
Janet Yellen Benar, Hawa Resesi Memang Belum Pergi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 November 2019 14:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Janet Yellen, eks pimpinan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed kembali menyuarakan kekhawatirannya. Sosok yang tugasnya diteruskan oleh Jerome 'Jay' Powell ini menilai risiko resesi semakin besar.
"Saya harus katakan, kemungkinan resesi lebih tinggi dari normal dan pada tingkat yang, terus terang, membuat saya tidak nyaman. Ada alasan yang tepat untuk khawatir," kata Yellen di World Business Forum, sebagaimana dikutip dari CNBC International.
Kalau melihat proyeksi dari dua kantor cabang The Fed, New Yok dan Cleveland, sebenarnya risiko resesi di Negeri Paman Sam agak menurun. The Fed New York memperkirakan risiko terjadinya resesi pada Oktober 2020 adalah 29,04%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 34,8%.
Sementara The Fed Cleveland memperkirakan risiko resesi pada Oktober 2020 adalah 31%. Turun dibandingkan September yang sebesar 37,9%.
Akan tetapi, bukan berarti kekhawatiran Yellen tanpa alasan. Sebab pembacaan lain menyebutkan risiko kontraksi (pertumbuhan negatif) ekonomi AS masih cukup tinggi.
Di AS, ada indikator yang disebut Cass Freight Index. Indeks ini menggambarkan aktivitas pengiriman barang yang merupakan cerminan aktivitas ekonomi. Saat aktivitas pengiriman lesu, maka ke depan ada risiko perlambatan ekonomi bahkan mungkin saja kontraksi.
Pada Oktober 2019, indeks pengiriman melalui laut (shipment) di AS adalah 1,152. Turun 5,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dan selama dua tahun terjadi koreksi 0,1%. Sementara dibandingkan September 2019, ada penurunan 3,9%.
"Dengan penurunan 5,9%, berarti volume pengiriman sudah turun selama 11 bulan beruntun. Indeks ini menjadi pertanda bahwa kemungkinan perlambatan ekonomi sudah berubah menjadi sinyal kontraksi," tegas laporan Cass.
Sejauh ini, lanjut laporan Cass, koreksi Freight Index memang belum disertai dengan kontraksi ekonomi. Pada kuartal III-2019, ekonomi AS masih tumbuh 1,9% secara kuartalan yang disetahunkan (annuaized). Kemudian pada kuartal IV-2019, The Fed Atlanta memperkirakan ekonomi tumbuh 0,4%. Meski terus melambat, tetapi setidaknya masih tumbuh positif.
"Kami melihat ada pelemahan permintaan di seluruh moda transportasi, baik secara domestik maupun internasional. Memang ada jeda antara prediksi dengan realisasi. Namun kami melihat ada risiko ekonomi akan terkontraksi pada akhir tahun ini," tulis laporan Cass.
Harus diakui bahwa perang dagang dengan China sudah memukul perekonomian AS sendiri. Gara-gara perang dagang, dunia usaha AS yang ingin mendatangkan bahan baku dan barang modal dari China menjadi kesulitan karena harga lebih mahal akibat pengenaan bea masuk.
Data Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representatives) mencatat pada 2018 impor terbesar AS dari China adalah mesin listrik (US$ 152 miliar) dan mesin (US$ 117 miiliar). Keduanya menyumbang hampir 50% dari total impor asal China yang sebesar US$ 539,5 miliar.
Jadi sebenarnya impor dari China banyak digunakan oleh pengusaha AS untuk meningkatkan produksi. Ketika impor dari China terhambat, maka kemampuan untuk menggenjot produksi ikut melambat.
Pada Oktober 2019, produksi industrial AS bahkan terkontraksi 1,13% year-on-year (YoY). Ini merupakan catatan terburuk sejak September 2016.
Kalau perang dagang terus berlanjut, maka jangan heran pertumbuhan produksi industri AS bakal makin jeblok. Ujungnya adalah pertumbuhan ekonomi bisa ikut terseret ke teritori negatif.
Sedihnya, perlambatan ekonomi di AS (bahkan terancam resesi) jadi menular ke hampir seluruh negara. Maklum, AS adalah negara konsumen terbesar di dunia. Saat permintaan di AS turun, maka arus perdagangan dan investasi global akan merasakan dampaknya.
Pagi tadi, Jepang mengumumkan data inflasi Oktober sebesar 0,2% YoY. Tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya dan masih menjadi catatan terendah sejak Februari.
Jepang bukan negara berkembang seperti Indonesia. Negara maju layaknya Jepang mendambakan inflasi, yang mencerminkan kepercayaan diri dunia usaha untuk menaikkan harga karena konsumen pun berkenan membeli dengan harga lebih tinggi. Inflasi menggambarkan ekonomi yang dinamis, ekonomi yang penuh gairah.
Bank Sentral Jepang (BoJ) menargetkan inflasi berada di dekat atau sekitar 2% dalam jangka menengah. Sampai saat ini, yang ada masih jauh panggang dari api. Ekonomi masih lesu, dan makin lesu gara-gara perang dagang AS-China.
Tidak hanya di Jepang, Jerman pun mengalami nestapa ekonomi. Sejak akhir 2017, laju pertumbuhan ekonomi Negeri Panser terus melambat.
Pada kuartal III-2019, pertumbuhan ekonomi Jerman tercatat 0,5% YoY. Lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yang sebesar 0,3%, tetapi jauh melambat dibandingkan kuartal IV-2017 yaitu 3,4%.
Rantai pasok global yang rusak akibat perang dagang AS-China sepertinya sangat menghantam Jerman. Bukan apa-apa, kontribusi ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Jerman mencapai sekitar 40%.
Ketika pos yang memberi sumbangan 40% ini babak-belur, tidak heran pertumbuhan ekonomi Jerman terus melambat. Andai AS-China terus berperang, sangat mungkin Jerman akan masuk ke jurang resesi. Sebab ekspor bukannya memberi sumbangan, tetapi malah akan menjadi beban bagi PDB.
Kesimpulannya, Yellen tidak salah. Aura perlambatan ekonomi dan resesi memang masih sangat terasa. Tidak ada waktu dan ruang untuk bersantai, semua harus siaga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Masih Resesi, Ekonomi RI Q1 Diramal Tumbuh -1% Hingga -0,1%
"Saya harus katakan, kemungkinan resesi lebih tinggi dari normal dan pada tingkat yang, terus terang, membuat saya tidak nyaman. Ada alasan yang tepat untuk khawatir," kata Yellen di World Business Forum, sebagaimana dikutip dari CNBC International.
Kalau melihat proyeksi dari dua kantor cabang The Fed, New Yok dan Cleveland, sebenarnya risiko resesi di Negeri Paman Sam agak menurun. The Fed New York memperkirakan risiko terjadinya resesi pada Oktober 2020 adalah 29,04%. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 34,8%.
Sementara The Fed Cleveland memperkirakan risiko resesi pada Oktober 2020 adalah 31%. Turun dibandingkan September yang sebesar 37,9%.
Akan tetapi, bukan berarti kekhawatiran Yellen tanpa alasan. Sebab pembacaan lain menyebutkan risiko kontraksi (pertumbuhan negatif) ekonomi AS masih cukup tinggi.
Di AS, ada indikator yang disebut Cass Freight Index. Indeks ini menggambarkan aktivitas pengiriman barang yang merupakan cerminan aktivitas ekonomi. Saat aktivitas pengiriman lesu, maka ke depan ada risiko perlambatan ekonomi bahkan mungkin saja kontraksi.
Pada Oktober 2019, indeks pengiriman melalui laut (shipment) di AS adalah 1,152. Turun 5,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dan selama dua tahun terjadi koreksi 0,1%. Sementara dibandingkan September 2019, ada penurunan 3,9%.
"Dengan penurunan 5,9%, berarti volume pengiriman sudah turun selama 11 bulan beruntun. Indeks ini menjadi pertanda bahwa kemungkinan perlambatan ekonomi sudah berubah menjadi sinyal kontraksi," tegas laporan Cass.
Sejauh ini, lanjut laporan Cass, koreksi Freight Index memang belum disertai dengan kontraksi ekonomi. Pada kuartal III-2019, ekonomi AS masih tumbuh 1,9% secara kuartalan yang disetahunkan (annuaized). Kemudian pada kuartal IV-2019, The Fed Atlanta memperkirakan ekonomi tumbuh 0,4%. Meski terus melambat, tetapi setidaknya masih tumbuh positif.
"Kami melihat ada pelemahan permintaan di seluruh moda transportasi, baik secara domestik maupun internasional. Memang ada jeda antara prediksi dengan realisasi. Namun kami melihat ada risiko ekonomi akan terkontraksi pada akhir tahun ini," tulis laporan Cass.
Harus diakui bahwa perang dagang dengan China sudah memukul perekonomian AS sendiri. Gara-gara perang dagang, dunia usaha AS yang ingin mendatangkan bahan baku dan barang modal dari China menjadi kesulitan karena harga lebih mahal akibat pengenaan bea masuk.
Data Kantor Perwakilan Dagang AS (US Trade Representatives) mencatat pada 2018 impor terbesar AS dari China adalah mesin listrik (US$ 152 miliar) dan mesin (US$ 117 miiliar). Keduanya menyumbang hampir 50% dari total impor asal China yang sebesar US$ 539,5 miliar.
Jadi sebenarnya impor dari China banyak digunakan oleh pengusaha AS untuk meningkatkan produksi. Ketika impor dari China terhambat, maka kemampuan untuk menggenjot produksi ikut melambat.
Pada Oktober 2019, produksi industrial AS bahkan terkontraksi 1,13% year-on-year (YoY). Ini merupakan catatan terburuk sejak September 2016.
Kalau perang dagang terus berlanjut, maka jangan heran pertumbuhan produksi industri AS bakal makin jeblok. Ujungnya adalah pertumbuhan ekonomi bisa ikut terseret ke teritori negatif.
Sedihnya, perlambatan ekonomi di AS (bahkan terancam resesi) jadi menular ke hampir seluruh negara. Maklum, AS adalah negara konsumen terbesar di dunia. Saat permintaan di AS turun, maka arus perdagangan dan investasi global akan merasakan dampaknya.
Pagi tadi, Jepang mengumumkan data inflasi Oktober sebesar 0,2% YoY. Tidak berubah dibandingkan bulan sebelumnya dan masih menjadi catatan terendah sejak Februari.
Jepang bukan negara berkembang seperti Indonesia. Negara maju layaknya Jepang mendambakan inflasi, yang mencerminkan kepercayaan diri dunia usaha untuk menaikkan harga karena konsumen pun berkenan membeli dengan harga lebih tinggi. Inflasi menggambarkan ekonomi yang dinamis, ekonomi yang penuh gairah.
Bank Sentral Jepang (BoJ) menargetkan inflasi berada di dekat atau sekitar 2% dalam jangka menengah. Sampai saat ini, yang ada masih jauh panggang dari api. Ekonomi masih lesu, dan makin lesu gara-gara perang dagang AS-China.
Tidak hanya di Jepang, Jerman pun mengalami nestapa ekonomi. Sejak akhir 2017, laju pertumbuhan ekonomi Negeri Panser terus melambat.
Pada kuartal III-2019, pertumbuhan ekonomi Jerman tercatat 0,5% YoY. Lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yang sebesar 0,3%, tetapi jauh melambat dibandingkan kuartal IV-2017 yaitu 3,4%.
Rantai pasok global yang rusak akibat perang dagang AS-China sepertinya sangat menghantam Jerman. Bukan apa-apa, kontribusi ekspor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Jerman mencapai sekitar 40%.
Ketika pos yang memberi sumbangan 40% ini babak-belur, tidak heran pertumbuhan ekonomi Jerman terus melambat. Andai AS-China terus berperang, sangat mungkin Jerman akan masuk ke jurang resesi. Sebab ekspor bukannya memberi sumbangan, tetapi malah akan menjadi beban bagi PDB.
Kesimpulannya, Yellen tidak salah. Aura perlambatan ekonomi dan resesi memang masih sangat terasa. Tidak ada waktu dan ruang untuk bersantai, semua harus siaga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Masih Resesi, Ekonomi RI Q1 Diramal Tumbuh -1% Hingga -0,1%
Most Popular