
Apa Kabar Pak Suryo? Pajak Masih Kurang Rp 400 T Lebih Nih!
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 December 2019 16:12

Perkembangan terbaru, belum lama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan akan mengelurkan aturan turunan dalam bentuk Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendag).
"Nanti kita akan lihat. [Turunannya] Permendag," kata Agus saat diminta tanggapan di sela acara Penghargaan Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan Tahun 2019 di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (4/12/2019).
"Macam-macam, salah satunya pajak [yang akan diatur]," kata Agus.
Selain pajak bagi pelaku usaha yang memasarkan produknya secara digital, marketplace dari luar negeri yang beroperasi di Indonesia juga siap dipajaki oleh pemerintah.
Dalam pasal 7 PP Nomor 80/2019 tertulis bahwa setiap PMSE asal luar negeri wajib menujuk perwakilan yang berkedudukan di wilayah hukum NKRI yang dapat bertindak sebagai dan atas nama pelaku usaha yang dimaksud.
Artinya, e-commerce asal luar negeri wajib hukumnya untuk memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang dipergunakan subjek pajak luar negeri. Adapun mekanisme perpajakan diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
"Terhadap kegiatan usaha PMSE berlaku ketentuan dan mekanisme perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan," demikian seperti dikutip dari Pasal 8 PP Nomor 80/2019.
Sebelumnya, Sri Mulyani telah terlihat serius untuk memajaki para pelaku usaha digital seperti Netflix. Pada bulan Juli lalu, Sri Mulyani meresmikan dua Direktorat di bawah Ditektorat Jenderal Pajak. Keduanya adalah Direktorat Data Informasi Perpajakan serta Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi yang masing-masing akan dipimpin oleh seorang Direktur.
"Saya harap bawa dua direktorat baru ini yang akan menjadi kunci di dalam menentukan kemampuan kita untuk melihat, menganalisa, mencari data, mengolahnya," ujar Sri Mulyani di Gedung Ditjen Pajak Pusat pada awal bulan Juli.
Sri Mulyani menjelaskan kedua Direktorat ini nantinya akan difokuskan untuk perpajakan di industri digital. Nantinya, keduanya akan menghimpun data langsung dari para pelaku ekonomi digital.
Seperti yang diketahui, bukan hanya pola dalam mengonsumsi barang jadi yang sudah berubah, namun pola konsumsi untuk konten-konten digital juga telah bertransformasi secara signifikan.
Kini, untuk mendengarkan musik dan menonton film, tak lagi perlu membeli CD di toko konvensional seperti zaman dulu, tapi cukup dengan berlangganan kepada perusahaan-perusahaan yang menyediakan jasa distribusi secara digital, Spotify dan Netflix contohnya.
Namun hingga kini, walaupun sudah begitu banyak pelanggan Spotify dan Netflix yang berdomisili di Indonesia, tak pernah ada ceritanya mereka membayar pajak. Pasalnya selama ini, kedua perusahaan tersebut belum berstatus BUT (Bentuk Usaha Tetap) atau belum memiliki kantor fisik sehingga tak bisa dipajaki. Padahal kalau dihitung-hitung, nilainya seharusnya cukup besar dan bisa dialokasikan untuk pembangunan.
Sri Mulyani pada awal bulan lalu menegaskan bahwa perusahaan digital seperti Netflix dan Spotify harus membayar pajak. Dengan keberhasilan Australia dan Singapura dalam mengenakan pajak kepada Netflix, Indonesia menjadi terpacu untuk melakukan hal serupa.
"Income banyak Netflix, Spotify, mereka tak punya perusahaan di sini. Tidak akan bisa mungut pajak karena mereka nggak punya BUT (Bentuk Usaha Tetap)," ungkap Sri Mulyani di Gedung DPR, Senin (4/11/2019).
"Oleh karena itu dalam undang-undang yang kita usulkan selesai bahwa konsep mengenai ekonomi digital tidak memiliki BUT tetapi aktifitasnya banyak seperti yang saya sebutkan, maka mereka memiliki kehadiran ekonomis yang signifikan atau economy present yang signifikan. Oleh karena itu wajib membayar pajak," tegas Sri Mulyani.
Oh ya, terkait dengan lesunya penerimaan pajak pada tahun ini, tampaknya tak perlu khawatir secara berlebihan. Bahkan sebelum periode dua pemerintahan Jokowi dimulai, Sri Mulyani sudah terlihat bersikap berani dengan mengambil ancang-ancang untuk memperlebar defisit fiskal.
Pada tanggal 17 Oktober 2019, Sri Mulyani menandatangani Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 144/PMK.05.2019 mengenai perkiraan defisit dan tambahan pembiayaan defisit APBN 2019.
Dalam PMK tersebut, diatur bilamana defisit fiskal tahun 2019 melebih pagu yang ditetapkan dalam APBN, maka akan ada tambahan pembiayaan.
"Dalam hal besaran perkiraan Defisit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 melampaui target Defisit APBN Tahun Anggaran 2019 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, perkiraan tambahan Defisit tersebut dibiayai dengan menggunakan tambahan pembiayaan," demikian tulis Pasal 4 aturan tersebut.
Tambahan pembiayaan yang dimaksud bisa berasal dari tiga macam sumber yakni dana Saldo Anggaran Lebih (SAL), penarikan pinjaman tunai, dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).
Sejauh ini, walaupun penerimaan negara loyo (karena penerimaan pajak lemah), realisasi belanja terbilang cukup oke. Pada periode Januari-Oktober 2018, realisasi penerimaan perpajakan mencapai 71,73% dari target untuk keseluruhan tahun 2018, sementara penerimaan secara keseluruhan realisasinya mencapai 78,32%. Di saat yang sama, realisasi belanja negara adalah sebesar 77,49%.
Sementara itu, pada periode Januari-Oktober 2019, walaupun realisasi penerimaan perpajakan hanya mencapai 65,71% dari target dan realisasi penerimaan secara keseluruhan hanya mencapai 69,69%, realisasi belanja negara bisa mencapai 73,06%.
Terlihat bahwa Sri Mulyani yang baru saja dinobatkan oleh CNBC Indonesia sebagai menteri terbaik memang berkomitmen untuk menjaga belanja negara di level yang tinggi, terlepas dari lesunya penerimaan.
Semoga di tahun-tahun mendatang, reformasi perpajakan yang saat ini tengah dikerjakan sudah bisa rampung dan berlaku efektif, sehingga penerimaan perpajakan akan menjadi lebih maksimal.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular