China Ngotot Klaim Natuna, Ada Harta Karun di Natuna?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 January 2020 18:01
China Ngotot Klaim Natuna, Ada Harta Karun di Natuna?
Foto: Laut Natuna Utara. (Dok: Koarmada I)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tensi antara pemerintah Indonesia dengan China menghangat dalam beberapa hari terakhir.

Pasalnya, patroli keamanan laut China diketahui memasuki perairan Natuna yang merupakan ZEEĀ Indonesia. Negeri Tirai Bambu mengklaim wilayah tersebut sebagai teritori mereka, sebuah hal yang membuat Indonesia meradang.

Kementerian Luar Negeri pun melontarkan protes karena menilai China melakukan pelanggaran batas wilayah.

"Pada hari Senin (30/12/19) hasil rapat antar Kementerian di Kemlu mengkonfirmasi terjadinya pelanggaran ZEE Indonesia, termasuk kegiatan IUU fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh Coast Guard RRT di perairan Natuna. Kemlu telah memanggil Dubes RRT di Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan," demikian bunyi siaran tertulis Kementerian Luar Negeri tertanggal 30 September 2019.

Indonesia juga menegaskan menolak klaim sepihak yang dilontarkan China terkait Semibilan Garis Putus (Nine Dash Line) yang digunakan China sebagai pembenaran. Berdasarkan peta Nine Dash Line, terlihat bahwa klaim China mencakup 90% atau hampir seluruh wilayah perairan Laut China Selatan.

China mengklaim wilayah tersebut berdasarkan fakta sejarah sejak era Dinasti Han pada tahun 110 Sebelum Masehi. Pada era itu, dilakukan ekspedisi laut ke Kepulauan Spratly dan para nelayan serta pedagang Tiongkok sudah bekerja dan menetap di wilayah tersebut. Klaim Tiongkok ini diperkuat dengan mengeluarkan peta sembilan garis putus pada tahun 1947 dan Mei 2009.

"Klaim historis RRT atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982," jelas Kemenlu.

"...Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah "relevant waters" yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Indonesia mendesak RRT untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim RRT di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982," sebut keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri tertanggal 1 Januari 2020.

Untuk diketahui, tak hanya Indonesia yang berseteru dengan China terkait urusan Laut China Selatan. Di kawasan ASEAN, klaim China di Laut China Selatan mencakup wilayah sejumlah negara lain yakni Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina.

Negara-negara tersebut tentunya menolak klaim China dan mencoba mempertahankan kedaulatan masing-masing. Bahkan, Filipina telah memenangkan gugatan di Mahkamah Arbitrase PBB yang menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan.

Mahkamah Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di wilayah Laut China Selatan. Meski demikian, China menegaskan tidak menerima keputusan tersebut.

Filipina (juga Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia) menganggap klaim China atas wilayahnya di Laut China Selatan tidak berdasar karena hanya mengacu kepada faktor sejarah dan tidak ada persetujuan tertulis. Ini membuat klaim tersebut sangat subjektif dan tidak sesuai dengan tata pergaulan internasional.

Dalam United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kedaulatan atas wilayah laut ditentukan oleh jarak dari titik atau pulau terluar suatu negara. Berdasarkan UNCLOS 1982, pulau-pulau di Laut Natuna adalah daerah daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada waktu air pasang.

Pulau-pulau di Laut Natuna bukan batu karang dan dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri. Oleh karena itu, pulau-pulau di Laut Natuna berhak atas:
1. Laut teritorial (maksimum 12 mil-laut).
2. Zona tambahan (maksimum 24 mil-laut).
3. Zona Ekonomi Eksklusif (maksimum 200 mil-laut).
3. Landas kontinen (maksimum 350 mil-laut/ 100 mil dari isobath 2.500 meter).
Insiden Indonesia-China di Laut Natuna bukan barang baru. Pada Juni 2016 lalu misalnya, kapal penangkap ikan asal China ditembak oleh kapal TNI AL dan para awak kapal penangkap ikan tersebut juga ditahan.

Beijing telah membuat nota protes kepada pemerintah Indonesia atas insiden penembakan dan penangkapan awak kapal tersebut. Namun, pihak Indonesia menegaskan bahwa aparat keamanan telah bertindak mengikuti prosedur yang benar.

China menilai bahwa para nelayan sudah lama mencari ikan di wilayah tersebut, sehingga dianggap sebagai wilayah tradisional nelayan (traditional fishing area). Namun, Indonesia bersikukuh bahwa area yang dimasuki kapal Tiongkok itu merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sehingga merupakan wilayah kedaulatan Indonesia.

Wajar saja jika Laut Natuna kerap membuat Indonesia-China panas dingin. Pasalnya, ada begitu banyak sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, terutama sumber daya energi.

Secara total, produksi minyak mentah dari blok-blok yang berada di Natuna adalah 25.447 barel per hari, sementara produksi gas bumi tercatat sebesar 489,21 MMSCFD.

Tak hanya menyimpan kandungan minyak dan gas yang besar, kawasan Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun).

Lebih lanjut, dari sisi letak geografis Laut Natuna berada di posisi yang sangat strategis. Natuna berada di jalur pelayaran internasional Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Sejak dahulu, perairan Natuna telah menjadi jalur perdagangan antar negara yang strategis. Pada April 2015, lima artefak kapal dari abad ke-10 hingga ke-19 Masehi ditemukan di wilayah perairan Natuna. Temuan tersebut menguatkan pemahaman bahwa Natuna merupakan titik penting dalam jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan China dengan kawasan Asia Tenggara. Klaim China di Laut China Selatan yang bersentuhan dengan wilayah kedaulatan Indonesia tentunya mempengaruhi keamanan nasional. Bila tidak ada penyelesaian yang komprehensif, maka konflik akan terus terjadi. Konflik-konflik ini akan terus tereskalasi dan bisa saja berujung pada konfrontasi fisik alias perang.

Sejauh ini, memang jelas terlihat bahwa Indonesia masih sangat menghindari konfrontasi secara fisik dengan China. Walaupun Indonesia telah melayangkan protes keras perihal invasi kapal-kapal asal China di perairan Natuna, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mendinginkan suasana dengan menyebut bahwa China tetaplah merupakan negara sahabat.

Hal ini disampaikan di hadapan awak media usai Prabowo bertemu Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.

"Ya saya kira kita harus selesaikan dengan baik. Bagaimanapun China adalah negara sahabat," kata Prabowo di Kantor Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Jumat (3/1/2020).

"Saya selalu koordinasi dengan Menko-Menko. Pernah Menko perekonomian, Menko Polhukam, ya kita harus koordinasi karena kerja sama kita harus baik. Tim ya," tambahnya.

Sejauh ini, Prabowo mengungkapkan bahwa kedua negara sudah menyampaikan sikapnya masing-masing. Adanya perbedaan klaim atas perairan Natuna tersebut, lanjut Prabowo, perlu dicari solusinya.

"Yah kita tentunya kan begini ya. Kita masing-masing punya sikap, kita harus mencari suatu solusi yang baiklah. Di ujungnya saya kira kita bisa dapat solusi," bebernya.

Memang, sebaiknya Indonesia menahan diri dari konfrontasi fisik dengan China. Pasalnya, anggaran pertahanan yang merupakan istilah halus untuk pendanaan dan pengembangan militer di Indonesia, terbilang mini jika dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk China.

Untuk diketahui, anggaran pertahanan Indonesia pada tahun 2020 ditetapkan senilai Rp 127,4 triliun. Sejak tahun 2009, alokasi dana tersebut memiliki pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) sebesar 12,85%.

Namun, dari sisi nilainya, anggaran pertahanan China 21 kali lipat lebih besar dibandingkan Indonesia. Anggaran pertahanan China untuk tahun 2020 mencapai US$ 198 miliar.

Berdasarkan data dari Stockholm International Peace Research Institute, China berada di urutan kedua negara dengan anggaran militer terbesar dunia, hanya kalah dari AS yang mengalokasikan dana senilai US$ 649 miliar pada tahun 2018.

Tidak hanya China, negara tetangga dekat Indonesia, Australia, juga memiliki anggaran pertahanan yang tidak sedikit. Untuk tahun 2020, nilainya mencapai US$ 29,19 miliar. Australia merupakan negara dengan anggaran pertahanan tertinggi ke-13 di dunia.

Jika dihitung secara persentasenya terhadap total belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), anggaran militer Indonesia bisa dibilang belum ideal. Untuk tahun 2020, rasio anggaran militer terhadap total belanja dalam APBN hanya mencapai 5,02%, jauh di bawah Singapura yang sekitar 28% dan Thailand yang sekitar 7%.

Dengan anggaran militer yang masih mini, besar kemungkinan bahwa Indonesia tak akan bisa berbicara banyak jika harus berperang melawan China.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular