
Eropa Lapor Nikel ke WTO, RI: Konsultasi Dulu!
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
28 November 2019 17:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia angkat bicara perihal keputusan Uni Eropa (EU) yang menyampaikan keluhan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) atas sikap Indonesia membatasi ekspor nikel.
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia memang dengan tegas menyetop ekspor nikel mentah mulai 1 Januari 2020. Namun, keputusan tersebut bisa saja dipercepat karena adanya kesepakatan antara pengusaha smelter dan penambang nikel.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku akan melakukan konsultasi dengan WTO terkait penolakan yang dilancarkan kawasan benua biru itu.
"Tadi sudah dikoordinasikan dengan menteri perdagangan [Agus Suparmanto] akan segera bersurat untuk memfasilitasi konsultasi. Jadi nanti kita dari Dubes untuk memproses konstultasi di WTO," kata Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Lantas, apakah keluhan dari Uni Eropa ini akan membuat Indonesia melunak?
"Tergantung hasil konsultasi. Jadi kita konsultasi dulu di awal. Karena butuh persetujuan dua pihak," jelasnya.
Airlangga pun buka suara perihal keluhan yang disampaikan Uni Eropa terhadap sejumah komoditas strategis Indonesia. Selain nikel, EU sebelumnya melakukan diskriminasi terhadap produk sawit Indonesia.
"Ya itu bagian dari bargaining. Kita komplain ke dia, dia komplain ke kita. Ya kita ladein saja," tegasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar menegaskan bahwa pemerintah Indonesia akan menjelaskan kepada WTO bahwa percepatan larangan ekspor nikel tidak melanggar aturan.
"Justru kita menjelaskan tidak ada yang dilanggar dalam hal peraturan WTO, karena ini justru upaya kita untuk mendukung pembangunan berkelanjutan supaya pengelolaan tambang di Indonesia betul-betul berkelanjutan," tegas Mahendra.
Sebagaimana dikutip dari Reuters, disebutkan komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di UE yang beranggotakan 28 negara, mengatakan pembatasan itu secara tidak adil membatasi akses produsen UE terhadap bijih nikel khususnya, serta untuk memo, batubara dan kokas, bijih besi, dan kromium.
Keluhan Komisi mengatakan bahwa langkah-langkah tersebut adalah bagian dari rencana untuk mengembangkan industri baja nirkarat Indonesia. Negara ini adalah penambang bijih nikel terbesar di dunia dan akan melarang ekspor selama dua tahun mulai tahun 2020.
Indonesia telah menjadi eksportir baja nirkarat terbesar kedua dan pangsa pasar UE meningkat dari hampir nol pada 2017 menjadi 18% pada kuartal kedua tahun ini, kata asosiasi baja Eropa, Eurofer.
Ia juga mengatakan bahwa metode pembuatan yang digunakan di Indonesia menghasilkan karbon dioksida hingga tujuh kali lebih banyak daripada proses yang digunakan di Eropa.
"Risikonya adalah bahwa baja yang sangat murah dan berpolusi tinggi menggantikan baja yang lebih bersih dari produsen domestik UE dan mitra dagang tradisional," kata Eurofer.
(sef/sef) Next Article Larangan Ekspor Nikel Dikeluhkan Eropa, Ini Jawaban RI!
Sebagai informasi, pemerintah Indonesia memang dengan tegas menyetop ekspor nikel mentah mulai 1 Januari 2020. Namun, keputusan tersebut bisa saja dipercepat karena adanya kesepakatan antara pengusaha smelter dan penambang nikel.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku akan melakukan konsultasi dengan WTO terkait penolakan yang dilancarkan kawasan benua biru itu.
Lantas, apakah keluhan dari Uni Eropa ini akan membuat Indonesia melunak?
"Tergantung hasil konsultasi. Jadi kita konsultasi dulu di awal. Karena butuh persetujuan dua pihak," jelasnya.
Airlangga pun buka suara perihal keluhan yang disampaikan Uni Eropa terhadap sejumah komoditas strategis Indonesia. Selain nikel, EU sebelumnya melakukan diskriminasi terhadap produk sawit Indonesia.
"Ya itu bagian dari bargaining. Kita komplain ke dia, dia komplain ke kita. Ya kita ladein saja," tegasnya.
Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar menegaskan bahwa pemerintah Indonesia akan menjelaskan kepada WTO bahwa percepatan larangan ekspor nikel tidak melanggar aturan.
"Justru kita menjelaskan tidak ada yang dilanggar dalam hal peraturan WTO, karena ini justru upaya kita untuk mendukung pembangunan berkelanjutan supaya pengelolaan tambang di Indonesia betul-betul berkelanjutan," tegas Mahendra.
Sebagaimana dikutip dari Reuters, disebutkan komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di UE yang beranggotakan 28 negara, mengatakan pembatasan itu secara tidak adil membatasi akses produsen UE terhadap bijih nikel khususnya, serta untuk memo, batubara dan kokas, bijih besi, dan kromium.
Keluhan Komisi mengatakan bahwa langkah-langkah tersebut adalah bagian dari rencana untuk mengembangkan industri baja nirkarat Indonesia. Negara ini adalah penambang bijih nikel terbesar di dunia dan akan melarang ekspor selama dua tahun mulai tahun 2020.
Indonesia telah menjadi eksportir baja nirkarat terbesar kedua dan pangsa pasar UE meningkat dari hampir nol pada 2017 menjadi 18% pada kuartal kedua tahun ini, kata asosiasi baja Eropa, Eurofer.
Ia juga mengatakan bahwa metode pembuatan yang digunakan di Indonesia menghasilkan karbon dioksida hingga tujuh kali lebih banyak daripada proses yang digunakan di Eropa.
"Risikonya adalah bahwa baja yang sangat murah dan berpolusi tinggi menggantikan baja yang lebih bersih dari produsen domestik UE dan mitra dagang tradisional," kata Eurofer.
(sef/sef) Next Article Larangan Ekspor Nikel Dikeluhkan Eropa, Ini Jawaban RI!
Most Popular