Terpopuler Januari 2019

Jokowi vs The Economist

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
31 December 2019 09:18
Jokowi vs The Economist
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Ada banyak peristiwa yang terjadi sepanjang tahun ini, dan CNBC Indonesia merangkum kembali berita-berita terpopuler selama 2019.

Salah satunya adalah kritik yang dilayangkan media ekonomi berskala internasional yang berbasis di London, The Economist, mengkritik tajam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam empat tahun pemerintahannya.


Kritik yang dilayangkan Economist berkaitan dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengedepankan geliat investasi untuk menarik investor asing

Kritik itu terungkap dalam artikel The Economist yang mengungkapkan beberapa faktor pendorong dan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa (31/12/2019).

Majalah yang didirikan pada 1843 oleh James Wilson itu menyebutkan salah satu faktor yang mampu membantu laju pertumbuhan ekonomi suatu negara, ialah investasi. Inilah yang hingga saat ini masih terus diupayakan pemerintah Indonesia.


"Ketika Jokowi menjabat, Bank Dunia menghitung bahwa tingkat pertumbuhan potensial Indonesia adalah 5,5%," tulis The Economist dalam artikelnya kala itu.

"Cara terbaik untuk meningkatkan jumlah itu adalah dengan menghidupkan kembali sektor manufaktur, meniru negara-negara Asia lainnya dengan menjadi bagian dari rantai pasokan global."

Dalam artikel tersebut dijelaskan, bahwa para investor merasa ragu untuk berinvestasi di Indonesia. Keraguan itu bukan tanpa alasan, dan pemerintah Indonesia harus berkaca untuk memperbaiki hal tersebut.

Kritik The Economist terhadap pemerintahan Jokowi pun menjadi salah satu berita terpopuler di CNBC Indonesia pada Januari 2019. Bagaimana cerita lengkapnya? Berikut rangkuman yang kami sajikan untuk Anda.

[Gambas:Video CNBC]



Ada beberapa hal yang dikritisi The Economist. Pertama, saat ini merupakan tahun politik dan para investor masih menahan untuk berinvestasi sembari menunggu siapa presiden terpilih beserta kebijakannya.

Apabila Jokowi kembali terpilih, The Economist menegaskan bahwa banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki ekonomi. Salah satunya, yaitu menepati janji pertumbuhan ekonomi hingga ke 7%.

"Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, di mana pengembalian belum sesuai dengan janjinya. Selama kampanye 2014, Jokowi berjanji untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7% per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya. Realisasinya sekitar 5% sejak ia menjabat,"

"Prospek untuk 2019 terlihat tidak lebih baik, terutama karena bank sentral telah menaikkan suku bunga enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan yang mengkhawatirkan dalam mata uang,"

Kedua, untuk menarik investasi, pembangunan infrastruktur sudah menjadi kunci. Beberapa tahun masa jabatannya, fokus Jokowi adalah menyelesaikan pembangunan yang tertunda dari pemerintahan sebelumnya, dan membangun apa yang belum ada.

Namun dalam anggaran tahun lalu, The Economist menilai, Jokowi telah "berubah arah". Fokusnya terbagi sehingga membuat anggaran belanja modal untuk infrastruktur menurun, digantikan dengan belanja subsidi.

Alasan ketiga, berkaitan dengan regulasi pemerintah yang terkesan maju-mundur. Meskipun pemerintah telah menawarkan sejumlah insentif dan menjanjikan kemudahan perizinan, The Economist menyebut pemerintah "setengah hati".

"Untuk merayu investor, pemerintah telah mengurangi batasan kepemilikan asing, tetapi hanya dengan setengah hati. Setiap kali peraturan dilonggarkan, kaum nasionalis melolong, jadi pembatasan tetap keras, membuat para investor kecil hati."

Alasan berikutnya berkaitan dengan tenaga kerja Indonesia. The Economist menuliskan bahwa tenaga kerja Indonesia kurang terampil, bahkan tenaga kerja kerap kali menuntut upah yang cukup tinggi.

Upah tenaga kerja Indonesia bahkan mencapai 45%, lebih tinggi dari tenaga kerja Vietnam. Apalagi, Vietnam selama ini disebut-sebut menjadi saingan terberat pemerintah Indonesia dalam menarik hati investor China yang terdampak perang dagang.

"Sayangnya, tenaga kerja Indonesia tidak memiliki kualifikasi yang baik atau harga yang seharusnya. Para pemimpin bisnis mengeluh tentang kurangnya pekerja terampil,"

"Standar pendidikan rendah, meskipun ada hukum yang memaksa pemerintah membelanjakan seperlima dari anggarannya untuk sekolah,"

Masih dalam artikel tersebut, The Economist pun mengingatkan agar pemerintah serius dalam melihat potensi ekonomi yang dimiliki Indonesia. Apakah itu dari sumber daya alamnya, atau bonus demografinya.

Hal ini diharapkan menjadi salah satu cara pemerintah agar bisa menentukan regulasi yang tepat sasaran. Terutama jika Jokowi kembali terpilih sebagai Presiden Indonesia periode 2019-2024 untuk kedua kalinya

"Jika upaya pemerintah dalam keterbukaan ekonomi lemah, pertumbuhan 7% akan tetap di luar jangkauan. Jika pada April Jokowi kembali memenangkan pemilihan, dia memiliki mandat untuk melakukan perubahan besar yang dibutuhkan Indonesia," tulis The Economist.


Menyikapi kritik The Economist, Istana Negara pun buka suara. Bagi lingkaran Istana, kritik yang disampaikan majalah yang berbasis di London itu tidak didasarkan pada data yang akurat dan komprehensif.

"Kami mengapresiasi atas kritik yang disampaikan oleh The Economist," kata Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika.

"Namun, banyak dari kritik itu yang perlu diklarifikasi karena tidak didasarkan kepada data yang akurat dan peta komprehensif atas kemajuan ekonomi Indonesia dari waktu ke waktu," tegasnya.

Berikut bantahan Istana Negara kepada CNBC Indonesia atas kritik yang dilontarkan The Economist :

Investasi yang Tetap Terjaga

Media ekonomi asal Inggris itu mengkritisi kebijakan pemerintahan, yang ditekankan pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan mengedepankan geliat investasi menarik investor.

The Economist menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mampu membantu laju pertumbuhan ekonomi suatu negara, ialah investasi, sesuatu yang selama ini memang digenjot oleh pemerintahan.

Menurut Erani, sepanjang 2015 - 2017, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) rata-rata tumbuh 5,2 persen per tahun.

Sementara itu, pada periode 2012-2014 rata-rata tumbuh 3,5 persen per tahun. Jika memperhatikan perkembangan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dunia mulai melambat sejak 2011 sampai dengan 2015. Ini memberikan pengaruh pada arus modal ke sejumlah negara termasuk Indonesia.

Di Indonesia, pada 2012 total penanaman modal tumbuh hingga 24% dan mencapai level tertinggi pada 2013 sebesar 27%. Namun, realisasi tersebut turun signifikan dan hanya tumbuh 16 persen pada 2014.

"Tren perlambatan pertumbuhan investasi mulai pulih. Pada 2017 dengan pertumbuhan 13%, di mana pada 2016 tumbuh 12%," kata Erani

Dari sisi realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), sejak 2016 pertumbuhan PMDN rata-rata di atas 20%. Hingga Triwulan III-2018, penyerapan tenaga kerja PMDN mencapai 327.206 orang.

"Ini tak lepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh seperti deregulasi dan debirokratisasi melalui paket-paket kebijakan, implementasi OSS, peningkatan peringkat daya saing, dan peringkat ease cost doing business," jelasnya.

Klaim Hentikan Deindustrialisasi

"Ketika Jokowi menjabat, Bank Dunia menghitung tingkat pertumbuhan potensial Indonesia adalah 5,5 persen," tulis The Economist.

"Cara terbaik untuk meningkatkan jumlah itu adalah dengan menghidupkan kembali sektor manufaktur, meniru negara-negara Asia lainnya dengan menjadi bagian dari rantai pasokan global."

Menurut Erani, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah menghentikan persoalan deindustrialisasi, serta mendorong proses reindustrialisasi, melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

"Berbagai BUMN industri strategis, seperti PT INKA, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT PINDAD, PT Barata Indonesia, Krakatau Steel telah mampu menembus pasar internasional," kata Erani.

"Jika mampu ekspor berarti kegiatan produksi di sektor industri terus berjalan dan lapangan kerja tentu kian terbuka."

Selain itu, industri unggulan mampu tumbuh positif di atas pertumbuhan ekonomi nasional, seperti industri makanan dan minuman 8%, industri kimia, farmasi, dan obat 5,87%, serta industri mesin dan perlengkapan 6,06%.

"Ekspor produk industri manufaktur pada semester I-2018 mencapai 71,6% dari total ekspor. Tenaga kerja sektor industri meningkat 17% dari 15 juta orang pada 2014 menjadi 18 juta orang pada 2018."

Bahkan, laporan Bank Dunia di 2017, Indonesia menempati urutan ke-5 negara dengan kontribusi industri manufaktur tertinggi, yaitu 20,5 persen. Sedangkan empat (4) negara lainya adalah China 28,8%, Korea Selatan 27%, Jepang 21%, dan Jerman 20,6%.

Janji Belum Terpenuhi, Tapi Kondisi Membaik

"Kerentanan terbesar Jokowi adalah ekonomi, di mana pengembalian belum sesuai dengan janjinya," tulis artikel The Economist. "Selama kampanye 2014, Jokowi berjanji untuk memberikan pertumbuhan PDB sebesar 7 persen per tahun pada akhir masa jabatan pertamanya. Realisasinya sekitar 5 persen sejak ia menjabat."

Erani menjelaskan, tren pertumbuhan ekonomi mulai membaik dan berkualitas. Untuk pertama kalinya sejak 2016 pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan secara bersamaan.

Kemiskinan turun dari 11% di 2014 menjadi 9,6% di 2018, pengangguran turun dari 5,94% di 2014 menjadi 5,3% di 2018, ketimpangan pendapatan turun dari 0,4 di 2014 menjadi 0,38 di 2018. Tak hanya itu, inflasi pun terjaga.

Sepanjang 2015 - 2018 inflasi harga pangan hanya 2,2% per tahun jauh lebih rendah dari 2010 - 2013 rata-rata 9,6% per tahun, dan 2005 - 2008 rata-rata 14,3% per tahun.

"Manajemen fiskal terkelola dengan baik, yang tergambar dari defisit di bawah 3% dari PDB dan utang di bawah 30% dari PDB. Indikator sektor keuangan sehat. NPL di bawah 5% dan CAR di atas 20%," katanya.

RI Siap Hadapi Awam Suram di 2019

"Prospek untuk 2019 terlihat tidak lebih baik, terutama karena bank sentral telah menaikkan suku bunga enam kali dalam sembilan bulan terakhir untuk menahan penurunan yang mengkhawatirkan dalam mata uang." tulis artikel The Economist.

Erani menjelaskan, kondisi ekonomi dunia tidak berada dalam kondisi bugar selama 2018, dan memaksa sebagian besar negara menggunakan kebijakan yang cenderung ketat agar stabilitas ekonomi terjaga. Beberapa faktor pendorongnya adalah kenaikan suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak, dan dampak perang dagang.

Ini menyebabkan tekanan pada neraca transaksi berjalan dan nilai tukar. Dengan berbagai kondisi yang terjadi, kenaikan suku bunga dilakukan oleh hampir seluruh bank sentral dengan besaran yang berbeda. Indonesia, pun melakukan hal serupa.

Selain lewat kebijakan moneter, pemerintah juga mengeluarkan beberapa langkah untuk menguragi tekanan pada neraca transaksi berjalan, seperti menaikkan PPh barang impor, penggunaan B20 untuk mengurangi impor BBM.

Bantah Anggaran Subsidi Makin Bengkak

The Economist menilai, Jokowi telah "berubah arah". Fokusnya kini telah terbagi dengan anggaran pembelanjaan subsidi, sehingga membuat anggaran belanja modal untuk infrastruktur justru menurun.

Sepanjang 2005 - 2009, porsi belanja subsidi terhadap belanja negara mencapai 20,5% per tahun, sedangkan pada periode 2010-2014 rata-rata 21,6% per tahun. Pada 2015-2019, subsidi hanya mengambil porsi 9,5% per tahun terhadap belanja negara. Pada 2019, porsi belanja subsidi hanya 9,1% dari belanja negara.

Dari sisi pertumbuhan, belanja subsidi sepanjang 2010 - 2014 naik rata-rata 24,6% per tahun; sedangkan pada periode 2015 - 2019 turun rata-rata 6% per tahun

Genjot Kualitas SDM RI

Alasan berikutnya berkaitan dengan ketenagakerjaan di Indonesia. The Economist menilai bahwa tenaga kerja Indonesia masih belum terampil, bahkan mereka pun menuntut upah yang tinggi.

Terkait dengan sektor ketenagakerjaan, ada beberapa data yang menunjukkan perkembangan menggembirakan, menurut Erani. Berikut data yang disampaikan :

Porsi tenaga kerja formal meningkat. Pada Agustus 2014, porsi pekerja formal mencapai 40% dan meningkat menjadi 43% pada Agustus 2018. Hal ini menggambarkan kualitas tenaga kerja semakin membaik.

Porsi tenaga kerja setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu menurun. Pada Agustus 2018, porsi tenaga kerja yang berstatus setengah penganggur dan pekerja paruh waktu masing-masing 22 persen dan 6,6 persen dari tenaga kerja, sedangkan pada Agustus 2014 masing-masing 22,7 persen dan 8,4 persen.

Produktivitas tenaga kerja Indonesia pada kenyataannya terus meningkat. Data ILO menunjukkan produktivitas pekerja pada periode 2014 - 2018 tumbuh sebesar US$1.408 atau 18%. Peningkatan itu masih lebih baik dari periode 2009 - 2013 yang hanya naik sebesar US$1.122 atau 17%.

Pemerintah tidak hanya menitikberatkan pada aspek produktivitas semata, namun juga fokus pada peningkatan kualitas SDM agar dalam jangka panjang produktivitas tenaga kerja semakin baik
Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan upah minimum sebagai komitmen mendorong produktivitas yang disesuaikan dengan kemampuan pelaku industri. Rata-rata upah minimum provinsi (UMP) secara nasional sepanjang 2014 - 2019 naik 60%.

Pemerintah telah mendorong program vokasi dan bekerja sama dengan pelaku industri agar menghasilkan sumber daya manusia (SDM) tenaga kerja yang siap kerja dan ahli di bidangnya (program link and match).
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular