
Internasional
Sosok Soleimani dan Ketakutan Akan Perang Dunia III
Wangi Sinintya Mangkuto, CNBC Indonesia
06 January 2020 07:13

Jakarta, CNBC Indonesia - World War III (WWIII/Perang Dunia III) kini menjadi trending topic. Bahkan hingga kini, #WWIII masih menjadi topik viral yang di-tweet 227 ribu akun.
Lalu siapa Soleimani? Mengapa ia menjadi kematiannya menjadi api yang semakin menaikkan tensi ketegangan?
Dalam tulisannya yang dimuat di The Washington Post, jurnalis Adam Taylor mencoba menggambarkan sosok pria 62 tahun itu. Meski berbadan kecil, ia mengatakan tokoh sentral yang penting, bukan hanya bagi Iran tapi juga Timur Tengah.
Karier kemiliteran Soleimani dimulai tak lama setelah Revolusi Iran pada tahun 1979. Ia bahkan turut serta dalam pembentukan Republik Islam Iran.
"Lebih dari siapapun, Soleimani bertanggung jawab atas penciptaan 'arc of influence' atau 'axis of resistance' yang membentuk dari Teluk Oman melalui Irak, Suriah, dan Lebanon ke pantai timur Laut Mediterania," ujar Taylor.
Pada akhir 1990-an, Soleimani diberi kendali atas Pasukan Quds, sayap Garda Revolusi Iran yang dikhususkan untuk urusan eksternal. Pasukan Quds memiliki sejarah panjang, termasuk membantu pendirian Hezbollah di Lebanon pada awal 1980-an. Di bawah kepemimpinan Soleimani, mereka memperluas pengaruh di wilayah tersebut.
Setelah invasi AS ke Irak berhasil menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein 2003, Pasukan Quds mulai membantu milisi syiah di negara itu tatkala mereka berperang melawan pasukan AS. Baru-baru ini, Pentagon mengestimasi Pasukan Quds telah menewaskan 608 tentara AS di Irak antara tahun 2003 dan 2011.
Kemudian, dalam perang saudara di Suriah, intervensi besar-besaran Pasukan Quds mengubah arah perang demi kepentingan Presiden Suriah Bashar al-Assad, sekutu dekat Teheran.
Pengaruh Soleimani selaku pemimpin Pasukan Quds tidak hanya terasa di Timur Tengah. Beberapa tahun lalu, Ia juga dikaitkan dengan upaya pembunuhan Duta Besar Arab Saudi untuk AS di sebuah restoran Italia di Georgetown.
Singkat cerita, setelah Presiden AS Donald Trump menarik AS dari perjanjian nuklir antara Iran dan negara-negara dunia lain, Pasukan Quds berada di pusat ketegangan antara Iran dan AS.
Di Irak, milisi Syiah melontarkan serangan demi serangan ke pihak AS. Setelah salah satu serangan menewaskan seorang kontraktor asal Negeri Paman Sam, AS melancarkan serangan udara terhadap pangkalan militer di sepanjang perbatasan dengan Suriah yang digunakan kelompok Kataib Hezbollah. Serangan itu menewaskan 25 anggota milisi dan melukai lebih dari 50 anggota milisi.
Pada malam tahun baru lalu, milisi Syiah dan pendukungnya menyerbu kompleks Kedutaan Besar AS di Baghdad. Walau tidak ada yang terbunuh dalam insiden itu, Trump menyebut Iran harus bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
"Mereka akan bertanggung jawab penuh," ujar Trump via akun Twitter-nya.
Serangan udara pada Jumat pagi itu tidak hanya menewaskan Soleimani semata. Komandan Milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis juga tewas.
Para analis sepakat Soleimani adalah sosok yang unik dan mungkin tidak tergantikan di Iran. Tetapi, setelah kabar kematiannya, banyak yang bertanya apa efek dari kematian sang jenderal.
"Tekanan untuk membalas akan sangat besar," ujar pakar timur tengah dari Universitas Johns Hopkins via akun Twitter-nya.
Soleimani sendiri telah disanksi oleh AS sejak tahun 2007 dan pada Mei 2019, Washington memutuskan untuk melabeli Revolutionary Guards, beserta dengan seluruh bagiannya, sebagai organisasi teroris, menandai kali pertama label tersebut diberikan terhadap lembaga militer resmi dari sebuah negara.
Kematian Soleimani otomatis membuat ketegangan semakin meningkat meningkat. Apalagi, Pentagon mengatakan Soleimani memang menjadi sasaran target AS atas arahan langsung Presiden Trump.
Ini membuat Pimpinan Tertinggi Revolusi Islam Ayatollah Seyyed Ali Khamenei menyampaikan pesan bela sungkawa atas tewasnya Soleimani. "Balas dendam sedang menunggu para pelanggar, yang mengkontaminasi tangan mereka dengan darahnya [Qasem Soleimani] dan martir lainnya," tulis Khamenei.
Mendengar ini, Trump tidak menunjukkan tanda-tanda berusaha mengurangi ketegangan yang muncul. Trump justru menegaskan ancaman keras pada Iran melalui Twitternya.
Trump mengatakan bahwa AS telah menargetkan 52 lokasi Iran. Sebagian merupakan, "Situs tingkat tinggi dan penting bagi Iran dan budaya Iran. Target tersebut bersama dengan Iran AKAN DISERANG DENGAN SANGAT CEPAT DAN SANGAT KERAS," ungkap Trump lewat Twitternya.
Jumlah lokasi itu, kata Trump, merujuk kepada 52 warga AS yang disandera oleh Iran saat terjadinya revolusi 1979-1981 silam.
Menurut Trump, Iran terlalu berani menyasar aset-aset AS sebagai upaya balas dendam atas kematian Jenderal Soleiman yang dianggap telah terlibat dalam sejumlah pembunuhan warga Amerika dan orang-orang lain sepanjang hidupnya, termasuk baru-baru ini membunuh ratusan pengunjuk rasa warga Iran.
"Dia baru saja menyerang kedutaan kami, dan bersiap melakukan serangan di lokasi lain. Iran tidak ada apa-apanya kecuali masalah selama beberapa tahun ini," cuit Trump.
Trump kemudian menegaskan: "AS tidak ingin ada lagi ancaman!"
(sef/sef) Next Article Ancaman Perang Teluk III, Iran Siap Perang Jika AS Serang
Setelah kematian Jenderal Iran Qasem Soleimani, netizen ramai membicarakan kemungkinan perang yang dipicu ketegangan antara Washington dan Teheran.
Lalu siapa Soleimani? Mengapa ia menjadi kematiannya menjadi api yang semakin menaikkan tensi ketegangan?
Dalam tulisannya yang dimuat di The Washington Post, jurnalis Adam Taylor mencoba menggambarkan sosok pria 62 tahun itu. Meski berbadan kecil, ia mengatakan tokoh sentral yang penting, bukan hanya bagi Iran tapi juga Timur Tengah.
Karier kemiliteran Soleimani dimulai tak lama setelah Revolusi Iran pada tahun 1979. Ia bahkan turut serta dalam pembentukan Republik Islam Iran.
"Lebih dari siapapun, Soleimani bertanggung jawab atas penciptaan 'arc of influence' atau 'axis of resistance' yang membentuk dari Teluk Oman melalui Irak, Suriah, dan Lebanon ke pantai timur Laut Mediterania," ujar Taylor.
Pada akhir 1990-an, Soleimani diberi kendali atas Pasukan Quds, sayap Garda Revolusi Iran yang dikhususkan untuk urusan eksternal. Pasukan Quds memiliki sejarah panjang, termasuk membantu pendirian Hezbollah di Lebanon pada awal 1980-an. Di bawah kepemimpinan Soleimani, mereka memperluas pengaruh di wilayah tersebut.
Setelah invasi AS ke Irak berhasil menggulingkan Presiden Irak Saddam Hussein 2003, Pasukan Quds mulai membantu milisi syiah di negara itu tatkala mereka berperang melawan pasukan AS. Baru-baru ini, Pentagon mengestimasi Pasukan Quds telah menewaskan 608 tentara AS di Irak antara tahun 2003 dan 2011.
Kemudian, dalam perang saudara di Suriah, intervensi besar-besaran Pasukan Quds mengubah arah perang demi kepentingan Presiden Suriah Bashar al-Assad, sekutu dekat Teheran.
