
Terpopuler Januari 2019
Jokowi vs The Economist
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
31 December 2019 09:18

Ada beberapa hal yang dikritisi The Economist. Pertama, saat ini merupakan tahun politik dan para investor masih menahan untuk berinvestasi sembari menunggu siapa presiden terpilih beserta kebijakannya.
Apabila Jokowi kembali terpilih, The Economist menegaskan bahwa banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki ekonomi. Salah satunya, yaitu menepati janji pertumbuhan ekonomi hingga ke 7%.
"Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, di mana pengembalian belum sesuai dengan janjinya. Selama kampanye 2014, Jokowi berjanji untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7% per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya. Realisasinya sekitar 5% sejak ia menjabat,"
"Prospek untuk 2019 terlihat tidak lebih baik, terutama karena bank sentral telah menaikkan suku bunga enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan yang mengkhawatirkan dalam mata uang,"
Kedua, untuk menarik investasi, pembangunan infrastruktur sudah menjadi kunci. Beberapa tahun masa jabatannya, fokus Jokowi adalah menyelesaikan pembangunan yang tertunda dari pemerintahan sebelumnya, dan membangun apa yang belum ada.
Namun dalam anggaran tahun lalu, The Economist menilai, Jokowi telah "berubah arah". Fokusnya terbagi sehingga membuat anggaran belanja modal untuk infrastruktur menurun, digantikan dengan belanja subsidi.
Alasan ketiga, berkaitan dengan regulasi pemerintah yang terkesan maju-mundur. Meskipun pemerintah telah menawarkan sejumlah insentif dan menjanjikan kemudahan perizinan, The Economist menyebut pemerintah "setengah hati".
"Untuk merayu investor, pemerintah telah mengurangi batasan kepemilikan asing, tetapi hanya dengan setengah hati. Setiap kali peraturan dilonggarkan, kaum nasionalis melolong, jadi pembatasan tetap keras, membuat para investor kecil hati."
Alasan berikutnya berkaitan dengan tenaga kerja Indonesia. The Economist menuliskan bahwa tenaga kerja Indonesia kurang terampil, bahkan tenaga kerja kerap kali menuntut upah yang cukup tinggi.
Upah tenaga kerja Indonesia bahkan mencapai 45%, lebih tinggi dari tenaga kerja Vietnam. Apalagi, Vietnam selama ini disebut-sebut menjadi saingan terberat pemerintah Indonesia dalam menarik hati investor China yang terdampak perang dagang.
"Sayangnya, tenaga kerja Indonesia tidak memiliki kualifikasi yang baik atau harga yang seharusnya. Para pemimpin bisnis mengeluh tentang kurangnya pekerja terampil,"
"Standar pendidikan rendah, meskipun ada hukum yang memaksa pemerintah membelanjakan seperlima dari anggarannya untuk sekolah,"
Masih dalam artikel tersebut, The Economist pun mengingatkan agar pemerintah serius dalam melihat potensi ekonomi yang dimiliki Indonesia. Apakah itu dari sumber daya alamnya, atau bonus demografinya.
Hal ini diharapkan menjadi salah satu cara pemerintah agar bisa menentukan regulasi yang tepat sasaran. Terutama jika Jokowi kembali terpilih sebagai Presiden Indonesia periode 2019-2024 untuk kedua kalinya
"Jika upaya pemerintah dalam keterbukaan ekonomi lemah, pertumbuhan 7% akan tetap di luar jangkauan. Jika pada April Jokowi kembali memenangkan pemilihan, dia memiliki mandat untuk melakukan perubahan besar yang dibutuhkan Indonesia," tulis The Economist.
(sef/sef)
Apabila Jokowi kembali terpilih, The Economist menegaskan bahwa banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki ekonomi. Salah satunya, yaitu menepati janji pertumbuhan ekonomi hingga ke 7%.
"Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, di mana pengembalian belum sesuai dengan janjinya. Selama kampanye 2014, Jokowi berjanji untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7% per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya. Realisasinya sekitar 5% sejak ia menjabat,"
Kedua, untuk menarik investasi, pembangunan infrastruktur sudah menjadi kunci. Beberapa tahun masa jabatannya, fokus Jokowi adalah menyelesaikan pembangunan yang tertunda dari pemerintahan sebelumnya, dan membangun apa yang belum ada.
Namun dalam anggaran tahun lalu, The Economist menilai, Jokowi telah "berubah arah". Fokusnya terbagi sehingga membuat anggaran belanja modal untuk infrastruktur menurun, digantikan dengan belanja subsidi.
Alasan ketiga, berkaitan dengan regulasi pemerintah yang terkesan maju-mundur. Meskipun pemerintah telah menawarkan sejumlah insentif dan menjanjikan kemudahan perizinan, The Economist menyebut pemerintah "setengah hati".
"Untuk merayu investor, pemerintah telah mengurangi batasan kepemilikan asing, tetapi hanya dengan setengah hati. Setiap kali peraturan dilonggarkan, kaum nasionalis melolong, jadi pembatasan tetap keras, membuat para investor kecil hati."
Alasan berikutnya berkaitan dengan tenaga kerja Indonesia. The Economist menuliskan bahwa tenaga kerja Indonesia kurang terampil, bahkan tenaga kerja kerap kali menuntut upah yang cukup tinggi.
Upah tenaga kerja Indonesia bahkan mencapai 45%, lebih tinggi dari tenaga kerja Vietnam. Apalagi, Vietnam selama ini disebut-sebut menjadi saingan terberat pemerintah Indonesia dalam menarik hati investor China yang terdampak perang dagang.
"Sayangnya, tenaga kerja Indonesia tidak memiliki kualifikasi yang baik atau harga yang seharusnya. Para pemimpin bisnis mengeluh tentang kurangnya pekerja terampil,"
"Standar pendidikan rendah, meskipun ada hukum yang memaksa pemerintah membelanjakan seperlima dari anggarannya untuk sekolah,"
Masih dalam artikel tersebut, The Economist pun mengingatkan agar pemerintah serius dalam melihat potensi ekonomi yang dimiliki Indonesia. Apakah itu dari sumber daya alamnya, atau bonus demografinya.
Hal ini diharapkan menjadi salah satu cara pemerintah agar bisa menentukan regulasi yang tepat sasaran. Terutama jika Jokowi kembali terpilih sebagai Presiden Indonesia periode 2019-2024 untuk kedua kalinya
"Jika upaya pemerintah dalam keterbukaan ekonomi lemah, pertumbuhan 7% akan tetap di luar jangkauan. Jika pada April Jokowi kembali memenangkan pemilihan, dia memiliki mandat untuk melakukan perubahan besar yang dibutuhkan Indonesia," tulis The Economist.
(sef/sef)
Pages
Most Popular