
Terpopuler Januari 2019
Jokowi vs The Economist
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
31 December 2019 09:18

Menyikapi kritik The Economist, Istana Negara pun buka suara. Bagi lingkaran Istana, kritik yang disampaikan majalah yang berbasis di London itu tidak didasarkan pada data yang akurat dan komprehensif.
"Kami mengapresiasi atas kritik yang disampaikan oleh The Economist," kata Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika.
"Namun, banyak dari kritik itu yang perlu diklarifikasi karena tidak didasarkan kepada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu," tegasnya.
Berikut bantahan Istana Negara kepada CNBC Indonesia atas kritik yang dilontarkan The Economist :
Investasi yang Tetap Terjaga
Media ekonomi asal Inggris itu mengkritisi kebijakan pemerintahan, yang ditekankan pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan mengedepankan geliat investasi menarik investor.
The Economist menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mampu membantu laju pertumbuhan ekonomi suatu negara, ialah investasi, sesuatu yang selama ini memang digenjot oleh pemerintahan.
Menurut Erani, sepanjang 2015 - 2017, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) rata-rata tumbuh 5,2 persen per tahun.
Sementara itu, pada periode 2012-2014 rata-rata tumbuh 3,5 persen per tahun. Jika memperhatikan perkembangan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dunia mulai melambat sejak 2011 sampai dengan 2015. Ini memberikan pengaruh pada arus modal ke sejumlah negara termasuk Indonesia.
Di Indonesia, pada 2012 total penanaman modal tumbuh hingga 24% dan mencapai level tertinggi pada 2013 sebesar 27%. Namun, realisasi tersebut turun signifikan dan hanya tumbuh 16 persen pada 2014.
"Tren perlambatan pertumbuhan investasi mulai pulih. Pada 2017 dengan pertumbuhan 13%, di mana pada 2016 tumbuh 12%," kata Erani
Dari sisi realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sejak 2016 pertumbuhan PMDN rata-rata di atas 20%. Hingga Triwulan III-2018, penyerapan tenaga kerja PMDN mencapai 327.206 orang.
"Ini tak lepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh seperti deregulasi dan debirokratisasi melalui paket-paket kebijakan, implementasi OSS, peningkatan peringkat daya saing, dan peringkat ease cost doing business," jelasnya.
Klaim Hentikan Deindustrialisasi
"Ketika Jokowi menjabat, Bank Dunia menghitung tingkat pertumbuhan potensial Indonesia adalah 5,5 persen," tulis The Economist.
"Cara terbaik untuk meningkatkan jumlah itu adalah dengan menghidupkan kembali sektor manufaktur, meniru negara-negara Asia lainnya dengan menjadi bagian dari rantai pasokan global."
Menurut Erani, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah menghentikan persoalan deindustrialisasi, serta mendorong proses reindustrialisasi, melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Berbagai BUMN industri strategis, seperti PT INKA, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT PINDAD, PT Barata Indonesia, Krakatau Steel telah mampu menembus pasar internasional," kata Erani.
"Jika mampu ekspor berarti kegiatan produksi di sektor industri terus berjalan dan lapangan kerja tentu kian terbuka."
Selain itu, industri unggulan mampu tumbuh positif di atas pertumbuhan ekonomi nasional, seperti industri makanan dan minuman 8%, industri kimia, farmasi, dan obat 5,87%, serta industri mesin dan perlengkapan 6,06%.
"Ekspor produk industri manufaktur pada semester I-2018 mencapai 71,6% dari total ekspor. Tenaga kerja sektor industri meningkat 17% dari 15 juta orang pada 2014 menjadi 18 juta orang pada 2018."
Bahkan, laporan Bank Dunia di 2017, Indonesia menempati urutan ke-5 negara dengan kontribusi industri manufaktur tertinggi, yaitu 20,5 persen. Sedangkan empat (4) negara lainya adalah China 28,8%, Korea Selatan 27%, Jepang 21%, dan Jerman 20,6%.
Janji Belum Terpenuhi, Tapi Kondisi Membaik
"Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, di mana pengembalian belum sesuai dengan janjinya," tulis artikel The Economist. "Selama kampanye 2014, Jokowi berjanji untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7 persen per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya. Realisasinya sekitar 5 persen sejak ia menjabat."
Erani menjelaskan, tren pertumbuhan ekonomi mulai membaik dan berkualitas. Untuk pertama kalinya sejak 2016 pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan.
Kemiskinan turun dari 11% di 2014 menjadi 9,6% di 2018, pengangguran turun dari 5,94% di 2014 menjadi 5,3% di 2018, ketimpangan pendapatan turun dari 0,4 di 2014 menjadi 0,38 di 2018. Tak hanya itu, inflasi pun terjaga.
Sepanjang 2015 - 2018 inflasi harga pangan hanya 2,2% per tahun jauh lebih rendah dari 2010 - 2013 rata-rata 9,6% per tahun, dan 2005 - 2008 rata-rata 14,3% per tahun.
"Manajemen fiskal terkelola dengan baik, yang tergambar dari defisit di bawah 3% dari PDB dan utang di bawah 30% dari PDB. Indikator sektor keuangan sehat. NPL di bawah 5% dan CAR di atas 20%," katanya.
RI Siap Hadapi Awam Suram di 2019
"Prospek untuk 2019 terlihat tidak lebih baik, terutama karena bank sentral telah menaikkan suku bunga enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan yang mengkhawatirkan dalam mata uang." tulis artikel The Economist.
Erani menjelaskan, kondisi ekonomi dunia tidak berada dalam kondisi bugar selama 2018, dan memaksa sebagian besar negara menggunakan kebijakan yang cenderung ketat agar stabilitas ekonomi terjaga. Beberapa faktor pendorongnya adalah kenaikan suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak, dan dampak perang dagang.
Ini menyebabkan tekanan pada neraca transaksi berjalan dan nilai tukar. Dengan berbagai kondisi yang terjadi, kenaikan suku bunga dilakukan oleh hampir seluruh bank sentral dengan besaran yang berbeda. Indonesia, pun melakukan hal serupa.
Selain lewat kebijakan moneter, pemerintah juga mengeluarkan beberapa langkah untuk menguragi tekanan pada neraca transaksi berjalan, seperti menaikkan PPh barang impor, penggunaan B20 untuk mengurangi impor BBM.
Bantah Anggaran Subsidi Makin Bengkak
The Economist menilai, Jokowi telah "berubah arah". Fokusnya kini telah terbagi dengan anggaran pembelanjaan subsidi, sehingga membuat anggaran belanja modal untuk infrastruktur justru menurun.
Sepanjang 2005 - 2009, porsi belanja subsidi terhadap belanja negara mencapai 20,5% per tahun, sedangkan pada periode 2010-2014 rata-rata 21,6% per tahun. Pada 2015-2019, subsidi hanya mengambil porsi 9,5% per tahun terhadap belanja negara. Pada 2019, porsi belanja subsidi hanya 9,1% dari belanja negara.
Dari sisi pertumbuhan, belanja subsidi sepanjang 2010 - 2014 naik rata-rata 24,6% per tahun; sedangkan pada periode 2015 - 2019 turun rata-rata 6% per tahun
Genjot Kualitas SDM RI
Alasan berikutnya berkaitan dengan ketenagakerjaan di Indonesia. The Economist menilai bahwa tenaga kerja Indonesia masih belum terampil, bahkan mereka pun menuntut upah yang tinggi.
Terkait dengan sektor ketenagakerjaan, ada beberapa data yang menunjukkan perkembangan menggembirakan, menurut Erani. Berikut data yang disampaikan :
Porsi tenaga kerja formal meningkat. Pada Agustus 2014, porsi pekerja formal mencapai 40% dan meningkat menjadi 43% pada Agustus 2018. Hal ini menggambarkan kualitas tenaga kerja semakin membaik.
Porsi tenaga kerja setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu menurun. Pada Agustus 2018, porsi tenaga kerja yang berstatus setengah penganggur dan pekerja paruh waktu masing-masing 22 persen dan 6,6 persen dari tenaga kerja, sedangkan pada Agustus 2014 masing-masing 22,7 persen dan 8,4 persen.
Produktivitas tenaga kerja Indonesia pada kenyataannya terus meningkat. Data ILO menunjukkan produktivitas pekerja pada periode 2014 - 2018 tumbuh sebesar US$1.408 atau 18%. Peningkatan itu masih lebih baik dari periode 2009 - 2013 yang hanya naik sebesar US$1.122 atau 17%.
Pemerintah tidak hanya menitikberatkan pada aspek produktivitas semata, namun juga fokus pada peningkatan kualitas SDM agar dalam jangka panjang produktivitas tenaga kerja semakin baik
Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan upah minimum sebagai komitmen mendorong produktivitas yang disesuaikan dengan kemampuan pelaku industri. Rata-rata upah minimum provinsi (UMP) secara nasional sepanjang 2014 - 2019 naik 60%.
Pemerintah telah mendorong program vokasi dan bekerja sama dengan pelaku industri agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM) tenaga kerja yang siap kerja dan ahli di bidangnya (program link and match). (sef/sef)
"Kami mengapresiasi atas kritik yang disampaikan oleh The Economist," kata Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika.
"Namun, banyak dari kritik itu yang perlu diklarifikasi karena tidak didasarkan kepada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu," tegasnya.
Investasi yang Tetap Terjaga
Media ekonomi asal Inggris itu mengkritisi kebijakan pemerintahan, yang ditekankan pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan mengedepankan geliat investasi menarik investor.
The Economist menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mampu membantu laju pertumbuhan ekonomi suatu negara, ialah investasi, sesuatu yang selama ini memang digenjot oleh pemerintahan.
Menurut Erani, sepanjang 2015 - 2017, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) rata-rata tumbuh 5,2 persen per tahun.
Sementara itu, pada periode 2012-2014 rata-rata tumbuh 3,5 persen per tahun. Jika memperhatikan perkembangan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dunia mulai melambat sejak 2011 sampai dengan 2015. Ini memberikan pengaruh pada arus modal ke sejumlah negara termasuk Indonesia.
Di Indonesia, pada 2012 total penanaman modal tumbuh hingga 24% dan mencapai level tertinggi pada 2013 sebesar 27%. Namun, realisasi tersebut turun signifikan dan hanya tumbuh 16 persen pada 2014.
"Tren perlambatan pertumbuhan investasi mulai pulih. Pada 2017 dengan pertumbuhan 13%, di mana pada 2016 tumbuh 12%," kata Erani
Dari sisi realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sejak 2016 pertumbuhan PMDN rata-rata di atas 20%. Hingga Triwulan III-2018, penyerapan tenaga kerja PMDN mencapai 327.206 orang.
"Ini tak lepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh seperti deregulasi dan debirokratisasi melalui paket-paket kebijakan, implementasi OSS, peningkatan peringkat daya saing, dan peringkat ease cost doing business," jelasnya.
Klaim Hentikan Deindustrialisasi
"Ketika Jokowi menjabat, Bank Dunia menghitung tingkat pertumbuhan potensial Indonesia adalah 5,5 persen," tulis The Economist.
"Cara terbaik untuk meningkatkan jumlah itu adalah dengan menghidupkan kembali sektor manufaktur, meniru negara-negara Asia lainnya dengan menjadi bagian dari rantai pasokan global."
Menurut Erani, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah menghentikan persoalan deindustrialisasi, serta mendorong proses reindustrialisasi, melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Berbagai BUMN industri strategis, seperti PT INKA, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT PINDAD, PT Barata Indonesia, Krakatau Steel telah mampu menembus pasar internasional," kata Erani.
"Jika mampu ekspor berarti kegiatan produksi di sektor industri terus berjalan dan lapangan kerja tentu kian terbuka."
Selain itu, industri unggulan mampu tumbuh positif di atas pertumbuhan ekonomi nasional, seperti industri makanan dan minuman 8%, industri kimia, farmasi, dan obat 5,87%, serta industri mesin dan perlengkapan 6,06%.
"Ekspor produk industri manufaktur pada semester I-2018 mencapai 71,6% dari total ekspor. Tenaga kerja sektor industri meningkat 17% dari 15 juta orang pada 2014 menjadi 18 juta orang pada 2018."
Bahkan, laporan Bank Dunia di 2017, Indonesia menempati urutan ke-5 negara dengan kontribusi industri manufaktur tertinggi, yaitu 20,5 persen. Sedangkan empat (4) negara lainya adalah China 28,8%, Korea Selatan 27%, Jepang 21%, dan Jerman 20,6%.
Janji Belum Terpenuhi, Tapi Kondisi Membaik
"Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, di mana pengembalian belum sesuai dengan janjinya," tulis artikel The Economist. "Selama kampanye 2014, Jokowi berjanji untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7 persen per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya. Realisasinya sekitar 5 persen sejak ia menjabat."
Erani menjelaskan, tren pertumbuhan ekonomi mulai membaik dan berkualitas. Untuk pertama kalinya sejak 2016 pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan.
Kemiskinan turun dari 11% di 2014 menjadi 9,6% di 2018, pengangguran turun dari 5,94% di 2014 menjadi 5,3% di 2018, ketimpangan pendapatan turun dari 0,4 di 2014 menjadi 0,38 di 2018. Tak hanya itu, inflasi pun terjaga.
Sepanjang 2015 - 2018 inflasi harga pangan hanya 2,2% per tahun jauh lebih rendah dari 2010 - 2013 rata-rata 9,6% per tahun, dan 2005 - 2008 rata-rata 14,3% per tahun.
"Manajemen fiskal terkelola dengan baik, yang tergambar dari defisit di bawah 3% dari PDB dan utang di bawah 30% dari PDB. Indikator sektor keuangan sehat. NPL di bawah 5% dan CAR di atas 20%," katanya.
RI Siap Hadapi Awam Suram di 2019
"Prospek untuk 2019 terlihat tidak lebih baik, terutama karena bank sentral telah menaikkan suku bunga enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan yang mengkhawatirkan dalam mata uang." tulis artikel The Economist.
Erani menjelaskan, kondisi ekonomi dunia tidak berada dalam kondisi bugar selama 2018, dan memaksa sebagian besar negara menggunakan kebijakan yang cenderung ketat agar stabilitas ekonomi terjaga. Beberapa faktor pendorongnya adalah kenaikan suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak, dan dampak perang dagang.
Ini menyebabkan tekanan pada neraca transaksi berjalan dan nilai tukar. Dengan berbagai kondisi yang terjadi, kenaikan suku bunga dilakukan oleh hampir seluruh bank sentral dengan besaran yang berbeda. Indonesia, pun melakukan hal serupa.
Selain lewat kebijakan moneter, pemerintah juga mengeluarkan beberapa langkah untuk menguragi tekanan pada neraca transaksi berjalan, seperti menaikkan PPh barang impor, penggunaan B20 untuk mengurangi impor BBM.
Bantah Anggaran Subsidi Makin Bengkak
The Economist menilai, Jokowi telah "berubah arah". Fokusnya kini telah terbagi dengan anggaran pembelanjaan subsidi, sehingga membuat anggaran belanja modal untuk infrastruktur justru menurun.
Sepanjang 2005 - 2009, porsi belanja subsidi terhadap belanja negara mencapai 20,5% per tahun, sedangkan pada periode 2010-2014 rata-rata 21,6% per tahun. Pada 2015-2019, subsidi hanya mengambil porsi 9,5% per tahun terhadap belanja negara. Pada 2019, porsi belanja subsidi hanya 9,1% dari belanja negara.
Dari sisi pertumbuhan, belanja subsidi sepanjang 2010 - 2014 naik rata-rata 24,6% per tahun; sedangkan pada periode 2015 - 2019 turun rata-rata 6% per tahun
Genjot Kualitas SDM RI
Alasan berikutnya berkaitan dengan ketenagakerjaan di Indonesia. The Economist menilai bahwa tenaga kerja Indonesia masih belum terampil, bahkan mereka pun menuntut upah yang tinggi.
Terkait dengan sektor ketenagakerjaan, ada beberapa data yang menunjukkan perkembangan menggembirakan, menurut Erani. Berikut data yang disampaikan :
Porsi tenaga kerja formal meningkat. Pada Agustus 2014, porsi pekerja formal mencapai 40% dan meningkat menjadi 43% pada Agustus 2018. Hal ini menggambarkan kualitas tenaga kerja semakin membaik.
Porsi tenaga kerja setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu menurun. Pada Agustus 2018, porsi tenaga kerja yang berstatus setengah penganggur dan pekerja paruh waktu masing-masing 22 persen dan 6,6 persen dari tenaga kerja, sedangkan pada Agustus 2014 masing-masing 22,7 persen dan 8,4 persen.
Produktivitas tenaga kerja Indonesia pada kenyataannya terus meningkat. Data ILO menunjukkan produktivitas pekerja pada periode 2014 - 2018 tumbuh sebesar US$1.408 atau 18%. Peningkatan itu masih lebih baik dari periode 2009 - 2013 yang hanya naik sebesar US$1.122 atau 17%.
Pemerintah tidak hanya menitikberatkan pada aspek produktivitas semata, namun juga fokus pada peningkatan kualitas SDM agar dalam jangka panjang produktivitas tenaga kerja semakin baik
Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan upah minimum sebagai komitmen mendorong produktivitas yang disesuaikan dengan kemampuan pelaku industri. Rata-rata upah minimum provinsi (UMP) secara nasional sepanjang 2014 - 2019 naik 60%.
Pemerintah telah mendorong program vokasi dan bekerja sama dengan pelaku industri agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM) tenaga kerja yang siap kerja dan ahli di bidangnya (program link and match). (sef/sef)
Pages
Most Popular