Pengaruh Soleimani selaku pemimpin Pasukan Quds tidak hanya terasa di Timur Tengah. Beberapa tahun lalu, Ia juga dikaitkan dengan upaya pembunuhan Duta Besar Arab Saudi untuk AS di sebuah restoran Italia di Georgetown.
Singkat cerita, setelah Presiden AS Donald Trump menarik AS dari perjanjian nuklir antara Iran dan negara-negara dunia lain, Pasukan Quds berada di pusat ketegangan antara Iran dan AS.
Di Irak, milisi Syiah melontarkan serangan demi serangan ke pihak AS. Setelah salah satu serangan menewaskan seorang kontraktor asal Negeri Paman Sam, AS melancarkan serangan udara terhadap pangkalan militer di sepanjang perbatasan dengan Suriah yang digunakan kelompok Kataib Hezbollah. Serangan itu menewaskan 25 anggota milisi dan melukai lebih dari 50 anggota milisi.
Pada malam tahun baru lalu, milisi Syiah dan pendukungnya menyerbu kompleks Kedutaan Besar AS di Baghdad. Walau tidak ada yang terbunuh dalam insiden itu, Trump menyebut Iran harus bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
"Mereka akan bertanggung jawab penuh," ujar Trump via akun Twitter-nya.
Serangan udara pada Jumat pagi itu tidak hanya menewaskan Soleimani semata. Komandan Milisi Irak Abu Mahdi al-Muhandis juga tewas.
Para analis sepakat Soleimani adalah sosok yang unik dan mungkin tidak tergantikan di Iran. Tetapi, setelah kabar kematiannya, banyak yang bertanya apa efek dari kematian sang jenderal.
"Tekanan untuk membalas akan sangat besar," ujar pakar timur tengah dari Universitas Johns Hopkins via akun Twitter-nya.
Soleimani sendiri telah disanksi oleh AS sejak tahun 2007 dan pada Mei 2019, Washington memutuskan untuk melabeli Revolutionary Guards, beserta dengan seluruh bagiannya, sebagai organisasi teroris, menandai kali pertama label tersebut diberikan terhadap lembaga militer resmi dari sebuah negara.
Kematian Soleimani otomatis membuat ketegangan semakin meningkat meningkat. Apalagi, Pentagon mengatakan Soleimani memang menjadi sasaran target AS atas arahan langsung Presiden Trump.
Ini membuat Pimpinan Tertinggi Revolusi Islam Ayatollah Seyyed Ali Khamenei menyampaikan pesan bela sungkawa atas tewasnya Soleimani. "Balas dendam sedang menunggu para pelanggar, yang mengkontaminasi tangan mereka dengan darahnya [Qasem Soleimani] dan martir lainnya," tulis Khamenei.
Mendengar ini, Trump tidak menunjukkan tanda-tanda berusaha mengurangi ketegangan yang muncul. Trump justru menegaskan ancaman keras pada Iran melalui Twitternya.
Trump mengatakan bahwa AS telah menargetkan 52 lokasi Iran. Sebagian merupakan, "Situs tingkat tinggi dan penting bagi Iran dan budaya Iran. Target tersebut bersama dengan Iran AKAN DISERANG DENGAN SANGAT CEPAT DAN SANGAT KERAS," ungkap Trump lewat Twitternya.
Jumlah lokasi itu, kata Trump, merujuk kepada 52 warga AS yang disandera oleh Iran saat terjadinya revolusi 1979-1981 silam.
Menurut Trump, Iran terlalu berani menyasar aset-aset AS sebagai upaya balas dendam atas kematian Jenderal Soleiman yang dianggap telah terlibat dalam sejumlah pembunuhan warga Amerika dan orang-orang lain sepanjang hidupnya, termasuk baru-baru ini membunuh ratusan pengunjuk rasa warga Iran.
"Dia baru saja menyerang kedutaan kami, dan bersiap melakukan serangan di lokasi lain. Iran tidak ada apa-apanya kecuali masalah selama beberapa tahun ini," cuit Trump.
Trump kemudian menegaskan: "AS tidak ingin ada lagi ancaman!"
(sef/sef) Next Article Ancaman Perang Teluk III, Iran Siap Perang Jika AS Serang
Most Popular