
Apa Kabar Pak Suryo? Pajak Masih Kurang Rp 400 T Lebih Nih!

Namun, lesunya laju perekonomian tak bisa disalahkan sepenuhnya sebagai faktor yang membuat penerimaan perpajakan loyo. Pasalnya, elemen yang krusial dalam penerimaan perpajakan yakni penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) justru melempem kala konsumsi masyarakat sedang relatif tinggi.
Di dalam APBN 2019, dari target penerimaan perpajakan yang senilai Rp 1.786,38 triliun, sebanyak 36,7% ditargetkan berasal dari penerimaan PPN.
BPS mencatat bahwa sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019 konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 5,07% jika dibandingkan dengan capaian pada sembilan bulan pertama tahun 2018. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi ketimbang pertumbuhan pada sembilan bulan pertama tahun 2018 yang sebesar 5,03%. Untuk diketahui, konsumsi rumah berkontribusi lebih dari 50% dalam membentuk perekonomian Indonesia.
Sepanjang Januari-Oktober 2019, penerimaan PPN dalam negeri tercatat senilai Rp 234,8 triliun atau terkontraksi 2,42% secara tahunan. Padahal pada Januari-Oktober 2018, ada pertumbuhan sebesar 8,94%.
Patut dicurigai, hal ini bisa terjadi lantaran pemerintah hingga kini belum bisa memajaki para pelaku usaha yang memasarkan produknya secara digital melalui berbagai marketplace yang menjamur di Indonesia.
Seperti yang diketahui, pola konsumsi masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan yang signifikan. Toko-toko konvensional mulai ditinggalkan dan kegiatan jual-beli beralih menggunakan platform digital.
Mulai dari pakaian, perangkat telekomunikasi, hingga Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) semua bisa diperoleh dengan mudah dengan beberapa kali sentuhan di perangkat smartphone.
Namun sejauh ini, pemerintah belum berani memajaki para pelaku usaha yang memasarkan produknya secara digital. Sejatinya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengarahkan supaya pelaku usaha digital dipajaki dengan meneken PMK-210/PMK.010/2018 mengenai Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-Commerce) yang ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2018 lalu.
Namun, kebijakan itu ditarik hanya beberapa hari menjelang penerapan.
"Saya ingin sampaikan pengumuman pada media, pertama selama ini banyak yang memberitakan soal PMK 210 seolah-olah pemerintah buat pajak baru," kata Sri Mulyani di Kantor Pajak Tebet, Jumat (29/3/2019).
"Begitu banyak simpang siur. Kami sudah koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan banyak yang collect info dari perusahaan marketplace. Dengan simpang siur kami anggap perlu sosialisasi lebih lagi pada seluruh stakeholder, masyarakat, perusahaan, memahami seluruhnya."
"Saya memutuskan menarik PMK 210/2018. Itu kita tarik dengan demikian yang simpang siur tanggal 1 April ada pajak e-commerce itu nggak benar, kami putuskan tarik PMK-nya," kata Sri Mulyani.
Padahal, sudah waktunya pemerintah bersikap tegas terhadap para pelaku usaha yang memasarkan produknya secara digital. Kalau berbicara mengenai asas keadilan, sikap pemerintah saat ini sangatlah tidak fair terhadap pelaku usaha konvensional yang bisnisnya direnggut oleh maraknya kehadiran marketplace di tanah air.
Kalau hal ini terus dibiarkan, bukan tak mungkin kepatuhan wajib pajak di Indonesia akan menjadi semakin rendah lantaran ada rasa cemburu melihat perlakuan pemerintah terhadap pelaku usaha yang memasarkan produknya di marketplace. (ank/ank)
