
Jangan Diam Pak Jokowi, Lifting Minyak RI Bisa Anjlok 50%!
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
05 December 2019 10:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak tahun 2010, lifting minyak tanah air terus mengalami penurunan. Padahal kebutuhan minyak dalam negeri terus naik.
Pada 2010,rata-rata lifting minyak Indonesia mampu mencapai 953,9 ribu barel per hari (bpd). Namun jumlah tersebut turun drastis. Terakhir tahun lalu lifting minyak Indonesia hanya 778 ribu bpd. Tahun 2019 bahkan hanya di kisaran 750 ribu bpd. Artinya dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun lifting minyak turun 21,4%.
Jika hal ini tak segera disiasati, maka pada 2030 lifting minyak RI bisa sampai 300 ribu bpd. Padahal kebutuhan minyak tanah air terus mengalami peningkatan. Menurut data CEIC, konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,4 juta bpd. Konsumsi minyak naik 26,2% mencapai 1,78 juta bpd.
Jangan biarkan penyakit kronis ini terus menggerogoti neraca dagang migas RI. Akibat adanya gap antara supply & demand, RI harus membuka keran impor minyak dan olahan minyak alias BBM. Terakhir neraca dagang minyak tanah air membukukan defisit sebesar US$ 1,24 miliar, melebar dari bulan sebelumnya yang mencapai US$ 1,04 miliar.
Sebenarnya penurunan lifting minyak ini diakibatkan oleh penuaan sumur minyak maupun fasilitas. Sehingga perlu ada langkah yang jelas dari pemerintah untuk segera menanggulangi permasalahan ini agar tak berlarut-larut.
Demi mengurai benang kusut masalah minyak dalam negeri, aspek strategis maupun teknis harus dipertimbangkan. Aktivitas eksplorasi maupun eksploitasi dibutuhkan untuk menambal gap antara lifting dan konsumsi minyak.
Menurut laporan SKK Migas, sejak 2012-2017 investasi untuk aktivitas ekploitasi dan eksplorasi migas terus mengalami penurunan. Untuk aktivitas eksplorasi sendiri pada 2012 realisasinya mencapai US$ 16,5 miliar. Jumlah tersebut turun menjadi US$ 10,1 miliar pada 2017.
Tak jauh berbeda dengan aktivitas eksplorasi, realisasi investasi untuk eksplorasi juga mengalami penurunan. Pada 2012 SKK Migas mencatat realisasi eksplorasi mencapai US$ 1,35 miliar dan turun menjadi US$ 200 juta pada 2017.
Eksplorasi membutuhkan uang yang tak sedikit dan membutuhkan peranan investor. Untuk mendatangkan investor iklim investasi dalam negeri harus diperbaiki. Regulasi harus jelas dan tidak tumpang tindih maupun kontradiktif, yang lebih penting lagi adalah memberikan kepastian hukum terhadap investor. Dari segi perizinan juga harus dibenahi supaya tidak ada birokrasi berbelit-belit lagi yang investor keluhkan.
Kebijakan lain seperti insentif juga patut dipertimbangkan agar investor mau menggarap sektor migas dalam negeri. Apalagi sejak harga minyak mentah anjlok pada 2014 dan belum pulih betul, investor berhati-hati betul untuk investasi di proyek eksplorasi mengingat margin yang diperoleh tentu jauh lebih kecil dan risiko lain seperti tidak ditemukannya minyak yang menyebabkan jadi ‘rugi bandar’.
Dari aspek teknis program seperti Workover/Wellservice (WOWS) dan Enhanced Oil Recvery (EOR) harus jadi agenda prioritas. Untuk WOWS, efisiensi waktu pengerjaan juga poin yang perlu dipertimbangkan agar target pengerjaan WOWS dapat tercapai dan memberi dampak lebih optimal dari sisi produksi.
Pada 2017, SKK Migas mencatat aktivitas Workover atau pengerjaan sumur mencapai 748 sumur dari target 926 atau setara dengan 80,7%. Sementara untuk aktivitas Wellservice justru melebihi target. Dari target 57.141 aktivitas realisasinya mencapai 65.948 aktivitas.
Untuk periode 2019, SKK Migas menargetkan Workover akan dilakukan di 969 sumur, dan akan ada kegiatan Wellservice sebanyak 25.926 aktivitas.
Jika WOWS dapat meningkatkan kapasitas lifting 10-15 bpd, maka lifting migas bisa mencapai lebih dari 250 ribu per hari. Tentu tak semudah itu perhitungannya karena banyak faktor lain yang juga mempengaruhi.
Langkah lain yang juga dapat ditempuh adalah dengan melakukan Enhanced Oil Recovery (EOR). EOR merupakan salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak yang masih berada di reservoir. EOR disebut juga recovery tersier.
Menggunakan metode ini jumlah yang minyak mentah yang berhasil di ekstrak mencapai 30%-60% dibanding metode primer dan sekunder yang hanya mencapai 20%-40%. EOR menggunakan metode yang lebih canggih dibandingkan dengan metode konvensional.
EOR menggunakan sejenis polimer atau zat kimia yang bernama surfaktan untuk membantu mengambil minyak yang terperangkap dalam batuan. Energy Information Agency (EIA) membuat program Technology Collaboration Program dengan salah satu fokus pengembangan teknologi EOR. Menurut EIA,metode EOR dapat meningkatkan produksi minyak secara substansial dan turut berperan dalam meremajakan sumur pengeboran.
Namun ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menerapkan teknologi ini dalam meningkatkan produksi minyak.
Beberapa faktor tersebut antara lain adalah karakteristik minyak dan sumur pengeboran, aktivitas penelitian dan pengembangan serta hasil dari pilot project hingga ketersediaan infrastruktur. Faktor-faktor di atas tentu akan mempengaruhi nilai keekonomisan dari teknologi ini.
Saat ini PT Pertamina Persero melalui anak perusahaannya PT Pertamina EP telah memulai proyek EOR untuk meningkatkan produksi minyak mentah tanah air.
Mengutip website resmi Pertamina, implementasi EOR menggunakan bahan kimia telah dilakukan di lapangan Tanjung sejak Desember tahun lalu. Teknologi injeksi polymer merupakan teknologi yang telah terbukti dan telah diimplentasi lebih dari 30 tahun di berbagai lapangan minyak di dunia dengan rata-rata peningkatan Recovery Factor (RF) sebesar 5-10% terhadap Original Oil in Place (OOIP).
Dalam 5 tahun terakhir, ada beberapa lapangan di dunia yang sudah melakukan proyek polymer flooding diantaranya adalah Venezuela (2017), Brazil (2017), dan Suriname (2014-2016).
Dalam waktu 5 tahun kedepan, Pertamina EP akan melakukan pilot dan full scale chemical EOR di 5 struktur, yaitu Tanjung, Sago, Rantau, Jirak dan Limau, dan CO2 flooding di 3 struktur, yaitu Sukowati, Jatibarang dan Ramba.
Lapangan Tanjung dipilih dengan menggunakan polymer karena karakter low recovery faktor dan high level dari cadangan heterogen. Saat ini Tanjung Polymer Field Trial telah memasuki fase ketiga.
“Diharapkan dengan adanya Polymer ini , dalam jangka waktu dua tahun akan dapat diperoleh penambahan minyak sebesar 45.000 BOPD”, harap Nanang mengakhiri penjelasannya, mengutip website resmi PT Pertamina Persero.
Berdasarkan kalkulasi Pertamina, penggunaan teknologi ini akan menambah biaya sebesar US$ 5/barel dari total biaya operasional yang mencapai US$ 40/barel. Masih lebih rendah dibanding harga minyak dunia yang berkisar di angka US$ 60/barel. Sehingga masih tergolong ekonomis.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article SKK Pesimistis, Pertamina Malah Pede 1 Juta Barel di 2026
Pada 2010,rata-rata lifting minyak Indonesia mampu mencapai 953,9 ribu barel per hari (bpd). Namun jumlah tersebut turun drastis. Terakhir tahun lalu lifting minyak Indonesia hanya 778 ribu bpd. Tahun 2019 bahkan hanya di kisaran 750 ribu bpd. Artinya dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun lifting minyak turun 21,4%.
Jangan biarkan penyakit kronis ini terus menggerogoti neraca dagang migas RI. Akibat adanya gap antara supply & demand, RI harus membuka keran impor minyak dan olahan minyak alias BBM. Terakhir neraca dagang minyak tanah air membukukan defisit sebesar US$ 1,24 miliar, melebar dari bulan sebelumnya yang mencapai US$ 1,04 miliar.
Sebenarnya penurunan lifting minyak ini diakibatkan oleh penuaan sumur minyak maupun fasilitas. Sehingga perlu ada langkah yang jelas dari pemerintah untuk segera menanggulangi permasalahan ini agar tak berlarut-larut.
Demi mengurai benang kusut masalah minyak dalam negeri, aspek strategis maupun teknis harus dipertimbangkan. Aktivitas eksplorasi maupun eksploitasi dibutuhkan untuk menambal gap antara lifting dan konsumsi minyak.
Menurut laporan SKK Migas, sejak 2012-2017 investasi untuk aktivitas ekploitasi dan eksplorasi migas terus mengalami penurunan. Untuk aktivitas eksplorasi sendiri pada 2012 realisasinya mencapai US$ 16,5 miliar. Jumlah tersebut turun menjadi US$ 10,1 miliar pada 2017.
![]() |
Tak jauh berbeda dengan aktivitas eksplorasi, realisasi investasi untuk eksplorasi juga mengalami penurunan. Pada 2012 SKK Migas mencatat realisasi eksplorasi mencapai US$ 1,35 miliar dan turun menjadi US$ 200 juta pada 2017.
![]() |
Eksplorasi membutuhkan uang yang tak sedikit dan membutuhkan peranan investor. Untuk mendatangkan investor iklim investasi dalam negeri harus diperbaiki. Regulasi harus jelas dan tidak tumpang tindih maupun kontradiktif, yang lebih penting lagi adalah memberikan kepastian hukum terhadap investor. Dari segi perizinan juga harus dibenahi supaya tidak ada birokrasi berbelit-belit lagi yang investor keluhkan.
Dari aspek teknis program seperti Workover/Wellservice (WOWS) dan Enhanced Oil Recvery (EOR) harus jadi agenda prioritas. Untuk WOWS, efisiensi waktu pengerjaan juga poin yang perlu dipertimbangkan agar target pengerjaan WOWS dapat tercapai dan memberi dampak lebih optimal dari sisi produksi.
Pada 2017, SKK Migas mencatat aktivitas Workover atau pengerjaan sumur mencapai 748 sumur dari target 926 atau setara dengan 80,7%. Sementara untuk aktivitas Wellservice justru melebihi target. Dari target 57.141 aktivitas realisasinya mencapai 65.948 aktivitas.
Untuk periode 2019, SKK Migas menargetkan Workover akan dilakukan di 969 sumur, dan akan ada kegiatan Wellservice sebanyak 25.926 aktivitas.
Jika WOWS dapat meningkatkan kapasitas lifting 10-15 bpd, maka lifting migas bisa mencapai lebih dari 250 ribu per hari. Tentu tak semudah itu perhitungannya karena banyak faktor lain yang juga mempengaruhi.
Langkah lain yang juga dapat ditempuh adalah dengan melakukan Enhanced Oil Recovery (EOR). EOR merupakan salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak yang masih berada di reservoir. EOR disebut juga recovery tersier.
Menggunakan metode ini jumlah yang minyak mentah yang berhasil di ekstrak mencapai 30%-60% dibanding metode primer dan sekunder yang hanya mencapai 20%-40%. EOR menggunakan metode yang lebih canggih dibandingkan dengan metode konvensional.
EOR menggunakan sejenis polimer atau zat kimia yang bernama surfaktan untuk membantu mengambil minyak yang terperangkap dalam batuan. Energy Information Agency (EIA) membuat program Technology Collaboration Program dengan salah satu fokus pengembangan teknologi EOR. Menurut EIA,metode EOR dapat meningkatkan produksi minyak secara substansial dan turut berperan dalam meremajakan sumur pengeboran.
![]() |
Saat ini PT Pertamina Persero melalui anak perusahaannya PT Pertamina EP telah memulai proyek EOR untuk meningkatkan produksi minyak mentah tanah air.
Mengutip website resmi Pertamina, implementasi EOR menggunakan bahan kimia telah dilakukan di lapangan Tanjung sejak Desember tahun lalu. Teknologi injeksi polymer merupakan teknologi yang telah terbukti dan telah diimplentasi lebih dari 30 tahun di berbagai lapangan minyak di dunia dengan rata-rata peningkatan Recovery Factor (RF) sebesar 5-10% terhadap Original Oil in Place (OOIP).
Dalam 5 tahun terakhir, ada beberapa lapangan di dunia yang sudah melakukan proyek polymer flooding diantaranya adalah Venezuela (2017), Brazil (2017), dan Suriname (2014-2016).
Dalam waktu 5 tahun kedepan, Pertamina EP akan melakukan pilot dan full scale chemical EOR di 5 struktur, yaitu Tanjung, Sago, Rantau, Jirak dan Limau, dan CO2 flooding di 3 struktur, yaitu Sukowati, Jatibarang dan Ramba.
Lapangan Tanjung dipilih dengan menggunakan polymer karena karakter low recovery faktor dan high level dari cadangan heterogen. Saat ini Tanjung Polymer Field Trial telah memasuki fase ketiga.
“Diharapkan dengan adanya Polymer ini , dalam jangka waktu dua tahun akan dapat diperoleh penambahan minyak sebesar 45.000 BOPD”, harap Nanang mengakhiri penjelasannya, mengutip website resmi PT Pertamina Persero.
Berdasarkan kalkulasi Pertamina, penggunaan teknologi ini akan menambah biaya sebesar US$ 5/barel dari total biaya operasional yang mencapai US$ 40/barel. Masih lebih rendah dibanding harga minyak dunia yang berkisar di angka US$ 60/barel. Sehingga masih tergolong ekonomis.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article SKK Pesimistis, Pertamina Malah Pede 1 Juta Barel di 2026
Most Popular