Tak Bisa Dipungkiri Lagi, RI Kena Virus Pelemahan Konsumsi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 December 2019 12:11
Tak Bisa Dipungkiri Lagi, RI Kena Virus Pelemahan Konsumsi
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Laju inflasi Indonesia terlihat melambat pada November. Kali ini, sepertinya sulit untuk tidak melihat ada sinyal perlambatan konsumsi.

Hari ini, Senin (2/12/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi November secara bulanan alias month-on-month (MoM) adalah 0,14%. Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) ada di 3%.

Secara bulanan, ada percepatan laju inflasi karena pada Oktober tercatat hanya 0,02%. Namun secara YoY, laju inflasi melambat setelah pada Oktober berada di 3,13%.

"Penyebab inflasi November antara lain adalah kenaikan harga bawang merah, tomat sayur, dan daging ayam ras. Sementara yang menghambat laju inflasi antara lain adalah penurunan harga cabai merah, ikan segar, dan tarif angkutan udara," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers di kantornya.



Sejak tahun lalu, ramai perdebatan apakah perlambatan laju inflasi menunjukkan pelemahan konsumsi. Pemerintah, dan data yang ada, menegaskan bahwa itu hanya mitos.

Untuk mengecek keterkaitan inflasi dan konsumsi, yang bisa menjadi rujukan adalah inflasi inti. Komponen ini menggambarkan pengeluaran yang bersifat persisten, susah turun-naik.

Selama inflasi inti masih terakselerasi, berarti masyarakat masih mau membeli barang dan jasa yang harganya cenderung stabil. Ketika harga barang dan jasa yang semacam ini masih bisa naik, artinya konsumsi masih tumbuh sehat.

Sejak Februari 2018, inflasi inti dalam tren menanjak. Dari yang awalnya sekitar 2,5% YoY menjadi di atas 3% YoY.

Oleh karena itu, anggapan ada pelemahan daya beli bisa dipatahkan. Inflasi inti masih terakselerasi, tanda daya beli yang tumbuh.

Akan tetapi, sepertinya sekarang harus diakui ada perlambatan. Pada November, inflasi inti berada di 3,08% YoY. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 3,2% dan menjadi yang terendah sejak April.




Pelemahan konsumsi sebelumnya sudah tergambar di laporan Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang dirilis pagi tadi. IHS Markit melaporkan, PMI manufaktur Indonesia periode November berada di 48,2. Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 47,7.

Namun PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Angka di bawah 50 berarti industriawan masih enggan melakukan ekspansi, alias masih kontraktif. PMI manufaktur Indonesia sudah lima bulan beruntun mengalami kontraksi.

 


Pada Oktober dan November, rata-rata PMI Indonesia adalah 48. IHS Markit menyebutkan, ini memberi sinyal bahwa aktivitas manufaktur akan mengalami kontraksi pada kuartal IV-2019.

"Secara umum, permintaan masih rendah hingga pertengahan kuartal IV-2019. Pemesanan baru masih turun. Akibatnya, output terus menurun dengan laju kontraksi tercepat sejak Juli 2017," sebut pernyataan tertulis IHS Markit.

Pembelian yang berkurang membuat inventori bahan baku menurun. Situasi ini memberi gambaran tekanan harga akan berkurang. Ini apa lagi kalau bukan perlambatan laju inflasi.

"Dengan rata-rata PMI Oktober dan November yang sebesar 48, kami memperkirakan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2019 hanya tumbuh 4,9%. Survei kami menunjukkan permintaan terhadap produk manufaktur masih lemah. Permintaan baru dan penjualan menurun, dan dunia usaha memilih untuk mengurangi tenaga kerja serta menurunkan pembelian bahan baku. Ini memberi gambaran bahwa output ekonomi masih akan lemah dalam beberapa bulan ke depan," jelas Bernard Aw, Principal Economist di IHS Markit, dikutip dari siaran tertulis.

Bank Indonesia (BI) dalam Tinjauan Kebijakan Moneter kuartal III-2019 juga memberi tendensi soal lemahnya permintaan. Pada September, pertumbuhan penyaluran kredit tercatat 7,89% YoY. Melambat dibandingkan Agustus yaitu 8,59%.


Seperti halnya IHS Markit, BI juga menyoroti perlambatan dunia usaha. Ini tercermin dari penurunan impor di seluruh golongan, baik barang modal, bahan baku/penolong, sampai barang konsumsi.

"Penurunan impor bahan baku dipengaruhi oleh kinerja industri manufaktur berbasis ekspor yang belum sepenuhnya membaik. Impor barang modal juga menurun sejalan dengan permintaan alat angkut yang berkurang untuk mendukung kegiatan di lapangan usaha pertambangan. Sementara itu, impor barang konsumsi menurun seiring dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menurun," jelas laporan BI.

Oleh karena itu, rilis data inflasi seorang mempertegas ada masalah di inti perekonomian Indonesia yaitu konsumsi. Kalau sudah begini, apakah pertumbuhan ekonomi betul-betul bisa di bawah 5%?


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/dru) Next Article Inflasi 2019: 'Jinak' Sih, Tapi...

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular