
Omnibus Law, Mampukah Jurus Pamungkas Ini Tarik Investor?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
25 November 2019 12:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Berbagai tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia membuat pemerintah mengeluarkan jurus pamungkas yaitu Omnibus Law. Regulasi ini diharapkan mampu jadi amunisi untuk menarik minat investor.
Indonesia digadang-gadang bakal jadi raksasa ekonomi dunia pada 20-30 tahun mendatang. Menurut proyeksi PwC, pada 2050 Indonesia bakal jadi ekonomi terbesar keempat dunia berdasarkan menurut Purchasing Power Parity (PPP).
Namun, Indonesia menghadapi berbagai tantangan seperti persoalan daya saing yang relatif rendah, perlambatan pertumbuhan ekonomi, serta pertumbuhan ekonomi yang kurang merata. Daya saing global yang relatif rendah tercermin dari tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia (EoDB). Berbagai lembaga dan institusi global menyoroti sulitnya menjalankan bisnis di Indonesia. Laporan EoDB yang dirilis Bank Dunia pada 2019 menunjukkan Indonesia berada di peringkat menengah ke bawah alias 73 dari 190 negara.
Selain itu dalam laporan Global Competitiveness Index (GCI) World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa daya saing Indonesia masih tertinggal dari beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Tantangan lain yang dihadapi oleh Indonesia adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir cenderung susah untuk keluar dari batas bawah 5%. Bahkan di tahun 2019 pertumbuhan ekonomi Sang Garuda terus melambat.
Ditambah lagi dengan ekonomi Indonesia yang belum merata. Saat ini ekonomi Indonesia masih berpusat di Jawa dan Sumatera. Kedua wilayah tersebut berkontribusi sebesar 80,3% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada kuartal III-2019.
Indonesia juga dipandang kurang seksi oleh investor sehingga realisasi investasi terutama investasi asing sering mengecewakan. Investor sering mengeluhkan iklim investasi Indonesia yang tidak kondusif lantaran aturan yang tumpang tindih dan sering bertentangan. Belum lagi dengan birokrasi yang berbelit-belit makin bikin investor gerah dan tak jadi memarkirkan uangnya di Tanah Air.
Investasi memang menjadi salah satu kunci bagi perekonomian satu bangsa. Investasi menunjukkan bahwa dunia usaha sedang ekspansif. Dampaknya adalah pembukaan lapangan pekerjaan sehingga dapat mendongkrak daya beli masyarakat yang jadi tulang punggung ekonomi RI.
Pemerintah menyoroti rendahnya minat investor yang membutuhkan solusi lebih dari sekedar insentif fiskal. Investor lebih butuh kepastian dan kejelasan hukum. Tak tanggung-tanggung pemerintah menawarkan konsep Omnibus Law.
Singkatnya, Omnibus Law merupakan suatu UU yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus. Omnibus Law merupakan sebuah praktik penyusunan peraturan perundang-undangan, yang banyak dilakukan di negara- negara yang menganut sistem common law (anglo saxon) seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Filipina, dan lainnya.
Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan di negara yang menganut sistem civil law (continental). Vietnam adalah negara civil law yang berhasil menerapkan Omnibus Law pada 2016.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Vietnam dimungkinkan untuk menerapkan Omnibus Law mengingat tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang. Selain itu, adanya tumpang tindih peraturan dan panjangnya prosedur legislasi untuk mengubah sebuah peraturan, menjadi pertimbangan diadopsinya Omnibus Law di Vietnam.
Omnibus Law yang berhasil dibentuk oleh Vietnam diantaranya Law Amending and Supplementing a Number of Articles of the Law on Value-Added Tax, Law on Excise Tax and the Law on Tax Administration. Undang-undang ini mengubah, menambahkan serta mencabut beberapa pasal yang terdapat pada Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-undang Pajak Cukai, dan Undang-undang Administrasi Perpajakan.
Ada pula Law Amending and Supplementing a Number of Articles of the Laws on Taxes yang mengubah, menambahkan, serta mencabut beberapa pasal yang ada pada Undang-undang Pajak Penghasilan Badan Usaha, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-undang Pajak Royalti, Undang-undang Pajak Cukai, Undang-undang Administrasi Perpajakan, dan Undang-undang Pajak Ekspor-Impor.
Mengutip situs resmi DPR RI, Omnibus Law yang pertama ingin dilakukan adalah sektor perizinan untuk menggabung regulasi perizinan di bidang investasi termasuk ketenagakerjaan. Pertanyaannya adalah, apakah konsep Omnibus Law ini cocok diterapkan di Tanah Air?
Terkait cocok atau tidaknya harus ada evaluasi pada beberapa aspek seperti apakah produk hukum ini bertentangan dengan aturan sebelumnya baik secara proses maupun asas.
Mari tengok dari yang pertama, secara prosedural pembentukan Omnibus Law harus mengikuti prosedur yang diatur dalam UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan. Mengutip kata Kapoksi Badan Legislasi (Baleg) F-Gerindra DPR RI Heri Gunawan yang dimuat di situs resmi DPR RI.
Apabila dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 12 /2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, secara yuridis formil penerapan konsep Omnibus Law tergolong relevan untuk diterapkan di Indonesia. Namun ada anggapan bahwa Omnibus Law berpotensi bertentangan dengan prinsip desentralisasi yang selama ini dijalankan di Indonesia. Hal ini tentu membutuhkan pertimbangan yang benar-benar matang.
Aspek kedua yaitu terkait dengan proses pembuatan Omnibus Law. Proses ini dipengaruhi beberapa hal seperti pengetahuan dan pengalaman pembuat kebijakan, prosedur pembuatan hukum yang berlaku, serta lamanya waktu pembuatan.
Ditinjau dari aspek proses pembuatan Omnibus Law, terutama terkait dengan skill dan pengalaman, ada potensi prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Pasalnya ini merupakan kali pertama konsep Omnibus Law.
Poin ketiga adalah poin yang juga melelahkan yaitu memilah aturan-aturan mana saja yang saling terkait, tumpeng tindih, dan bahkan bertentangan serta mengkaji dampaknya apabila aturan tersebut diubah atau bahkan dicabut. Dapat dipastikan proses ini akan berjalan lama. Perlu juga dipertimbangkan apakah ada mekanisme lain yang jauh lebih efektif maupun efisien.
Dari semua aspek di atas, ada kemungkinan proses pembuatan Omnibus Law membutuhkan waktu yang tak singkat. Omnibus Law harus benar-benar digodok sampai matang jangan sampai tergesa-gesa yang justru akan memberikan dampak buruk nantinya jika tidak secara komprehensif dikaji.
Yang perlu diingat adalah investor membutuhkan kepastian dan kejelasan hukum. Memang Omnibus Law ini tantangan yang besar, mengingat butuh waktu yang lama tetapi dampaknya diharapkan kelihatan dalam waktu dekat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Darmin: Omnibus Law Selesai, Tinggal Dibawa ke DPR
Indonesia digadang-gadang bakal jadi raksasa ekonomi dunia pada 20-30 tahun mendatang. Menurut proyeksi PwC, pada 2050 Indonesia bakal jadi ekonomi terbesar keempat dunia berdasarkan menurut Purchasing Power Parity (PPP).
![]() |
Namun, Indonesia menghadapi berbagai tantangan seperti persoalan daya saing yang relatif rendah, perlambatan pertumbuhan ekonomi, serta pertumbuhan ekonomi yang kurang merata. Daya saing global yang relatif rendah tercermin dari tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia (EoDB). Berbagai lembaga dan institusi global menyoroti sulitnya menjalankan bisnis di Indonesia. Laporan EoDB yang dirilis Bank Dunia pada 2019 menunjukkan Indonesia berada di peringkat menengah ke bawah alias 73 dari 190 negara.
Selain itu dalam laporan Global Competitiveness Index (GCI) World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa daya saing Indonesia masih tertinggal dari beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Ditambah lagi dengan ekonomi Indonesia yang belum merata. Saat ini ekonomi Indonesia masih berpusat di Jawa dan Sumatera. Kedua wilayah tersebut berkontribusi sebesar 80,3% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada kuartal III-2019.
Indonesia juga dipandang kurang seksi oleh investor sehingga realisasi investasi terutama investasi asing sering mengecewakan. Investor sering mengeluhkan iklim investasi Indonesia yang tidak kondusif lantaran aturan yang tumpang tindih dan sering bertentangan. Belum lagi dengan birokrasi yang berbelit-belit makin bikin investor gerah dan tak jadi memarkirkan uangnya di Tanah Air.
Investasi memang menjadi salah satu kunci bagi perekonomian satu bangsa. Investasi menunjukkan bahwa dunia usaha sedang ekspansif. Dampaknya adalah pembukaan lapangan pekerjaan sehingga dapat mendongkrak daya beli masyarakat yang jadi tulang punggung ekonomi RI.
Pemerintah menyoroti rendahnya minat investor yang membutuhkan solusi lebih dari sekedar insentif fiskal. Investor lebih butuh kepastian dan kejelasan hukum. Tak tanggung-tanggung pemerintah menawarkan konsep Omnibus Law.
Singkatnya, Omnibus Law merupakan suatu UU yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus. Omnibus Law merupakan sebuah praktik penyusunan peraturan perundang-undangan, yang banyak dilakukan di negara- negara yang menganut sistem common law (anglo saxon) seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Filipina, dan lainnya.
Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan di negara yang menganut sistem civil law (continental). Vietnam adalah negara civil law yang berhasil menerapkan Omnibus Law pada 2016.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Vietnam dimungkinkan untuk menerapkan Omnibus Law mengingat tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang. Selain itu, adanya tumpang tindih peraturan dan panjangnya prosedur legislasi untuk mengubah sebuah peraturan, menjadi pertimbangan diadopsinya Omnibus Law di Vietnam.
Omnibus Law yang berhasil dibentuk oleh Vietnam diantaranya Law Amending and Supplementing a Number of Articles of the Law on Value-Added Tax, Law on Excise Tax and the Law on Tax Administration. Undang-undang ini mengubah, menambahkan serta mencabut beberapa pasal yang terdapat pada Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-undang Pajak Cukai, dan Undang-undang Administrasi Perpajakan.
Ada pula Law Amending and Supplementing a Number of Articles of the Laws on Taxes yang mengubah, menambahkan, serta mencabut beberapa pasal yang ada pada Undang-undang Pajak Penghasilan Badan Usaha, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-undang Pajak Royalti, Undang-undang Pajak Cukai, Undang-undang Administrasi Perpajakan, dan Undang-undang Pajak Ekspor-Impor.
Mengutip situs resmi DPR RI, Omnibus Law yang pertama ingin dilakukan adalah sektor perizinan untuk menggabung regulasi perizinan di bidang investasi termasuk ketenagakerjaan. Pertanyaannya adalah, apakah konsep Omnibus Law ini cocok diterapkan di Tanah Air?
Terkait cocok atau tidaknya harus ada evaluasi pada beberapa aspek seperti apakah produk hukum ini bertentangan dengan aturan sebelumnya baik secara proses maupun asas.
Mari tengok dari yang pertama, secara prosedural pembentukan Omnibus Law harus mengikuti prosedur yang diatur dalam UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan. Mengutip kata Kapoksi Badan Legislasi (Baleg) F-Gerindra DPR RI Heri Gunawan yang dimuat di situs resmi DPR RI.
Apabila dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 12 /2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, secara yuridis formil penerapan konsep Omnibus Law tergolong relevan untuk diterapkan di Indonesia. Namun ada anggapan bahwa Omnibus Law berpotensi bertentangan dengan prinsip desentralisasi yang selama ini dijalankan di Indonesia. Hal ini tentu membutuhkan pertimbangan yang benar-benar matang.
Aspek kedua yaitu terkait dengan proses pembuatan Omnibus Law. Proses ini dipengaruhi beberapa hal seperti pengetahuan dan pengalaman pembuat kebijakan, prosedur pembuatan hukum yang berlaku, serta lamanya waktu pembuatan.
Ditinjau dari aspek proses pembuatan Omnibus Law, terutama terkait dengan skill dan pengalaman, ada potensi prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Pasalnya ini merupakan kali pertama konsep Omnibus Law.
Poin ketiga adalah poin yang juga melelahkan yaitu memilah aturan-aturan mana saja yang saling terkait, tumpeng tindih, dan bahkan bertentangan serta mengkaji dampaknya apabila aturan tersebut diubah atau bahkan dicabut. Dapat dipastikan proses ini akan berjalan lama. Perlu juga dipertimbangkan apakah ada mekanisme lain yang jauh lebih efektif maupun efisien.
Dari semua aspek di atas, ada kemungkinan proses pembuatan Omnibus Law membutuhkan waktu yang tak singkat. Omnibus Law harus benar-benar digodok sampai matang jangan sampai tergesa-gesa yang justru akan memberikan dampak buruk nantinya jika tidak secara komprehensif dikaji.
Yang perlu diingat adalah investor membutuhkan kepastian dan kejelasan hukum. Memang Omnibus Law ini tantangan yang besar, mengingat butuh waktu yang lama tetapi dampaknya diharapkan kelihatan dalam waktu dekat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Darmin: Omnibus Law Selesai, Tinggal Dibawa ke DPR
Most Popular