatin bahwa Irak akan terlibat dalam siklus konflik yang lain. Irak dan stabilitas yang dimenangkannya setelah perang melawan ISIS dapat terurai." kata Salih dalam sebuah sesi wawancara dengan Robin Wright dari The New Yorker.
"Ini akan memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi Irak dan kawasan pada umumnya. Kita harus melakukan semua yang mungkin dilakukan untuk menegaskan pengekangan dan berjalan kembali dari tepi jurang," lanjut presiden yang menjabat sejak 2018 itu.
Salih juga berharap kedaulatan dan stabilitas Irak bisa terus menjadi kepentingan bersama semua negara yang terlibat.
Ia juga mengatakan bahwa jika melihat sejarah hubungan negaranya dengan Iran yang penuh perang, ia berharap perang antara Iran dan AS tidak meletus. Sebab, dalam sejarahnya, perang tidak melahirkan pemenang sama sekali, jelasnya.
"Perang itu menghancurkan. Sama sekali tidak ada pemenang dalam perang. Korban manusia sangat besar bagi Irak. Pastinya, untuk Iran juga. Selain itu, jangan pernah memulai perang karena Anda tidak pernah tahu bagaimana itu berakhir." jelasnya, "Dan satu pelajaran penting lainnya: Irak seharusnya tidak pernah berfungsi sebagai gerbang bagi negara lain. Dan Irak seharusnya tidak melakukan perang yang dibayar dengan sumber daya Irak dan nyawa Irak, untuk orang lain."
Sebagai informasi, Irak dan Iran pernah terlibat perang selama delapan tahun, sejak 1980-1988. Perang terbuka itu dimulai pada 22 September 1980, ketika angkatan bersenjata Irak menyerbu Iran barat di sepanjang perbatasan bersama negara-negara itu.
Pertempuran diakhiri dengan gencatan senjata tahun 1988. Namun, hubungan diplomatik mereka baru kembali normal dan penarikan pasukan baru dilaksanakan sampai penandatanganan perjanjian perdamaian formal dilakukan pada 16 Agustus 1990, sebagaimana dilaporkan Britannica.
"Dinamika itu berbahaya - dan saya harus sangat prihatin bahwa Irak akan terlibat dalam siklus konflik yang lain. Irak dan stabilitas yang dimenangkannya setelah perang melawan ISIS dapat terurai." kata Salih dalam sebuah sesi wawancara dengan Robin Wright dari The New Yorker.
Ia juga mengatakan bahwa jika melihat sejarah hubungan negaranya dengan Iran yang penuh perang, ia berharap perang antara Iran dan AS tidak meletus. Sebab, dalam sejarahnya, perang tidak melahirkan pemenang sama sekali, jelasnya.
"Perang itu menghancurkan. Sama sekali tidak ada pemenang dalam perang. Korban manusia sangat besar bagi Irak. Pastinya, untuk Iran juga. Selain itu, jangan pernah memulai perang karena Anda tidak pernah tahu bagaimana itu berakhir." jelasnya, "Dan satu pelajaran penting lainnya: Irak seharusnya tidak pernah berfungsi sebagai gerbang bagi negara lain. Dan Irak seharusnya tidak melakukan perang yang dibayar dengan sumber daya Irak dan nyawa Irak, untuk orang lain."
Sebagai informasi, Irak dan Iran pernah terlibat perang selama delapan tahun, sejak 1980-1988. Perang terbuka itu dimulai pada 22 September 1980, ketika angkatan bersenjata Irak menyerbu Iran barat di sepanjang perbatasan bersama negara-negara itu.
Pertempuran diakhiri dengan gencatan senjata tahun 1988. Namun, hubungan diplomatik mereka baru kembali normal dan penarikan pasukan baru dilaksanakan sampai penandatanganan perjanjian perdamaian formal dilakukan pada 16 Agustus 1990, sebagaimana dilaporkan Britannica.
Next Page
Ketakutan Irak
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular